Prolog
Hari itu seharusnya biasa saja, dan aku Shu Yuhuan hanya perlu untuk pergi ke rumah sakit terdekat karena aku punya jadwal operasi usus buntu, tentu saja itu tak ada yang istimewa, benar kan?
Orang orang melakukan operasi ini hampir setiap hari, aku yakin 100% kalau dokter bedah pasti sudah melakukannya ratusan kali sebelum aku, lagi pula apa susahnya sih? Aku cuma perlu tidur sebentar lalu bangun tanpa rasa sakit.
Tapi ternyata semua ini lebih rumit, bahkan takdir seakan punya selera humor yang buruk untuk membuat hidupku lebih menderita.
“Shu Yuhuan?” seorang perawat memanggul namaku dengan suara datar. “Dokter udah nungguin kamu di ruangan operasi.”
Saat itu aku tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit segera berdiri, meski perutku masih terasa nyeri, seperti ditusuk oleh ribuan pisau, hanya saja sensasinya berasal dari dalam tubuhku, namun aku lebih merasa gugup daripada sakit
Aku menoleh ke arah ibuku yang menemaniku untuk menjalani operasi ini, ia duduk di samping kursiku, wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir, tapi ia tetap berusaha tersenyum untuk menenangkanku. “Kamu bakal baik baik aja, Yuhuan, operasi ini gak bakal lama kok, nanti pas kamu bangun semua rasa sakit itu akan hilang.”
Aku mengangguk pelan dan segera mengikuti perawat untuk masuk ke dalam ruang persiapan, mereka memberiku baju operasi berwarna biru pucat.
“Nona Yuhuan, silahkan berbaring di atas ranjang operasi.” ucap perawat sebelumnya. “Rileks aja, oke~kita gak bakal gigit kamu kok.”
Selang beberapa saat kemudian, seorang dokter datang, ia mengenakan master serta sarung tangan, aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas tapi dari suaranya, ia terdengar sangat ramah.
“Tenang aja Yuhuan.” ucap Dokter itu sembari tersenyum. “Ini operasi kecil, kamu bakal tidur sebentar, dan saat bangun nanti—rasa sakitnya udah ngilang.”
Aku menatap ke arah dokter itu sambil memaksakan senyuman, lalu akhirnya aku mengangguk. “Oke, dok.”
Setelah perbincangan itu selesai, semua di sekeliling aku menjadi kabur, bius mulai bekerja, dan aku merasa seperti tengah tenggelam dalam kegelapan.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Aku bahkan sampai lupa dan tak sadar berapa lama aku tertidur tapi satu yang jelas saat aku mulai tersadar, kepalaku terasa berat, dan tubuhku seperti tak bisa di gerakkan lagi, mataku mengerjap tapi perlahan langit langit rumah sakit bakal sambut pandanganku.
Sepertinya operasi telah selesai dilakukan, apakah itu berarti semuanya berhasil sesuai rencana? Aku menghela nafas lega karena akhrinya semua ini telah berakhir, rasa sakit yang aku rasakan menghilang seperti perkataan ibu dan juga si dokter.
Tapi belum semenit aku merasakan kelegaan, ada sesuatu yang terasa sedikit—ganjil, aneh dan mungkin salah.
Perutku masih terasa sakit, namun ini bukan nyeri biasa, tapi seperti ada sesuatu yang menusuk dari dalam, aku menggigit bibir mencoba untuk mengabaikan rasa sakit ini, sambil berpikir kalau ini mungkin saja adalah efek samping pasca operasi.
Tapi semakin lama rasa sakit itu tak pernah hilang, aku bahkan mencoba untuk duduk, tapi perutku seperti ditarik paksa dari dalam, aku menggigit bibir lebih keras menahan rasa tak nyaman yang semakin menjadi jadi.
Dan tak lama kemudian, pintu terbuka dengan seorang perawat masuk ke dalam kamar tempatku beristirahat, wajahnya tampak pucat seolah ingin mengatakan sesuatu tapi bingung ketika harus menentukan arah percakapannya.
“Nona Shu Yuhuan.” suaranya terdengar ragu, ia menggigit bibirnya seolah bingung akan perkataan yang hendak keluar.
“Ada apa?” tanyaku, entah kenapa tapi perasaanku mengatakan kalau hal yang hendak ia katakan kemungkinan adalah hal buruk, karena perasaanku mulai tak enak.
Perawat itu tampak gugup, hingga akhirnya ia mengumpulkan keberanian lalu berkata. “Dokter bilang mau ketemu sama keluarga kamu, karena ada sesuatu yang perlu di bicarain sama mereka.”
Jantungku berdegup lebih kencang, aku menatapnya dengan tatapan curiga. “Kenapa harus bicara sama keluarga aku? Bisa gak langsung ngobrol sama aku?”
Perawat itu terdiam sesaat, lalu akhirnya berkata dengan suara pelan, “Sebenarnya ini agak memalukan sih—” ia lalu menghela nafas panjang sebemu akirnya melanjutkan. “Ada… kesalahan saat kamu di operasi.”
Kesalahan? Tunggu sebentar deh~entqh kenapa darahku terasa seperti berhenti mengalir sebentar. “Maksud kamu apa?”
Perawat itu menelan ludah tampak sedikit bersalah. “Dokter… lupa ngeluarin pisau bedah dari perut kamu pas operasi itu.”
Dunia seakan berhenti berputar, aku menatapnya, berharap dia bercanda tapi wajahnya terlalu serius, aku berusaha bicara, tapi yang keluar dari mulutku hanyalah satu kata : “Apa?”
Jujur saja, aku tak bisa mempercayai hal ini, apakah aku benar benar salah dengar atau sebenarnya ini adalah dunia mimpi yang tercipta dari trauma seseorang, apalagi sebuah pisau bedah, berada tepat di dalam perutku?
“Ini lelucon, kan?” suaraku bergetar, aku memandang perawat itu dengan harapan dia akan tertawa dan bilang ini kalau ini cuma salah paham, atau bagian dari ‘April fools days?’
Tapi tidak, perawat itu tetap diam dengan pandangan ke segala arah, wajahnya seperti di penuhi perasan bersalah, meski aku yakin kalau itu mungkin hanyalah sebuah rancangan awal..
Aku ingin tertawa, sambil berkata kalau hidupku penuh dengan lelucon malah membuatku mual, perutku yang sudah sakit kini terasa lebih buruk lagi, ada benda asing di dalam tubuhku, sesuatu yang seharusnya tak ada di sana.
“Dokter akan segera melakukan operasi kedua untuk mengeluarkannya,” kata perawat itu, mencoba terdengar menenangkan. “Kami benar benar minta maaf atas kelalaian ini.”
Minta maaf? Seharusnya mereka nggak melakukan kesalahan bodoh ini dari awal!
Aku ingin marah, berteriak, tapi rasa sakit di perutku membuatku lemas, seolah menarik kekuatanku secara perlahan, sepertinya aku tak punya pilihan selain menjalani operasi ini lagi.
Perawat itu meletakkan kursi roda tepat di depanku, seolah berkata. ‘Coba deh naik ini, karena aku yakin kamu pasti capek’
Setelah beberapa saat berpikir aku pun mulai untuk mengikuti permainannya dengan menaiki kursi roda, aku pun kembali berbaring di dalam ruang operasi, lampu lampu terang menyorot wajahku, tapi kali ini, aku nggak terlalu takut. Aku lebih marah daripada gugup.
Seorang dokter bedah, mungkin yang berbeda dari sebelumnya, berdiri di sampingku. “Kami akan melakukan yang terbaik, Yuhuan,” katanya.
Aku hanya mengangguk lemah, maaf tapi setelah di khianati oleh kalian bahkan para tenaga medis yang sangat ceroboh, akibat semua hal buruk menimpa diriku.
Saat anestesi mulai bekerja, pandanganku kembali memudar, aku tenggelam dalam gelap untuk kedua kalinya, lalu semuanya berubah menjadi hal yang lebih dari kata kacau.
Aku tak bisa melihat apa pun di sekeliling, tapi sepertinya aku bisa merasakan, tubuhku seperti terombang ambing di antara sadar dan tidak sadar, da suara-suara panik di sekelilingku, suara dokter dan perawat yang berteriak-teriak.
“Tekanan darahnya turun!”
“Ada pendarahan masif!”
“Cepat, kita butuh lebih banyak darah!”
Tapi tubuhku mulai terasa dingin, terlalu dingin. Aku ingin bergerak, ingin bicara, ingin bertanya apa yang terjadi, tapi lidahku terasa berat.
Terlalu berat.
Pendarahan?
Oh… jadi begini rasanya sekarat? Aku merasa ringan, seperti melayangvsuara suara itu semakin jauh, semakin sayup. Aku nggak merasakan sakit lagi.
Dan saat aku benar benar tenggelam dalam kegelapan, aku menyadari sesuatu, kalau setelah ini wku tidak akan bangun lagi.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Meet the Goddess
Saat aku kembali membuka mata karena berpikir mungkin saat ini diriku tengah berada di dunia yang berbeda—di akhirat mungkin, tapi kalau di pikir tentang kehidupanku, aku ini bukan tipikal orang baik banget tapi juga tak jahat.
Bukankah seharusnya aku sudah mati, aku ingat saat itu ketika para dokter secara tak sengaja atau malah sengaja, aku tahu itu saat kematian menjemput, aku merasakan tubuhku menyerah, darah mengalir terlalu banyak, dan kegelapan yang menelanku, tapi sekarang, aku di sini.
Entah kenapa tempatku berada sangat aneh, jauh dari bayangan tentang surga atau neraka, langitnya seperti lautan tinta begitu berkilau seolah tengah di penuhi oleh banyak bintang emas yang berpendar.
Aku berdiri di atas sesuatu yang hampir tak terlihat, tapi juga seperti tanah lembut, mungkin jika di ibaratkan sebagai dessert, aku tengah berada di atas mochi lembut, rasanya ingin berada di sini lebih lama lagi.
Udara di sini—entah kenapa terasa begitu hampa, tak ada angin berhembus atau udara samar dari pepohonan, mungkin karena di sini hampir seperti dalam dunia game ketika mengalami bug.
Mungkin terdengar aneh, tapi—walau berada di antara kehampaan, aku merasa sedikit nyaman, setidaknya tak harus merasakan sakit yang sebelumnya kurasakan karena ulah dokter biadab itu—beraninya ia melakukan hal se ceroboh itu dengan meninggalkan pisau bedah di perutku.
“Ini tidak masuk akal.” aku mengerang karena marah, namun sayang tak bisa melakukan apa apa.
Entah kenapa tapi ingin sekali rasanya aku meremukkan kepala dokter itu, wajahnya sok polos kayak orang tak memiliki dosa, tapi aslinya hanya iblis dalam wujud manusia, demi apapun aku mau minta keadilan dengan orang itu kena karna mati mengenaskan.
Tiba tiba aku mendengar sesuatu. suara itu seakan menggema dari segala arah. “Selamat datang, Shu Yuhuan.”
Ketika berbalik, di sana aku melihat seorang wanita cantik berdiri mengenakan jubah putih berkilauan seolah olah ditenun oleh cahaya bintang, rambutnya panjang seputih butiran salju, matanya bersinar seperti bulan purnama, entah kenapa aku merasa kalau ada aura ilahi mengelilinginya, begitu kuat sampai membuatku sulit untuk bernafas.
Saat itu juga aku tersadar, wanita di hadapanmu bukan sekedar entitas biasa, melainkan sesuatu yang memiliki kekuatan melebihi manusia sepertiku.
Dengan memberanikan diri, akhirnya aku bertanya. “Siapa kamu?” suaraku serak.
Wanita itu tersenyum lembut. “Aku adalah Dewi Kehidupan.” ia lalu menunjuk ke arahku. “Dan kamu, Shu Yuhuan, telah datang ke persimpangan takdir.”
Aku mengernyit ketika mendengar perkataannya. “Persimpangan takdir?” ulangku mencoba meyakinkan diriku. “Omong kosong macam apa ini??”
Dewi itu hanya tersenyum sebelum akhirnya ia berkata. “Kamu harusnya udah mati di duniamu.” katanya sekali melangkah lebih dekat. “Tapi karena kematian itu adalah kesalahan orang lain, maka aku akan berikan kamu kesempatan kedua, sebuah kehidupan yang baru, namun kamu harus milih.”
Dadaku berdegup lebih kencang. “Memilih apa?” aku memiringkan kepala seolah baru saja di hantam oleh palu godam.
Dewi itu hanya tersenyum simpul sebelum akhirnya ia mengangkat salah satu tangan, dan di antara jari jarinya muncul dua bola cahaya.
“Pilihan pertama,” kata dewi itu, menampilkan bola cahaya berwarna ungu. “Kamu akan terlahir kembali sebagai seorang villainess dalam kisah sebuah novel, dan di sama kamu akan memiliki kekuatan luar biasa, tak tertandingi, dan dunia akan membencimu, tapi semua itu ada dalam genggamanmu—kamu bisa memilih untuk menghancurkan atau menguasai.”
Aku menatap bola cahaya itu, kedengarannya seperti kesempatan untuk membalas dendam pada dunia yang memperlakukanku dengan buruk, kekuatan? Pengaruh? Hidup tanpa harus takut? Itu terdengar menarik.
Tapi sebelum aku bisa menjawab, dia menunjukkan bola cahaya kedua, yang bersinar merah gelap.
“Atau… kamu akan terlahir kembali di dunia lain sebagai putra dari Raja Iblis,” lanjutnya. “Tapi di dunia itu, Raja Iblis bukanlah makhluk keji seperti yang diceritakan, sebaliknya, manusia lah yang selalu menindas ras iblis, sebagai pewarisnya, kamu harus membuktikan bahwa Raja Iblis bukanlah sosok jahat seperti legenda dalam cerita mereka, jangan lupa kalau kamu bebas menentukan takdir kamu bisa memilih jalan perdamaian… atau memulai perang.”
Aku menelan ludah, pilihan ini jauh lebih kompleks daripada yang pertama, sembari menatap ke arah dua cahaya di tangannya itu, menjadi seorang villaines—kuat berkuasa atau menjadi pangeran iblis yang harus memperjuangkan kebenaran.
Dewi Kehidupan tersenyum simpul. “Keputusan ada di tanganmu, Shu Yuhuan, pilihlah takdirmu, karena apapun itu tidak ada jalan untuk kembali.”
Aku menarik nafas dalam merasa lebih terbebani, karena pilihan ini akan menentukan seluruh kehidupanku di dunia selanjutnya.
Beberapa saat berlalu dan aku masih saja bingung akan pilihanku, aku menatap dua cahaya itu, jari jariku hampir terulur untuk menyentuh salah satunya, tapi aku merasa ragu, untuk pertama kalinya.
Pilihan pertama—villainess dengan kekuatan luar biasa, namun di benci seluruh dunia, walau dengan kekuatan tak tertandingi dengan kata lain OP sejak lahir, tapi aku tak mau kalau hidup sebagai seseorang yang kuat tapi harus selalu menghadapi kebencian.
Sementara itu pilihan kedua sebagai putra dari Raja Iblis, hidup dalam dunia penuh dengan kesalahpahaman tentang ras iblis harus membuktikan bahwa ayahku bukanlah sosok kegelapan kejam tanpa perasaan seperti yang manusia pikirkan dalam sejarah mereka.
Aku menggigit bibirku, jujur saja pilihan pertama terlihat menggoda, kekuasaan, kebebasan dan tak ada seorangpun bisa menyakitiku lagi seperti sebelumnya, aku bisa menjadi orang yang dunia tak bisa lawan.
Tapi salah langkah bisa membawaku pada akhir mengenaskan entah di asingkan atau di bunuh hero serta para love interest, karena itulah takdir seorang penjahat, penuh ketidak adilan.
Namun aku sudah pernah mengalami bagaimana rasanya dihakimi tanpa alasan, rasa sakit karena di anggap lemah, tak berdaya atau hanya kesalahan yang bisa di buang begitu saja.
Kalau aku memilih untuk menjadi seorang villainess, itu berarti aku hanya akan mengulang kebencian itu, tapi dengan posisiku di atas, aku akan menjadi sosok keji dan dapat membalas dendam pada seluruh dunia, tapi—apa bedanya aku dengan mereka yang menyakitiku?
Sebaliknya… pilihan kedua memberiku kesempatan untuk membuktikan sesuatu, bahwa tak semua yang terlihat jahat itu benar benar jahat.
Aku mengangkat tangan dan menyentuh bola cahaya merah gelap. “Aku memilih untuk menjadi putra dari seorang Raja Iblis.”
Dewi Kehidupan tersenyum, seolah sudah menebak keputusanku. “Pilihan yang menarik.”
Bola cahaya itu langsung menyelimutiku, menghangatkanku seperti api yang lembut. Tubuhku terasa ringan, seolah aku dilepaskan dari beban yang selama ini menahanku.
Aku mulai tenggelam dalam cahaya merah itu, dan sebelum kesadaranku menghilang, aku mendengar suara lembut Dewi Kehidupan berbisik. “Selamat datang di kehidupan barumu, putra Raja Iblis.”
Sebelum aku bisa merespon lebih jauh, semuanya menjadi hitam.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Demon King Heirs
Dan yang aku rasakan adalah keheningan... kegelapan dan dingin yang menusuk seluruh tubuhku—walau demikian semuanya terasa begitu nyata.
Tubuhku serasa terperangkap dalam sesuatu yang sempit dan hangat, seperti dikelilingi oleh cairan kental yang membuatku sulit bergerak, aku tak bisa membuka mata sementara kesadaranku terasa mengambang di antara tidur dan terjaga.
Ini… apa?
Aku mencoba mengingat pilihan yang kubuat sebelumnya, Dewi Kehidupan... reinkarnasi... anak Raja Iblis.
Seketika aku teringat kalau sebelumnya aku memilih untuk menjadi putra dari Raja iblis dan bereinkarnasi di dunia lain, setidaknya aku masih hidup itu sudah sebuah anugerah.
Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, rasa sakit tiba tiba menghantamku, ada tekanan besar yang mendorong tubuhku, seperti diperas dari segala arah, dan aku tak bisa melawan.
Suara samar terdengar di kejauhan, jeritan dari seorang wanita. entah kenapa itu terdengar sangat menyakitkan, penuh perjuangan, membuatku ingin tahu siapa itu, tetapi kesadaranku semakin memudar…lalu semuanya berakhir.
Aku terhempas ke udara dingin, tubuhku gemetar dan paru paruku terasa kosong—sebelum tiba tiba sesuatu masuk ke dalam dadaku, aku terengah, udara pertama yang pernah kuhirup menusuk paru paruku seperti pisau tajam.
Aku menangis, ya, aku menangis—tak peduli seberapa aneh rasanya bagi seorang mantan manusia dewasa, refleks bayi yang baru lahir, tubuhku gemetar, suara tangisku memenuhi ruangan.
Ada seseorang yang mengangkatku dengan lembut, aku merasa dipeluk, didekap dengan penuh kehangatan, saat mencoba membuka mata, tapi pandanganku masih terlalu kabur untuk melihat dengan jelas, namun, aku bisa mendengar suara seorang wanita.
“Anakku…” suaranya terdengar lemah, tapi penuh kasih. “Kamu… sangat tampan… seperti ayahmu.”
Hatiku bergetar, aku ingin berbicara, ingin mengatakan sesuatu, tapi tubuh bayi ini tidak memungkinkan. entah kenapa aku hanya bisa merasakan jari jari halus membelai pipiku, sebelum tangan itu mulai kehilangan kekuatannya.
Sesuatu tak beres, aku bisa merasakan tubuh wanita itu melemah, napasnya semakin pendek dan terputus putus, suara suara lain mulai memenuhi ruangan—terdengar seperti tangisan orang orang yang berduka.
“Ibu…” aku tak bisa berbicara, tetapi dalam hati aku memanggilnya.
Detik berikutnya, aku mendengar suara laki laki menggelegar di ruangan. “Yang Mulia Ratu… mohon bertahan…!”
Ratu? Jadi ibuku adalah seorang bangsawan? Hmm... kayaknya menarik—eh tunggu bentar deh, kan aku memang minta jadi anak raja iblis, otomatis ibuku seorang ratu dong—hadeh... biasanya aku akan menepuk kepala tapi—yah itu tak mungkin kan??
“Tolong…” suara ibuku nyaris seperti bisikan. “Jaga… Reiner…”
Reiner? Aku baru menyadari—itu adalah namaku di kehidupan ini, Reiner Moreau.
Ibuku berkata sesuatu lagi, tapi suaranya semakin lemah, sebelum akhirnya… hening.
Aku tidak mendengar napasnya lagi, seseorang di ruangan mulai menangis, tidak, tidak mungkin… ibuku tak mungkin…
Aku ingin berteriak, ingin bergerak, tapi tubuh kecilku tidak bisa melakukan apa pun, aku hanya bisa menangis lebih keras, berusaha memanggil ibuku yang tidak lagi merespons.
Di tengah kebisingan dan kesedihan tengah melanda ruangan, tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka kasar. BRAK! “Serahkan anak itu.” sebuah suara berat dan dingin menggema, membawa hawa kehadiran yang begitu kuat hingga membuat semua orang membeku.
Aku masih belum bisa melihat dengan jelas, tapi aku bisa merasakan orang orang di sekitarku langsung berlutut dengan gemetar.
“Tu-Tuan Raja Iblis…” seseorang berbisik ketakutan.
Jadi ini dia—ayahku di kehidupan ini, aku merasa tubuhku diangkat sekali lagi, lalu kehangatan yang berbeda menyelimuti tubuh kecilku, tangan tampak lebih besar, lebih kuat, tapi tetap terasa hati hati saat menggenggamku.
“Anakku…” Suara ayahku rendah dan serak, aku tak bisa melihat wajahnya, tapi aku bisa merasakan sesuatu yang berat dalam nadanya. “Maafkan aku… karena tidak bisa melindungimu dan ibumu…”
Aku tidak tahu harus merasakan apa, di kehidupanku sebelumnya, aku tidak pernah memiliki sosok ayah yang peduli, tapi di kehidupan ini, meskipun baru lahir, aku bisa merasakan kesedihan dalam suara ayahku.
Ayahku bukan hanya seorang Raja iblis kuat, dingin serta keji, melainkan sosok pria rapuh karena baru saja kehilangan wanita yang dicintainya dan sekaligus istrinya .
Aku masih menangis, meski bukan karena refleks bayi lagi, dan aku yakin kalau ini… barulah sebuah awal permulaan yang sulit untuk kehidupan baruku.
Entah kenapa dunia ini tak memberiku ruang untuk bernafas lega, bayangkan saja aku baru mendapatkan kehidupan baru sebagai putra Raja Iblis, kehilangan ibuku—dan sekarang? Hadeh...
Tangisku baru saja reda saat suara teriakan menggema dari luar, aku masih dalam pelukan ayahku, dan bahkan dalam tubuh bayi ini, aku bisa merasakan sesuatu yang berbahaya mendekat.
“Apa yang terjadi?” suara ayahku rendah dan dingin, tapi ada nada kemarahan tertahan di dalamnya.
Seseorang menjawab dengan nada panik. “Manusia… Mereka menemukan lokasi kita, Tuan! Mereka menyerang dengan kekuatan penuh!”
Jantung kecilku berdebar kencang, bahkan tanpa bisa melihat dengan jelas, aku tahu ini bukan sekadar serangan kecil, mereka datang untuk memburu kami.
Aku merasa tubuhku bergerak, lalu suara jubah panjang berkibar di udara terdengar jelas, ayahku mulai melangkah. “Bawa semua yang tersisa, nangan biarin mereka jatuh ke tangan manusia,” perintahnya, suaranya tak terbantahkan.
“Tapi, Yang Mulia… Anda baru saja kehilangan—”
“HENTIKAN OMONG KOSONGMU.” bentak ayahku dengan suara mengintimidasi.
Seketika seluruh ruangan pun terdiam, tak ada seorangpun di sana yang berniat untuk membuka suara, lagi pula di hadapan mereka adalah sang Raja Iblis, bahkan aku saja merasa kecil. .
Aku bisa merasakan aura luar biasa kuat mengalir dari tubuh ayahku, begitu menekan hingga semua orang terdiam, aku menggigil kecil, bukan karena takut, tapi karena aku bisa merasakan betapa besarnya kekuatan yang dimilikinya, adalah mental dari seorang raja sejati.
Tanpa membuang waktu, ayahku melangkah cepat, aku bisa merasakan angin dingin menusuk kulitku, menandakan bahwa kami telah keluar dari dalam bangunan tempat aku dilahirkan.
Dan di sanalah neraka dimulai, langit malam yang seharusnya gelap kini menyala merah karena kobaran api, bangunan di sekitarku runtuh, jeritan dan suara dentingan senjata terdengar di mana mana, asap hitam memenuhi udara, bercampur dengan bau darah yang menusuk.
Ini bukan sekadar serangan. Ini adalah pembantaian, para pasukan manusia—berbaju zirah perak berkilauan di bawah cahaya api—bergerak seperti gelombang angin saat hendak menelan segala yang ada di hadapan mereka, mereka menyerang tanpa ampun, menghunus pedang mereka ke arah para iblis yang mencoba melawan.
Tubuh tubuh bergelimpangan dan darah mengalir seperti sungai, aku ingin menutup mataku, ingin berpura pura ini hanya mimpi buruk, tapi suara kematian di sekelilingku terlalu nyata.
“Ayo pergi.” Suara ayahku tetap stabil, tapi aku bisa merasakan ketegangan dalam nada suaranya, ia melompat ke udara—ya, melompat—dan dalam sekejap, aku bisa merasakan angin menderu melewati wajahku.
Dia… terbang?! Aku mencoba membuka mataku sedikit, benar saja, ayahku melayang di udara, jubahnya berkibar di belakangnya, pemandangan di bawahku terlihat seperti lautan api dan kehancuran.
Aku melihatnya sendiri—pasukan iblis yang tersisa berusaha bertahan, tapi mereka kalah jumlah, dan di tengah kekacauan itu, aku melihat seseorang berdiri di atas bukit reruntuhan, memimpin pasukan manusia.
Seorang pria berambut emas, mengenakan zirah putih yang berkilauan seperti cahaya matahari. Pedangnya bersinar dengan aura suci, dan tatapannya tajam seperti elang yang mengincar mangsa.
Aku tak tahu siapa dia, tapi instingku memberitahuku bahwa dia adalah pemimpin dari semua ini.
Ayahku menatapnya sekilas, lalu menggeram pelan. “Brandon Solheim…”
Brandon Solheim, aku mengukir nama itu dalam ingatanku, orang itu adalah musuh yang menghancurkan keluargaku.
Namun, ayahku tak tinggal lebih lama. Dengan satu gerakan, dia mempercepat terbangnya, meninggalkan tempat itu secepat mungkin.
Aku hanya bisa terdiam dalam dekapannya, menyadari bahwa hidupku baru saja dimulai dalam tragedi, dan aku bersumpah… suatu hari nanti, aku akan membalas semuanya.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Others Side
Dunia yang baru saja menyambutku kini terlempar dalam kobaran api peperangan, dalam dekapan erat ayahku, aku bisa merasakan angin malam menusuk kulitku, menciptakan perpaduan aneh antara kehangatan tubuhnya dan dinginnya dunia luar.
Ayahku, Raja Iblis, membawa kami melintasi langit yang diselimuti asap dan darah, sementara di bawah sana, pasukan iblis masih berusaha mati matian menahan gelombang manusia, tapi mereka kalah jumlah.
Saat ini aku masih terlalu kecil untuk memahami semuanya, tapi satu hal pasti—aku lahir di dunia yang penuh kebencian dan dendam. ‘Brandon Solheim.’
Nama itu, nama pria berambut emas tampak berdiri gagah di tengah kehancuran, tertanam dalam benakku, dialah pemimpin pasukan manusia, dalang di balik serangan ini, dan juga orang yang bertanggung jawab atas kematian ibuku.
Aku tak bisa melakukan apa apa untuk sekarang, tubuh kecil ini terlalu lemah, tapi suatu hari nanti… aku akan memastikan namanya menjadi bayangan buruk di dunia ini.
Beberapa waktu berlalu sejak pelarian kami, aku tak tahu pasti berapa lama, karena kesadaranku sering hilang akibat kelelahan, satu hal aku tahu kalau kami sekarang berada di suatu tempat jauh dari kerajaan yang telah hancur.
Akhirnya aku bisa melihat dunia ini dengan lebih jelas, tubuhku masih bayi walau jiwaku masih Shu Yuhuan, tentu saja, tapi aku bisa mengenali lingkungan sekitarku, ruangan tempat aku berada besar, dingin, dan dipenuhi oleh cahaya biru redup dari kristal yang tertanam di dinding.
Aku tahu ini bukan sembarang tempat. melainkan benteng tersembunyi milik para iblis, jauh dan tersembunyi dari jangkauan para manusia.
Seorang pria tinggi berjubah gelap berdiri di dekat ayahku, matanya menyipit tajam saat menatapku, seperti menilai sesuatu. “Apakah dia satu satunya pewaris yang tersisa, Yang Mulia?”
Ayahku, yang duduk di atas singgasana batu hitam, mengangguk pelan. “Ya. Reiner Moreau… dia adalah putraku, dan satu satunya harapan bangsa iblis.”
Aku masih terbungkus dalam kain tebal, tapi aku bisa merasakan atmosfer berat terasa memenuhi ruangan, mereka membicarakanku seolah olah aku adalah aset penting, dan aku tahu, takdirku sebagai putra Raja Iblis bukanlah sesuatu yang ringan.
Pria berjubah itu—yang tampaknya penasihat kerajaan—berdeham sebelum berbicara lagi. “Jika demikian, maka kita harus segera mempersiapkan segalanya, para manusia akan terus mengejar kita, dan kita harus memastikan bahwa Pangeran Reiner tumbuh menjadi pemimpin yang bisa membalas dendam ini.”
Ayahku mengangguk pelan. “Aku akan melatihnya sendiri.”
Aku menelan ludah...jadi… aku tak hanya akan tumbuh sebagai putra Raja Iblis, tapi juga sebagai pewaris yang harus membawa beban dendam ini, dalam hati, aku menghela nafas panjang, hidup di dunia ini pasti tak akan mudah.
Namun, jika itu adalah takdirku, maka aku akan menerimanya, menjadi iblis terkuat, dan aku akan membalas semuanya.
Sejak pelarian kami dari kerajaan yang hancur, hidupku kini hanya berpusat pada satu orang—ayahku, Raja Iblis.
Dari apa yang kulihat, ayahku adalah sosok yang dihormati sekaligus ditakuti, setiap kali dia memasuki ruangan, para bangsawan iblis akan berlutut tanpa berani menatap langsung ke arahnya, tatapan matanya selalu dingin, kata katanya tajam seperti pisau, dan sikapnya penuh wibawa, tak pernah menunjukkan kelemahan sedikit pun.
Namun, saat hanya ada aku dan dia… semuanya terasa berbeda, saat itulah aku mengenal sosok lain dari Raja Iblis.
Aku masih bayi, dan seperti bayi pada umumnya, aku sering menangis di tengah malam, karena tak bisa mengontrolnya, bahkan meski dalam kepalaku aku masih seorang manusia dewasa yang bereinkarnasi, tapi yang mengejutkan adalah, setiap kali aku menangis, ayahku selalu datang.
Ya, Raja Iblis itu sendiri yang datang menjemputku, aku sempat berpikir dia akan memerintahkan pelayan untuk mengurusku, tapi ternyata tidak—dengan ekspresi jauh berbeda dari yang biasa ia tunjukkan pada para bangsawan, dia mengangkatku dengan hati hati.
“Ada apa, Reiner?” suaranya lembut, bertolak belakang dengan suara menggelegar yang biasa ia gunakan saat berbicara di depan bawahannya.
Aku hanya bisa menangis pelan, entah karena lapar atau karena butuh kehangatan, tapi yang kulihat selanjutnya benar benar mengejutkan.
Ayahku sendiri memberiku susu, dengan satu tangan menopang tubuh kecilku, tangan lainnya dengan cekatan menyodorkan botol susu ke mulutku, aku masih ingat bagaimana dia menatapku dengan tatapan yang penuh perhatian, seakan akan aku adalah satu satunya hal berharga di hidupnya.
“Minumlah perlahan,” gumamnya. “Jangan terburu buru.”
Aku menatap matanya berwanra merah gelap—tatapan itu biasanya tampak tajam dan menakutkan, kini terlihat lebih hangat, ini bukan Raja Iblis yang mereka takuti—ini hanya seorang ayah ketika sedang merawat anaknya.
Dan bukan hanya itu karena setiap beberapa hari sekali, aku juga dimandikan olehnya.
Saat aku pertama kali merasakan air hangat menyentuh kulitku, aku sedikit terkejut, bukan karena airnya, tapi karena tangan yang memandikanku adalah tangan Raja Iblis sendiri.
Ia melakukannya dengan penuh ketelitian, seakan akan aku adalah benda rapuh yang harus dijaga dengan baik, tangan besar dan kuat itu mengusap kepalaku dengan lembut, membilas tubuh kecilku dengan air hangat.
“Hmm, kau sudah mulai tumbuh lebih besar,” gumamnya pelan, seakan berbicara sendiri. “Itu bagus.”
Aku ingin tertawa mendengar nada suaranya yang terdengar seperti seorang ayah biasa.
“Setidaknya kau belum mewarisi tanduk iblis… ibumu pasti senang melihatnya,” lanjutnya, kali ini dengan suara yang sedikit lebih pelan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Aku melihat matanya sedikit berkabut sesaat sebelum dia menarik nafas panjang dan kembali membilas tubuhku dengan air hangat.
Di momen momen seperti ini, aku benar benar merasakan kasih sayang yang tulus dari ayahku.
Ayah bukan hanya Raja Iblis menakutkan tapi ia adalah seorang pria yang baru saja kehilangan istrinya, dan kini hanya memiliki aku sebagai satu satunya keluarga.
Namun, semua itu berubah saat dia berada di hadapan para bangsawan iblis, setiap kali ada pertemuan penting, ayahku kembali menjadi sosok dingin dan tanpa emosi.
Di dalam aula besar, para bangsawan iblis berlutut, menunggu perintah dari pemimpin mereka, aku sering dibawa ke ruangan itu, tapi aku tak pernah melihatnya tersenyum atau menunjukkan kelembutan seperti yang biasa ia tunjukkan padaku.
“Kita akan membangun kembali kekuatan kita,” suaranya terdengar menggelegar. “Dan kita tak akan menunjukkan kelemahan lagi.”
Tatapannya tajam, penuh ketegasan, tak ada jejak pria lembut yang memberiku susu atau memandikanku dengan hati hati.
Aku memandangnya dengan mata polos bayi, bertanya-tanya apakah ini orang yang sama.
Salah satu bangsawan memberanikan diri berbicara, “Yang Mulia, bagaimana dengan Pangeran Reiner?” seketika ruangan menjadi lebih dingin.
Ayahku menatap bangsawan itu, ekspresinya tak terbaca. “Dia adalah pewaris takhta, tak ada yang boleh meragukannya.”
Bangsawan itu langsung menunduk dalam, tidak berani berkata-kata lagi.
Aku hanya bisa menghela nafas dalam hati, jadi begini, ya, hidup sebagai anak Raja Iblis.
Di hadapan dunia, ayahku adalah pemimpin yang dingin dan kuat, tapi di hadapanku, dia hanyalah seorang ayah yang berusaha merawat satu satunya anak tersisa dalam hidupnya.
Aku tak tahu bagaimana masa depanku nanti, tapi satu hal yang pasti—aku akan tumbuh di bawah naungan pria yang penuh kontradiksi ini, dan jujur saja, aku tak keberatan.
Dan pada momen ini aku berpikir mungkin—jika mungkin aku bisa mengubah cara pandang para manusia terhadap ras iblis, dan meyakinkan kalau sejarah telah di manipulasi.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Funeral
Waktu berlalu, aku mulai belajar merangkak dan berbicara beberapa kata, setiap kemajuan kecil selalu membuat ayah tersenyum tipis—senyuman yang jarang kulihat, tapi selalu membuat hatiku hangat.
Di balik senyum itu, aku tahu ada beban besar tengah ia pikul, membangun kembali kerajaan bukanlah perkara mudah, terutama setelah kekalahan besar yang membuat ras iblis hampir punah, tapi ayah tak pernah menunjukkan kelemahan di depan siapa pun kecuali aku.
Suatu malam, saat langit di luar benteng dihiasi kilauan bintang, ayah mengajakku ke balkon, ia menggendongku dengan hati hati sambil memandang ke arah hutan yang gelap dan sunyi.
“Reiner, suatu hari nanti kamu bakal ngerti betapa kejamnya dunia ini,” gumamnya pelan. “Manusia selalu nganggap kita sebagai iblis tanpa hati, tapi mereka gak pernah lihat kenyataan dari sudut pandang kita.”
Aku hanya bisa menggenggam jubahnya dengan tangan kecilku, mencoba memahami kesedihan yang tersirat di balik suaranya.
“Suatu hari nanti… aku mau kamu menentukan pilihan dan apapun itu aku akan mengikutinya,” lanjutnya, suaranya bergetar sedikit. “Aku gak mau kamu hidup dalam tekanan seperti aku, kalau kamu bisa… jadilah iblis yang membuat mereka memahami bahwa kita juga bisa merasakan cinta dan kehilangan.”
Aku mengedipkan mata, tak sepenuhnya paham, tapi aku bisa merasakan ketulusan dalam kata katanya, mungkin, di balik sosok Raja Iblis kejam dan ditakuti, ada seorang pria yang merindukan dunia lebih damai.
Hari hari berlalu dengan cepat, para bangsawan iblis mulai menerima keberadaanku sebagai penerus takhta, meskipun beberapa masih meragukan apakah aku bisa memenuhi ekspektasi mereka.
Saat aku mulai belajar berjalan, ayah melatihku untuk menguatkan tubuh kecilku, kadang kadang aku terjatuh, tapi dia selalu membantuku berdiri lagi.
“Tak apa jatuh, Reiner, tapi jangan pernah menyerah karena unia gak bakal pernah ngasih ampun sama makhluk lemah,” katanya sambil mengusap lututku yang memar.
Pada suatu malam, saat aku tertidur di kamarku yang luas dan dingin, aku mendengar ayah berbicara dengan penasihat kerajaan.
“Yang Mulia,” suara penasihat terdengar ragu, “apakah bijak membesarkan Pangeran dengan ajaran seperti itu? Dia adalah putra Anda, pewaris takhta, bukankah seharusnya dia dilatih menjadi pemimpin yang kuat dan tanpa belas kasih?”
Ayah terdiam sejenak sebelum menjawab, “Reiner bukan hanya penerus takhta, ia adalah harapanku untuk dunia yang lebih baik, aku gak mau dia jadi kayak aku—dibutakan oleh dendam, jika ada kesempatan untuk mengubah segalanya, aku ingin dia lakuin itu tanpa paksaan.”
Mendengar itu, aku meringkuk di balik selimut, meskipun aku masih kecil tapi jiwaku adalah manusia dewasa, kata kata itu tertanam dalam ingatanku.
Aku semakin mengerti bahwa menjadi pewaris Raja Iblis berarti mengemban dua hal : kekuatan untuk melindungi kaum iblis dan keinginan ayah untuk mengakhiri kebencian antar ras.
Di balik semua itu, aku juga menyimpan dendam pribadi—dendam pada Brandon Solheim, pria yang telah menghancurkan hidup kami, fapi jika ingin mewujudkan keinginan ayah, aku harus lebih dari sekadar pembalas dendam, aku harus menjadi simbol perubahan.
Suatu hari nanti, aku akan berdiri di hadapan manusia dan membuktikan bahwa kami bukan sekadar monster haus darah, dan ketika hari itu tiba, aku akan memastikan bahwa nama Reiner Moreau bukan hanya ditakuti, tapi juga dihormati.
Karena masih bayi, aku selalu digendong oleh ayahku, mungkin jika dikonversi menjadi usia manusia, aku baru berusia 6 bulan, dengan kata lain setengah tahun setelah insiden itu.
Hari ini, benteng terasa lebih sunyi dari biasanya, para bangsawan iblis berkumpul di aula utama dengan wajah muram, aku berada dalam pelukan ayah, merasa ada sesuatu yang berbeda.
Di tengah aula, sebuah altar besar terbuat dari batu obsidian berdiri kokoh, dihiasi bunga bunga ungu gelap yang hanya tumbuh di tanah iblis, di atas altar itu, terdapat ukiran nama nama para prajurit gagah dan telah gugur dalam pertempuran terakhir—termasuk nama ibuku.
Ayah berdiri tegak, mengenakan jubah hitam berlapis emas, simbol kekuasaan Raja Iblis, wajahnya tak menunjukkan emosi, tapi aku tahu dari genggamannya yang lebih erat dari biasanya, ada perasaan serta sulit ia sembunyikan.
Para bangsawan dan prajurit iblis berlutut ketika ayah berjalan menuju altar, suara derak api di sudut ruangan terdengar jelas dalam keheningan itu, setelah beberapa saat, ayah berbicara.
“Hari ini,” suaranya terdengar tegas namun penuh rasa hormat, “kita mengenang para prajurit yang telah berkorban demi mempertahankan tanah kita, mereka adalah saudara, teman, dan keluarga kita. Mereka bukan hanya prajurit—mereka adalah pahlawan untuk melindungi harapan bangsa iblis.”
Suasana makin hening, beberapa iblis yang kehilangan keluarganya tampak menahan air mata.
Ayah mengangkat tangannya, dan nyala api biru muncul di telapak tangannya, api itu melayang ke altar, menyelimuti ukiran nama nama yang ada. “Semoga jiwa mereka menemukan kedamaian,” lanjut ayah. “Dan semoga pengorbanan mereka gak sia sia.”
Aku memandang ke arah altar dengan mata polosku, berusaha memahami perasaan ayah, di antara semua nama itu, satu nama terpahat lebih besar daripada yang lain—nama ibuku.
“Aella Moreau,” gumam ayah pelan, tapi cukup keras untuk didengar semua orang. “Istri yang setia, ibu yang penuh kasih, dan ratu yang berani, aku berjanji, Aella… aku akan melindungi Reiner memastikan ia tumbuh kuat dan melanjutkan perjuanganmu.”
Ada jeda sejenak, sebelum ayah melanjutkan dengan suara yang lebih berat. “Aku gak bisa kembaliin apa yang hilang… tapi aku bakal mastiin bahwa dunia akan tahu, bangsa iblis tak akan pernah tunduk pada kebencian manusia, kita bakal bangkit lagi dan membuktikan kehebatan kerajaannya iblis.”
Para bangsawan menunduk, memahami makna dalam kata katanya, ayah menatap ke arah altar dengan pandangan yang jauh, seolah menembus waktu dan ruang, mengenang saat saat ketika ibuku masih ada.
Aku mendongak, melihat guratan kesedihan yang jarang terlihat di wajah ayah, aat itu, aku berjanji pada diriku sendiri—aku akan tumbuh kuat, tak hanya untuk membalas dendam pada Brandon Solheim, tetapi juga untuk memenuhi harapan ayah.
Setelah penghormatan selesai, para bangsawan bangkit satu per satu, meninggalkan aula dengan lebih tenang. Aku masih berada di pelukan ayah ketika dia menghela nafas panjang.
“Reiner,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri, “aku gak bisa gantiin peran ibu kamu… tapi aku bakal lakukin apa pun agar kamu gak kehilangan masa depanmu.”
Aku hanya bisa menggenggam jubahnya lebih erat, merasakan kehangatan dari tubuhnya yang penuh luka, baik fisik maupun batin.
Dalam keheningan itu, aku menyadari satu hal—meski ayah adalah Raja Iblis selalu ditakuti, dia tetaplah manusia dalam artian sesungguhnya : seorang suami yang kehilangan istrinya dan seorang aaya dan sangat mencintai anaknya.
Aku akan tumbuh kuat, ayah dan menjadi iblis melainkan untuk mengubah dunia ini—bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga kebijaksanaan, demi semua yang telah gugur dan demi harapan baru di hatiku.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Training
Waktu terus berlalu, musim berganti, dan aku mulai bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri, setiap langkah kecil yang kutapaki selalu diiringi pandangan penuh harap dari ayah.
Kadang ketika aku berhasil melangkah tanpa terjatuh, ayah akan mengangguk kecil, seolah mengakui usahaku, namun, ketika aku terjatuh, ia tetap ada di sisiku, membantuku berdiri lagi tanpa kata kata kasar atau amarah—hanya tatapan tegas yang memaksaku untuk tak pernah menyerah.
“Ayah…” gumamku pelan suatu hari, ketika aku berhasil berjalan beberapa langkah tanpa terhuyung, kata sederhana itu membuat ayah membeku sejenak sebelum senyuman tipis muncul di wajahnya.
“Ya?” jawabnya pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya.
“Aku… kuat,” kataku dengan nada yakin, ayah tertawa kecil, suara yang langka namun membuat dadaku terasa hangat.
“Kamu emang kuat, Reiner, jangan pernah lupain itu,” katanya sambil mengusap kepalaku.
Di balik latihan fisik yang cukup berat untuk anak seusiaku, ayah juga mulai mengenalkanku pada hal hal lain—sejarah ras iblis, kebijaksanaan dalam memimpin, dan cara memahami dunia di luar benteng ini, setiap kali ia berbicara, ada nada serius yang tak bisa disembunyikan.
“Ada banyak hal yang harus kamu pahami, Reiner,” ujarnya suatu malam, ketika kami duduk di depan perapian. “Dunia ini gak pernah adil pada kita, tapi kita gak boleh terjebak dalam kebencian selamanya.”
“Ayah… kenapa manusia benci kita?” tanyaku polos.
Ayah terdiam cukup lama sebelum menjawab, matanya menerawang ke api berderak di depannya. “Karena mereka takut pada apa yang gak mereka pahami, mereka lihat kita sebagai ancaman, bukan sebagai makhluk hidup dan juga punya hati nurani.”
Aku mengangguk, meski masih sulit memahami sepenuhnya, namun, aku tahu satu hal—aku tak ingin tumbuh hanya dengan kebencian.
Waktu berlalu cukup cepat dan saat ifu usiaku mencapai satu tahun—masih bayi dalam ukuran manusia, tapi cukup besar dalam pertumbuhan iblis—aku mulai diajari seni bertarung dasar, ayah sendiri yang melatihku, meski sering kali kesibukannya memanggilnya pergi, namun, dia selalu menyempatkan waktu, bahkan di tengah malam sekalipun.
“Genggam pedang ini,” katanya, menyodorkan pedang kayu kecil, aku meraihnya dengan tangan mungilku, terasa berat dan canggung.
“Jangan takut sama senjata, jadiin itu bagian dari tubuh kamu,” lanjutnya, menunjukkan cara memegang dengan benar.
Meski tanganku masih terlalu kecil, aku mencoba mengikuti gerakannya, setiap kali aku gagal, ayah hanya mengulanginya tanpa kata kata keras, seolah kesabaran adalah caranya mencintaiku.
Di sela latihan, terkadang aku mendengar kabar dari para prajurit bahwa manusia mulai bergerak lagi, melakukan serangan kecil ke perbatasan, ayah selalu menghadapinya dengan tenang, memastikan benteng tetap aman tanpa menunjukkan kekhawatiran di depanku.
Namun, aku tahh bahwa ada tekanan yang perlahan menggerogotinya.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Suatu malam, ketika aku terbangun karena suara langkah berat, aku melihat ayah duduk di dekat jendela, memandang langit yang dipenuhi bintang, aku berjalan tertatih mendekatinya, menggenggam ujung jubahnya. “Ayah?” panggilku.
Ayah menoleh, dan untuk pertama kalinya aku melihat tatapan lelah yang mendalam, namun, ketika melihatku, ia tersenyum kecil, mengangkatku ke pangkuannya. “Kamu gak bisa tidur?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan. “Ayah capek?”
Ayah tidak langsung menjawab, ia hanya memelukku erat, seolah mencoba menyerap kekuatanku walau terasa masih rapuh. “Kadang… ayah juga lelah, Reiner. Tapi ada hal hal yang gak bisa kita tinggalin, meski dunia terasa berat.”
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya, mendengar detak jantungnya yang tenang. “Aku… bakal kuat, biar ayah gak capek lagi.”
Dia terdiam, sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kalau gitu, ayah bakal pastiin kamu jadi kuat, karena kamu harapan ayah, Reiner.”
Di malam yang sunyi itu, aku tahu satu hal—ayah tak hanya melatihku untuk menjadi pewaris takhta tetapi sebagai penerus harapa, untuk dunia yang tidak lagi dihancurkan oleh kebencian.
Dan saat aku tumbuh, aku berjanji akan mengingat semua ini—kata kata ayah, pengorbanannya, dan impiannya untuk kedamaian, karena suatu hari nanti, aku akan membuktikan bahwa bangsa iblis tak hanya layak ditakuti, tetapi juga dihormati.
Seiring waktu berlalu, aku semakin lancar berjalan, ayah mulai memberiku lebih banyak kebebasan untuk bergerak di sekitar benteng, oara penjaga awalnya khawatir saat melihatku berlari kecil ke sana kemari, tapi mereka segera terbiasa.
Namun, masalah baru muncul ketika aku mulai memanjat benda benda di sekitar, awalnya, hanya meja dan kursi di aula utama, tapi, ketika aku mulai memanjat tembok pendek di taman, para penjaga benar benar panik.
“Pangeran Reiner! Tolong turun!” teriak salah satu dari mereka dengan cemas.
Aku hanya tertawa kecil, merasa puas karena bisa melihat pemandangan dari tempat yang lebih tinggi, tentu saja, sebelum aku sempat menikmati lebih lama, ayah datang dengan wajah datar namun penuh arti.
“Reiner, apa yang kamu lakukan?” tanyanya sambil melipat tangan di depan dada.
“Lihat, ayah! Aku tinggi!” seruku bangga.
Ayah hanya menghela napas, tapi ada sebersit senyum di wajahnya. “Kalau kamu jatuh, siapa yang mau tanggung jawab?”
“Aku gak bakal jatuh!” jawabku, karena entah kenapa aku sangat merasa yakin dengan kemampuanku dari kehidupan sebagai Shu Yuhuan.
Mungkin sejak saat itu, ayah mulai menyadari bahwa aku tak hanya suka berjalan atau berlari—aku suka melompat, memanjat, dan bergerak bebas.
Beberapa saat kemudian ketika aku sedang melompati bangku di taman, ayah memperhatikanku dari kejauhan, setelah beberapa kali melompati rintangan kecil, ia menghampiriku. “Kamu kayak kucing liar,” komentarnya datar.
Aku hanya terkekeh, merasa senang dengan pujian terselubung itu.
“Kalau mau bergerak secepat itu, setidaknya jangan sembarangan,” katanya sambil menyuruhku duduk. “Aku bakal ajarin kamu cara bergerak lebih cepat dan efisien, tapi tetap aman.”
Mataku seketika berbinar mendengar ketika mendengar hal itu. “Ayah bakal ajarin aku parkour?”
Ayah mengangguk pelan. “Semacam itu, tapi jangan sampai bikin para penjaga pusing lagi.”
Latihan dimulai dengan melompat dari satu pijakan ke pijakan lain tanpa terjatuh, awalnya sulit, tapi ayah menunjukkan teknik menyeimbangkan tubuh agar tetap stabil saat mendarat. “Gunakan kakimu untuk meredam benturan, jangan terlalu keras,” katanya sambil memperagakan gerakan lompatan ringan.
Aku mengikuti dengan semangat, melompati balok kayu satu per satu,beberapa kali aku hampir terjatuh, tapi tangan ayah sigap menangkapku sebelum menyentuh tanah.
Setelah mulai menguasai dasar, ayah memperkenalkan teknik memanjat dinding rendah dengan bantuan dorongan kaki, aku terpukau melihatnya melakukannya dengan mudah. “Kekuatan kaki dan tangan harus seimbang, jangan cuma ngandalin satu,” ujarnya tegas.
Dengan semangat baru aku mulai berlatih, kadang kadang ayah ikut mencoba bersamaku, menunjukkan gerakan yang lebih kompleks seperti melompati pagar tanpa menyentuh bagian atasnya, aku kagum sekaligus bersemangat.
Sampai akhirnya setelah latihan beberapa kali aku berhasil melompati dinding taman kecil tanpa bantuan ayah, napasku terengah, tapi aku sangat puas. “Ayah! Lihat!” seruku dengan bangga.
Ayah hanya mengangguk, tapi aku tahu dia bangga padaku. “Bagus. Tapi jangan sombong, di luar sana, kamu harus bisa bergerak lebih cepat dan cerdas dari musuh.”
Aku tersenyum lebar, merasa lebih kuat dan percaya diri, parkour menjadi cara baru bagiku untuk merasakan kebebasan, dan ayah mendukungku selama aku melakukannya dengan aman.
Dan saat itu, aku menyadari satu hal—dengan kemampuan bergerak bebas seperti ini, aku akan bisa melindungi diriku sendiri dan orang lain suatu hari nanti, aku ingin menjadi iblis yang tak hanya kuat dalam bertarung, tapi juga lincah dan cerdas dalam menghadapi dunia yang keras.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Daily Life
Setelah beberapa kali latihan parkour bersama ayah dan entah kenapa berubah semakin intens, aku semakin mahir melompati berbagai rintangan, merayap di dinding dinding rendah, dan bergerak tanpa suara, para penjaga akhirnya menyerah dengan kebiasaanku yang selalu memanjat, tapi mereka mulai tersenyum setiap kali melihatku berhasil melakukan gerakan baru.
“Ayah, kapan aku bisa latihan bertarung lagi?” tanyaku suatu sore ketika kami sedang duduk di taman setelah latihan parkour.
Ayah menatapku dengan tatapan tajam namun penuh kasih. “Setelah kamu bisa menguasai keseimbangan tubuhmu, kekuatan tanpa kendali cuma akan jadi kelemahan.”
Aku mengangguk ketika mendengar kata kata ayah entah kenapa semuanya selalu terasa penuh makna, setiap kali ia berbicara, aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pelajaran bertahan hidup—seperti warisan dan ingin ia turunkan.
beberapa saat kemudian, setelah aku menunjukkan kemampuanku dalam melompat dan menghindar tanpa terjatuh, ayah membawa sebuah pedang kayu baru, lebih besar dari sebelumnya.
“Kali ini, kita akan latih kombinasi gerak cepat dan serangan,” katanya sambil menyerahkan pedang itu kepadaku.
Beratnya masih terasa mengganggu keseimbanganku, tapi aku bertekad tidak akan mengecewakan ayah.
Latihan dimulai dengan dasar—memadukan gerakan lompatan dengan serangan lurus, ayah mengajariku untuk melancarkan serangan cepat setelah melompat agar musuh tak sempat membaca gerakanku.
“Musuh yang besar sering kali lambat dalam bergerak, kamu yang lebih kecil harus memanfaatkan kecepatanmu,” ujarnya sambil menunjukkan cara menusuk dari samping setelah menghindar.
Tubuhku masih sering goyah, tapi ayah sabar membenahi posisiku, ia tak pernah memarahiku saat gagal, hanya memberi isyarat agar aku mencoba lagi.
Di sela latihan, kami sering berbicara tentang dunia luar—tentang manusia yang masih sering menyerang wilayah kami, tentang para iblis yang mulai meragukan kemampuan para pemimpin.
Ayah tahu bahwa aku masih terlalu muda untuk memahami semuanya, tapi ia tetap bercerita agar aku tahu apa yang menantiku di masa depan.
Suatu hari, saat latihan, seorang prajurit datang tergesa gesa. “Tuan, manusia menyerang perbatasan selatan, mereka membawa pasukan tambahan,” lapornya dengan nada cemas.
Ayah menghela napas dalam sebelum menoleh padaku. “Reiner, tetap di benteng, jangan keluar tanpa izin.”
Aku mengangguk walau ada rasa ingin tahu yang besar, ayah mengusap kepalaku sebelum pergi bersama para prajurit, saat itu, untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan akan kehilangan.
Sepeninggal ayah, aku duduk di tepi taman, memegang pedang kayu dengan erat, pikiranku melayang pada kata katanya tentang dunia yang tidak adil, jika ayah tak kembali, apa aku cukup kuat untuk menjaga benteng ini?
Namun, sebelum rasa takut semakin menyelimuti, aku menguatkan diri seolah mengingat pelayaran ayah setelah mengajariku untuk tidak mudah menyerah, jika aku ingin menjadi penerus yang kuat, aku harus percaya pada kemampuanku sendiri.
Hari itu berlalu dengan rasa cemas, namun ketika senja tiba, ayah kembali bersama para prajurit, ia tampak lelah, tapi tak ada luka di tubuhnya, melihatku yang masih menunggunya di taman, ia tersenyum tipis.
“Ayah… semuanya baik baik saja?” tanyaku.
Ayah mengangguk. “Hanya serangan kecil, mereka mundur setelah melihat pertahanan kita.”
Aku menghembuskan napas lega, lalu Ayah duduk di sampingku, dan tanpa sadar aku bersandar padanya. “Ayah… apa aku bakal sekuat ayah suatu hari nanti?”
“Kalau kamu terus berlatih, pasti bisa,” jawabnya. “Tapi ingat, kekuatan bukan cuma tentang otot dan kecepatan, ini juga tentang hati dan keberanian untuk melindungi orang orang yang kamu sayangi.”
Aku mengangguk pelan, meresapi setiap kata yang diucapkannya, aku tahu, perjalanan menjadi kuat masih panjang, tapi selama ayah ada di sisiku, aku tak akan berhenti melangkah.
Dan di tengah temaram senja, aku berjanji pada diriku sendiri—aku akan terus melatih diri, bukan hanya untuk menjadi kuat seperti ayah, tapi juga untuk menjaga harapan dan impian yang telah ia tanamkan dalam diriku.
Meski hari telah hampir malam tapi aku memutuskan untuk menlanjutkan latihan yang entah kenapa berubah menjadi semakin intensif.
Ayah tak hanya mengajarkan teknik bertarung tetapi juga strategi dan pemahaman medan meski aku yakin tubuhnya masih terasa lelah setelah pertempuran melawan pasukan manusia.
Sementara itu aku mulai terbiasa dengan berat pedang kayu di tanganku dan semakin lincah bergerak, si sela latihan ayah sering memuji kemajuanku dengan anggukan kecil, tapi aku tahu ia tetap menyimpan kekhawatiran.
Saat malam akhirnya tiba dan aku memilih untuk berlatih sendiri di taman, aku mendengar suara ayah berbicara dengan salah satu prajurit di dekat gerbang utama, rasa penasaranku mendorongku mendekat tanpa suara, bersembunyi di balik pilar.
“Pasukan manusia makin sering muncul di perbatasan, sepertinya mereka mulai menguji kelemahan kita,” ujar prajurit itu pelan. “Dan pahlawan manusia bernama Brandon Solheim telah di angkat menjadi raja mereka.”
Ayah menghela napas berat. “Kita gak bisa terus bertahan seperti ini, jika mereka menemukan celah, benteng ini bisa jatuh, apalagi jika pahlawan manusia telah menjadi raja.”
“Apakah kita akan meminta bantuan klan lain?” tanya prajurit itu lagi.
“Belum saatnya,” jawab ayah tegas. “Jika kita menunjukkan kelemahan, klan lain mungkin saja memanfaatkan situasi ini, kita harus tetap kuat di mata mereka.”
Aku menggigit bibir, berusaha memahami kekhawatiran ayah, setelah prajurit itu pergi, aku keluar dari persembunyian. “Ayah… kenapa kita gak minta bantuan?” tanyaku polos.
Ayah terkejut melihatku, tapi ia segera berjongkok agar matanya sejajar denganku. “Reiner… dunia ini penuh politik dan kepentingan, bahkan di antara sesama iblis, tidak semua bisa dipercaya.”
Aku mengangguk walau belum sepenuhnya mengerti. “Jadi kita harus menghadapi semuanya sendiri?”
“Tidak selalu,” jawabnya. “Tapi selama kita bisa bertahan, kita harus menunjukkan bahwa kita kuat, kekuatan adalah satu satunya hal yang dihormati oleh dunia ini.”
Ayah kemudian menggenggam bahuku dengan lembut. “Itu sebabnya aku melatihmu dengan keras, suatu saat nanti, jika aku tidak ada, kamu harus bisa melindungi benteng ini dan mereka yang tinggal di dalamnya.”
Perkataannya membuat dadaku terasa berat. “Ayah… jangan bicara kayak gitu, ayah gak bakal pergi, kan?”
Ayah tersenyum kecil, senyum yang terasa getir. “Aku bakal selalu ada selama aku bisa, tapi hidup tak selalu berjalan sesuai keinginan kita, Reiner.”
Malam itu, aku terjaga lebih lama dari biasanya, memikirkan kata kata ayah, jika suatu hari aku harus melindungi benteng ini sendiri, aku tidak boleh lemah, aku mulai lebih memahami strategi dan gerakan—ayah mengajakku ke aula utama di sana sudah berkumpul beberapa panglima dan penasihat.
Ayah memberi isyarat agar aku tetap di sisinya. “Hari ini, Reiner akan menunjukkan kemampuannya pada kalian,” ujarnya lantang.
Aku terkejut, tak menyangka akan diperkenalkan di hadapan para panglima, salah satu dari mereka, Panglima Torak, mengerutkan kening. “Tuan, dia masih terlalu muda, apakah ini bijaksana?”
Ayah hanya tersenyum samar. “Dia mungkin muda, tapi aku ingin kalian tahu bahwa dia adalah masa depan kita, jika kita ingin bertahan, kita harus percaya pada generasi penerus.”
Perintah diberikan, dan aku diberi kesempatan menunjukkan teknik bertarung dasar yang telah ayah ajarkan, aku mencoba menampilkan gerakan tercepatku—melompat, menghindar, dan menyerang. Meski masih terasa canggung, aku bisa merasakan tatapan ayah yang penuh keyakinan.
Setelah selesai, ruangan terdiam sejenak sebelum Torak berdeham. “Anak itu… punya potensi, tapi jalan masih panjang.”
Ayah mengangguk setuju sambil sesekali memejamkan matanya. “Itu sebabnya dia akan terus berlatih, aku hanya ingin kalian tahu, bahwa kita tidak akan menyerah pada situasi, Reiner akan menjadi pilar berikutnya.”
Setalah itu ketika ayah mengajakku duduk di depan perapian, aku menatap ayah dengan penuh tekad. “Ayah, aku janji gak bakal ngecewain, aku bakal jadi kuat biar ayah bisa bangga.”
Ayah hanya tersenyum tipis sambil mengusap kepalaku. “Aku sudah bangga, Reiner, selama kamu terus belajar dan tidak menyerah, itu sudah cukup buatku.”
Di malam yang sunyi itu, aku merasa lebih yakin pada tujuanku, aku tidak hanya ingin kuat untuk diriku sendiri, tetapi juga untuk ayah dan semua orang yang percaya padaku, karena aku tahu, dunia di luar benteng tidak akan pernah ramah, tapi aku akan menjadi pelindung yang tangguh dan bijaksana.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩
Princess Lunaria
Ketika malam semakin larut dan aku masih berlatih di taman, tiba tiba aku mendengar langkah kaki mendekat, suara gemerincing perhiasan dan aroma manis yang tidak biasa membuatku menoleh.
Di ujung taman berdiri seorang gadis berambut perak panjang bergelombang berkilau bagai cahaya bulandengan mata merah menyala seperti rubi, pakaiannya indah, terbuat dari kain sutra hitam dan merah, dengan hiasan emas yang berkilauan di bawah cahaya obor.
Dia melangkah mendekat dengan penuh percaya diri, matanya tertuju padaku sebelum beralih ke ayah yang tengah berdiri tak jauh dariku. “Tuan Alvaroo,” ucapnya dengan nada yang lembut namun tegas.
Ayah mengangguk kecil. “Putri Lunaria, ada keperluan apa datang ke sini malam malam?”
“Aku denger kabar soal serangan manusia dan kepemimpinan baru mereka.” ucap Lunaria sembari tersenyum samar, tatapan tajamnya tetap fokus pada ayah. “Aku cuma mau mastiin keadaan Raja Iblis tetap aman.”
Ayah hanya mengangguk, tak menunjukkan banyak reaksi seolah tak tertarik arah pembicaraan tersebut.
“Raja Iblis, kamu tau kan, kalau belakangan ini para bangsawan mulai bicarain tentang penerus.” Namun, Lunaria melanjutkan dengan langkah mendekat lagi. “Apalagi setelah meninggalnya Ratu sekaligus ibu dari Reiner, banyak yang mulai meragukan stabilitas keluarga kerajaan, dan aku... khawatir mereka bakal nyoba merongrong kekuasaan Anda.”
Aku mendengar nada manis yang terselip dalam ucapannya, entah kenapa, ada rasa ak nyaman saat melihat gadis itu berbicara dengan ayah.
“Dan menurutmu, apa yang harus kulakukan?” Ayah bertanya, suaranya tetap tenang.
“Mungkin udah waktunya buat pertimbangkan memiliki pasangan baru.” Lunaria menunduk sejenak sebelum menatap ayah dengan penuh arti. “Seseorang yang bisa mendampingi serta menjaga stabilitas klan, dan... tentu saja, memberikan dukungan dalam masa sulit ini.”
Aku menggertakkan gigi tanpa sadar, aku yakin maksud dari perkataannya ia tengah menawarkan diri sebagai seorang pendamping, walau sebenarnya aku tak terlalu ngeh sama politik sama sekali.
Lagi pula aku hanya seorang gadis yang entah kenapa bereinkarnasi menjadi putra dari seorang Raja Iblis, walau semua itu adalah pilihanku saat bertemu Dewi Kehidupan.
Tiba tiba lamunanku terhenti ketika ayah berkata. “Aku paham niat baikmu Putri Lunaria.” ucap Ayah hanya tersenyum tipis. “Tapi stabilitas klan bukan hanya tentang memiliki pasangan baru, karena aku masih bisa mengurusnya sendiri.”
“Tapi Tuan Alvaroo, kamu gak bisa terus kayak gini.” Lunaria berkata dan tak ada niat untuk mundur, malah semakin mendekat. “Kamu butuh seseorang di sisi, tentu saja aku... bersedia itu pun jika Tuan mengizinkan.”
Aku menatap Lunaria dengan sorot bingung, apakah dia baru saja mengatakan kalau ia ingin menjadi ibu baruku, teori konspirasi macam apa ini.
“Aku hargai tawaran kamu, Putri Lunaria.” Ayah mendesah pelan sebelum melanjutkan dengan nada lembut namun tegas. “Tapi saat ini, prioritasku adalah melindungi benteng dan mendidik Reiner, urusan pribadi bisa menunggu.”
“Tentu aja Tuan Alvaroo, aku ingin mastiin Tuan tak terlalu terbebani sendiri.” Mata Lunaria berkilat kecewa, namun ia menutupi perasaannya dengan senyum manis. “Tapi kalau suatu saat tuan berubah pikiran, aku akan selalu siap.”
Setelah itu, Lunaria menoleh ke arahku, tersenyum seolah menyapaku dengan sopan sebelum akhirnya berjalan pergi, tapi aku yakin ia akan kembali lagi nanti meski tak tahu pastinya.
“Apa putri itu baru aja menawarkan diri jadi istri Ayah?”
“Gak usah terlalu dipiririn, karena kadang orang datang dengan niat berbeda.” Ayah menghela nafas panjang, lalu mengacak rambutku perlahan. “Tugas kita adalah tetap fokus pada tujuan.”
Aku mengangguk, masih bingung namun merasa lega, Ayah tetap seperti biasa—tegar dan tak mudah dipengaruhi.
Malam itu, setelah Lunaria pergi, aku kembali berlatih dengan lebih giat, aku tak tahu apa maksud Lunaria sebenarnya, tapi aku tak ingin siapa pun mengganggu ayah serta berjanji pada diri sendiri bahwa suatu hari akan cukup kuat untuk melindungi ayah dan benteng ini tanpa perlu bantuan orang lain.
Setelah latihan malam itu, ayah menepuk bahuku pelan. “Reiner, udah cukup buat hari ini beristirahatlah, karena besok kita lanjutkan latihan.”
Aku mengangguk meski masih ingin berlatih, rasanya masih ada energi yang tersisa, tapi tatapan ayah sudah cukup untuk memberitahuku bahwa istirahat sama pentingnya dengan latihan.
“Ayah juga istirahat, ya,” ujarku sambil tersenyum kecil.
Ayah hanya mengangguk sambil tersenyum tipis. “Aku akan, jangan khawatir.”
Aku kembali ke kamarku dengan perasaan lega, meskipun ada banyak hal yang terjadi hari ini, aku merasa lebih yakin dengan diriku sendiri, setelah berganti pakaian, aku segera merebahkan diri di ranjang dan membiarkan kantuk menyelimuti.
✎﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏
Keesokan paginya, suara kicauan burung membangunkanku, setelah berbenah, aku menuju taman, berharap bisa memulai latihan lebih awal sebelum ayah datang, tapi sebelum sempat berlatih, aku melihat sosok yang tak kukira akan muncul secepat itu.
Lunaria sudah ada di sana, duduk di bangku taman dengan senyum lembut saat melihatku. “Selamat pagi, Reiner,” sapanya dengan nada manis.
Aku hanya mengangguk kecil, masih agak bingung kenapa dia ada di sini pagi pagi, tapi sebagai Pangeran Iblis yang ramah dan baik hati aku berusaha agar tetap sopan.
“Kamu rajin sekali, sudah siap berlatih sejak pagi?” tanyanya sambil tersenyum.
“Um... iya,” jawabku pendek, tak tahu harus berkata apa, entah kenapa melihatnya menatap seperti itu membuatku gugup.
“Aku denger dari Tuan Alvaroo, kalau kamu anak yang hebat.” Lunaria mendekat dan berjongkok di depanku agar wajahnya sejajar denganku. “Aku kagum lihat tekad kamu, pasti berat ya, latihan setiap hari?”
Dengan cepat aku langsung menggeleng. “Gak terlalu, ayah selalu bilang kalau aku harus kuat.”
“Kamu bener bener anak yang baik.” Lunaria tertawa kecil dan mengusap kepalaku dengan lembut. “Tuan Alvaroo pasti bangga punya anak kayak kamu.”
Meski kata-katanya terdengar tulus, aku merasa ada yang aneh, tatapannya seperti mencoba menilai reaksiku.
“Aku punya sesuatu untukmu,” katanya sambil mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. “Ini permen madu dari klan kami, sangat enak dan bagus buat memulihkan tenaga.” Aku ragu sejenak, tapi Lunaria tersenyum lagi. “Cobalah, ini gak beracun kok.”
Dengan hati hati, aku mengambil satu permen dan mencicipinya, rasanya manis dan lembut, Lunaria tampak senang melihatku memakannya.
“Tahu tidak, Reiner? Waktu kecil, ayahmu juga suka permen ini dia selalu bilang kalau madu bisa menguatkan tubuh.” Lunaria berkata sambil sesekali mengusap kepalaku, entah kenapa jadi mirip ritual kalau bertemu seseorang.
Aku terdiam, masih mencerna perkataannya merasa heran kenapa dia tiba tiba membahas ayah?
“Ah, kamu pasti bingung ya, kenapa aku datang pagi pagi?” Lunaria tertawa kecil. “Sebenarnya aku ingin lebih mengenal kamu, kalau kita bisa akrab l mungkin ayahmu akan lebih tenang meninggalkan benteng ini dalam penjagaan kita berdua.”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa ayah harus pergi?”
Lunaria terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Bukan pergi selamanya, maksudku, jika ada urusan besar, pasti kamu juga ingin menjaga benteng sebaik mungkin, kan?”
Aku mengangguk, meski masih bingung arah pembicaraannya.
“Ayahmu orang yang kuat dan bijaksana,” lanjut Lunaria. “Tapi dia juga butuh seseorang yang mendukungnya, aku mau jadi bagian dari keluargamu agar bisa jagain kalian berdua.”
“Tapi aku dan ayah udah baik baik aja kok.” ucapku pelan karena entah kenapa perasaanku semakin tak nyaman. “Kami gak butuh bantuan.”
“Itu benar tapi kadang seseorang gak sadar kalau lagi butuh dukungan sampai ada seseorang yang nunjukin ketulusan.”
Lunaria tersenyum lebih lebar. “Kalau aku bisa dekat denganmu, mungkin ayahmu juga akan lebih mudah menerima kehadiranku.”
Sebelum aku sempat membalas, ayah muncul dari arah gerbang taman, matanya langsung tertuju pada kami. “Lunaria? Apa yang kau lakukan di sini?”
Lunaria berdiri dan tersenyum sopan. “Aku hanya ingin berbicara dengan Reiner. Dia anak yang luar biasa.”
“Reiner, udah sarapan?” Ayah mendekat, suaranya datar tapi tegas.
Aku menggeleng pelan. “Belum, Ayah.”
“Masuk ke dalam dan makan dulu, aku bakal nyusul,” ujar ayah sambil menepuk bahuku pelan.
Aku menurut, tapi sebelum pergi, aku melihat Lunaria melemparkan senyum menggoda pada ayah, entah kenapa, aku merasa tidak suka dengan cara dia memandang ayah.
Saat aku berjalan menjauh, aku mendengar Lunaria masih berbicara dengan suara lirih pada ayah. “Tuan Alvaroo, Anda harus mempertimbangkan. Demi masa depan Reiner dan stabilitas klan.”
Aku mempercepat langkahku, mencoba mengabaikan percakapan mereka, di dalam hati, aku tak suka jika ada orang lain yang berusaha menggantikan posisiku di sisi ayah, entah kenapa, ada rasa cemas kalau kalau Lunaria berhasil membuat ayah berubah pikiran.
Setelah sarapan, aku tetap tidak bisa mengusir rasa khawatir itu, apakah Lunaria benar benar tulus, ataukah ada maksud lain di balik pendekatannya pada ayah dan aku, tapi satu hal pasti aku harus lebih waspada, aku tak mau ada orang yang merusak hubungan kami.
✩.・*:。≻───── ⋆♡⋆ ─────.•*:。✩