Tara turun dari bus dengan langkah mantap, membawa tas di bahunya. Ia menghirup udara segar yang khas kampung halamannya, desa kecil di kaki gunung dengan sawah hijau membentang sejauh mata memandang. Suara gemericik sungai di kejauhan membuat hatinya terasa ringan, tetapi ada sesuatu yang menggelisahkannya—sebuah dorongan tak terjelaskan yang membuatnya kembali lebih cepat dari biasanya. Ia tidak hanya pulang untuk menjenguk nenek atau mengenang masa kecil. Ada sesuatu yang menariknya ke desa ini, seseorang. Ayu.
Ayu, gadis desa yang ditemuinya di pasar beberapa bulan lalu, telah meninggalkan kesan mendalam di hatinya. Rambut hitam panjang Ayu, senyumnya yang hangat, dan mata cokelatnya yang seolah menyimpan misteri tak terjawab terus menghantui pikiran Tara. Ia tak tahu kenapa, tapi setiap kali mengingat senyum Ayu, hatinya berdebar-debar, seolah ada rahasia besar yang menunggunya. Tara bertekad untuk bertemu Ayu lagi, meski rasa penasaran itu bercampur dengan ketakutan yang samar.
Setibanya di rumah neneknya, Tara langsung disambut dengan pelukan hangat. Nenek, dengan tubuh kecil dan wajah penuh kerutan, masih sama seperti yang ia ingat. Namun, ada kesan murung di wajah nenek kali ini yang membuat Tara bertanya-tanya.
“Kamu akhirnya pulang juga, Nak,” ujar nenek dengan suara lirih. “Ada sesuatu yang harus kamu miliki.”
Malam itu, setelah makan malam, nenek menyerahkan sebuah kotak kayu tua yang usang tetapi tampak berharga. Ukiran rumit di permukaan kotak itu terasa asing bagi Tara, seperti pola yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Ini warisan dari kakekmu,” kata nenek dengan nada serius. “Dia bilang ini untukmu saat kamu sudah dewasa. Tapi ingat, gunakan dengan bijak.”
Tara membuka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat sebuah jam saku antik dengan ukiran detail yang tampak seperti labirin kecil. Bersama jam itu terdapat secarik kertas lusuh bertuliskan pesan kakeknya:
"Jam ini akan membawamu ke masa lalu. Ada kebenaran yang harus kamu temukan. Namun, berhati-hatilah, Tara, waktu adalah rahasia yang besar."
Pesan itu menggema di kepala Tara. Ia tidak mengerti maksud dari “kebenaran” yang harus ia temukan, tetapi rasa penasaran menguasai dirinya. Apa yang disembunyikan oleh kakeknya? Apakah ini ada hubungannya dengan Ayu?
Malam berikutnya, di bawah cahaya redup lampu meja, Tara memutar jarum jam ke arah berlawanan, seperti yang disebutkan dalam pesan kakeknya. Dunia di sekitarnya perlahan memudar, suara malam desa berubah menjadi kesunyian, dan saat ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di tengah desa yang sama, tetapi dalam waktu yang berbeda. Jalanan tanah, rumah-rumah dengan genting merah lebih baru, dan suasana desa yang lebih tradisional menyambutnya.
Tara berjalan menyusuri desa, memandang sekeliling dengan takjub. Udara di sana terasa lebih segar, suara tawa anak-anak bermain di sawah membuat semuanya terasa begitu nyata. Namun, keheranannya berubah menjadi debaran jantung ketika ia melihat sosok yang dikenalnya—Ayu. Gadis itu berdiri di tepi sungai, rambut hitam panjangnya tergerai, dengan senyum kecil yang hangat menghiasi wajahnya.
“Akhirnya kamu datang,” kata Ayu, suaranya lembut namun penuh misteri.
Tara merasa bingung. “Kamu tahu aku?” tanyanya dengan nada ragu.
Ayu hanya tersenyum tanpa menjawab. Ia berbalik perlahan, berjalan menjauh. Tara, yang terpikat oleh aura gadis itu, mengikuti tanpa berpikir. Mereka menyusuri sungai bersama, tetapi Ayu selalu tampak berada sedikit di luar jangkauan, seperti bayangan yang bergerak tetapi tidak pernah bisa disentuh.
Hari demi hari, Tara menggunakan jam itu untuk kembali ke masa lalu. Setiap kali, ia merasa semakin dekat dengan Ayu, tetapi ada sesuatu yang mengganjal. Orang-orang di masa lalu mulai memandang Tara dengan tatapan kosong, seolah-olah mereka tahu bahwa ia bukan bagian dari mereka. Bahkan Ayu, meski tampak nyata, mulai menunjukkan tanda-tanda yang membuat Tara merasakan ketidakpastian.
Suatu malam, Tara kembali ke waktu yang lebih jauh. Ia menemukan dirinya di bawah pohon besar di tepi sungai, tempat kakeknya yang masih muda berbincang dengan seorang pria tua yang tampak menyeramkan. Tara bersembunyi di balik semak-semak, mendengar percakapan mereka.
“Keturunanmu akan menjadi tumbal,” ujar pria tua itu dengan suara berat. “Tanpa pengorbanan, kekuatan ini tidak akan bertahan.”
“Aku menerima,” kata kakek Tara dengan nada dingin.
Tara merasa tubuhnya gemetar. Kata-kata itu bergema di benaknya, membangkitkan rasa takut yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Apa maksud dari perjanjian ini? Siapa yang menjadi tumbal? Tara mencoba mendekat, tetapi tubuhnya terasa terhenti, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk bergerak.
Ketika Tara mencoba kembali ke masa kini, semuanya berubah. Dunia di sekitarnya menjadi sunyi, gelap, seperti ada sesuatu yang hilang. Ia memandang jam saku itu, lalu menemukan ukiran kecil di bagian belakang yang sebelumnya tidak ia perhatikan: *“Jiwa adalah harga yang harus dibayar.”*
Tara merasa dunia di sekitarnya runtuh. Semua perjalanan waktu yang ia lakukan bukanlah kenyataan—itu hanyalah ilusi yang diciptakan untuk menahan jiwanya. Kakeknya telah membuat perjanjian gelap demi kekayaan dan kekuasaan, dan harga dari perjanjian itu adalah jiwa salah satu keturunannya. Tara adalah korban dari warisan kelam itu.
Kini, Tara tidak lagi dapat kembali ke realitas. Ia terperangkap di antara masa lalu yang membeku, sendirian. Ayu mulai memudar, seperti bayangan yang menghilang di tengah kabut. Tara berjalan menyusuri desa yang kosong, memanggil-manggil nama Ayu, tetapi tidak ada jawaban. Ia hanya bisa merasakan kesunyian yang menusuk, menjadi bayangan dalam dunia yang tak nyata.
“Ayu…” bisiknya lirih, air mata mengalir tanpa henti. “Kenapa aku? Kenapa aku harus menjadi tumbal?”
Namun, tidak ada jawaban. Tara berdiri di tengah desa yang berhenti berjalan, terjebak dalam penjara waktu. Matahari terbenam di ufuk barat, tetapi malam tak pernah datang. Tara tahu, ia adalah bagian dari ilusi yang tak pernah berakhir.