Sejak kecil, Raka hidup dalam rumah yang penuh dengan suara. Bukan suara ungkapan kasih sayang tau kehangatan, tapi suara bentakan, suara nasihat yang lebih seperti perintah, dan suara tangis yang selalu ia pendam dalam. Rumah itu tak besar, tapi dindingnya seolah memberikan tekanan, bukan kehangatan. Ayahnya keras, ibunya sering kali ikut keras, mereka berdua tidak segan untuk main tangan kepadanya. Ekonomi keluarga mereka pas-pasan, bahkan makan pun kadang hanya mi instan satu bungkus untuk berempat.
Raka tak pernah benar-benar mengenal arti kata "bermain". Sejak kecil, Raka tahu satu hal pasti, jangan membuat orang tuanya marah. Maka ia belajar. Belajar dan terus belajar, seolah angka di rapor adalah tameng satu-satunya agar tak dimarahi. Ia tidak tahu bagaimana caranya meminta pelukan. Tidak tahu bagaimana rasanya bermain tanpa dihantui rasa bersalah. Bahkan untuk berkata, “Aku lelah,” saja terasa seperti dosa besar.
Ia diawasi. Diperhatikan. Dipantau setiap geraknya bukan karena sayang, tapi karena ekspektasi. Baginya setiap kegagalan adalah ancaman. Dan setiap keberhasilan hanya dianggap sebagai kewajiban.
“Kamu harus ranking satu.”
Itu bukan permintaan ataupun nasihat. Itu perintah. Maka Raka belajar. Dari kelas satu sampai kelas empat, ia tak pernah gagal. Ranking satu. Selalu. Ia menghafal setiap halaman buku, menjawab setiap soal dengan cepat, bahkan menahan kantuk demi satu angka sempurna. Tapi ia tidak bahagia.
Tapi ia masihlah kecil, tubuh kecilnya mulai lelah. Jiwa kecilnya mulai goyah. Ia ingin… sebentar saja… bernapas. Maka ia mencoba pergi bermain, hanya sekali. Ia ke rumah temannya tanpa sepengetahuan orang tuanya di sana ia tertawa, merasa bebas. Merasa hidup. Tapi kebebasan itu hanya bertahan sebentar.
Ia disusul. Diseret. Pulang dengan tangan yang mencengkeram keras dan suara yang lebih keras lagi. Tamparan kata-kata itu lebih menyakitkan dari fisik.
Sejak saat itu, ia tak pernah bermain lagi. Ia mulai tidak bisa fokus dalam pelajaran, ia merasa ingin sedikit “memberontak”. Dan ia siap dengan segala risikonya.
Pada kelas 5 ranking satu pun hilang dari tangannya. Ia tidak kaget. Ia siap menghadapi risiko yang datang mungkin kemarahan orang tuanya. Tapi yang tidak ia sangka adalah mereka tidak marah, mereka hanya diam hanya terlihat kekecewaan dari mereka.
Di kelas lima itu pula, seseorang yang duduk dua bangku dari mejanya mendapat peringkat satu ia adalah murid pindahan yang pindah pada saat kelas 5 awal. Seorang gadis dengan suara ringan dan mata ramah. Ia menyapanya di suatu siang saat Raka sedang menatap bukunya yang kosong.
"Raka, kamu nilainya berapa? Katanya kamu biasanya nomor satu.”
Raka ingin menjawab, ingin senyum, ingin bercanda. Tapi lidahnya kaku. Ada dinding yang menghalangi dirinya untuk menjawab. Hatinya seperti tertutup kabut rasa bersalah dan ketakutan.
“Gak tau,” katanya. Lalu ia pergi. Bukan karena marah. Tapi karena takut. Ia Takut kelembutan itu membuat dinding yang selama ini ia bangun hancur, Takut jika itu membuatnya lemah. karna selama ini, ia belajar untuk kuat kapan pun itu.
Raka mulai belajar dengan gila, karena pada dasarnya ia bukanlah anak yang cerdas, pintar, atau bahkan jenius seperti apa yang selama ini orang pikirkan. Bahkan ia ketika ia sakit karena pola tidur dan makan yang berantakan akibat belajar, ia tetap masuk sekolah.
Dan ia rebut lagi ranking satu. Ia membuktikan bahwa ia masih "berguna." Tapi rasa senangnya hambar. Ia bahkan tidak merayakannya, hanya menarik napas lega dan kembali menunduk di meja belajar.
Ia berharap itu cukup untuk membayar semuanya. Tapi ketika pengumuman SMP negeri keluar, namanya tak ada. Ia memeriksa berkali-kali, sampai huruf di layar jadi kabur oleh air matanya sendiri yang tak tumpah.
Ibunya melihatnya. Dan ia bahkan tidak mengatakan apa-apa. tak ada pelukan. Tak ada, "Nggak apa-apa." Yang ada hanya sunyi yang menekan. Ia menunduk, menggigit bibir, menelan kecewa sendiri.
Ia masuk ke SMP swasta kecil sekolah dengan biaya yang paling murah di antara yang lain, dan ia akan kembali belajar dengan gila lagi karena peringkat tiga teratas akan mendapat beasiswa dalam satu semester.
Saat Raka kelas satu itu adalah saat di mana virus covid menyerang, semua orang berada di rumah, semua orang berubah. Pada masa itu Raka mengurung dirinya, selalu berada di tempat ternyamannya yaitu kamarnya. Orang tuanya pun berubah mereka perlahan sadar dengan apa yang mereka perbuat, dan mencoba untuk memperbaiki sikap mereka pada anaknya.
Tapi Raka, hatinya telah terluka untuk waktu lama, walau ia ingin menerima perubahan orang tuanya dan menjadi lebih dekat. Tapi hatinya seolah berteriak “Sudah Terlambat”. luka dari masa lalu masih membekas dan tidak hilang hanya dengan senyum atau kata maaf.
Di kelas dua SMP, covid sudah mereda dan sekolah dilakukan seperti biasa, di sana ia bertemu seseorang yang membuatnya merasa hidup lagi. Seseorang yang bisa diajak tertawa, bercanda, dan membuat hari-hari tak begitu sunyi. Teman. Kata itu terasa asing, tapi juga hangat. Bersamanya, Raka mulai membuka dirinya.
Tapi ia teralu larut sehingga fokusnya terganggu. Rankingnya turun. Dan saat ia pulang ke rumah, tak ada bentakan yang menyambut, tak ada omelan yang terdengar. Hanya sebuah senyum tipis dari sang ibu dan sebuah tepukan hangat dari sang ayah.
“Gak apa-apa, Nak. Yang penting kamu sudah berusaha,” kata mereka.
Tapi justru itu membuatnya terdiam. Ia ingin disalahkan, diomeli. Karena rasa kecewa yang disembunyikan mereka itu lebih-lebih menyakitkan dibanding bentakan di masa lalu. Raka tahu mereka telah berubah menjadi orang tua yang lebih baik. Dan karena itulah ia merasa semakin tak pantas untuk gagal.
Sejak itu Raka mulai menjauh, ia menjauh secara perlahan. Perubahan orang tuanya justru membuatnya semakin tertekan. Karena sekarang ia tidak bisa menyalahkan siapa pun atas perasaannya ini. Raka bahkan tak tahu harus marah kepada siapa.
Di kelas tiga, kelasnya diacak, ia beda kelas dengan teman-temannya. Dan di kelas barunya itu ia merasa seperti terlempar ke tempat asing tanpa peta. Semuanya terasa sunyi, bukan karena tak ada suara tapi, tak ada sapa, dan tawa dari temannya. Semua terasa hampa.
Setiap istirahat raka selalu pergi ke kelas temannya, berharap ia bisa tetap berteman dengan mereka yang dulu membuat hidupnya sedikit berwarna. Awalnya mereka menyambut, tapi seiring waktu berjalan, semuanya berubah. mereka mulai punya kebiasaan baru, teman baru, dan candaan mereka tak lagi melibatkannya.
Raka mulai sadar bahwa ia mulai dilupakan, ia mulai tergantikan. Dan sejak saat itu ia mulai menjauh, bukan marah, tapi ia hanya lelah, lelah berharap, lelah merasa asing di tempat yang dulu ia sebut “rumah kedua”.
Ia berhenti menyapa lebih dulu, berhenti duduk dengan temannya, berhenti menertawakan hal-hal yang dulu membuatnya bahagia. Ia hanya.... perlahan menghilang dari keramaian dan kenangan.
Hari-harinya kembali sunyi. Setiap pulang sekolah, ia langsung ke kamar. Tidak berbicara, tidak membuka ponsel, bahkan ia tidak membuka bukunya. Ia hanya duduk di tepi kasurnya, menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Diam, tak ada tangisan, tak ada ucapan. Ia diam, tapi pikirannya tidak.
"Aku pengen cerita..."
Tapi aku takut membebani mereka
"Aku pengen nangis..."
Tapi aku tak boleh lemah
"Aku pengen mereka peduli..."
Tapi aku tak mau merepotkan
"Aku cuma... pengen dimengerti."
Tapi tak semua orang punya waktu untukku
Ia berperang dengan dirinya sendiri, ia ingin melepaskan segalanya, tapi sebagian dirinya takut untuk melepaskannya. Dan di saat ia sedang sibuk dengan pikirannya itu terdengar ketukan di pintu kamarnya,
“Raka....” suara ibunya terdengar lembut, seperti menahan sesuatu
“Nak... gak apa-apa?”
Tak ada jawaban.
Hanya ada keheningan.
“Kamu bisa cerita, ya...”lanjutnya pelan, suaranya bergetar “Ibu di sini.... akan selalu di sini”
Langkah kaki terdengar menjauh perlahan, tapi kata-katanya tertinggal di dalam kamar. Raka menunduk, menggenggam erat tangannya, tapi hanya itu, ia hanya diam. ia tak menangis, ia hanya merasakan sesak. Ia ingin bicara, ingin memeluk ibunya, ingin menangis di dekapannya. Tapi ada tembok yang selama ini dia buat, tembok yang terlalu kokoh untuk bisa dia robohkan.
Dan malam itu, ia kembali memeluk dirinya sendiri. menatap pintu kamarnya dengan harapan ketukan itu akan ada lagi di esok hari.. dan hari-hari setelahnya.
Keesokan harinya, ibunya kembali mengetuk, dengan nada lembutnya, sama seperti kemarin.
“Raka, Ibu masak sayur asem. Kesukaan kamu lho” katanya, terdengar ceria. Walau nada khawatir yang terasa di ujung kalimatnya tidak bisa disembunyikan.
Raka mendengarnya. Ia menoleh ke arah pintu, ia hanya menatapnya. Ada keinginan untuk menjawab, untuk berdiri, membukakan pintu dan berkata “Ibu, aku lelah” tapi bibirnya tak bergerak, tenggorokannya tercekat.
Jawab Raka
Bilang satu kata, apa pun
Tapi kenapa rasanya berat banget?
Tangannya menggenggam erat celananya di pangkuan. Dadanya sesak, jantungnya berdetak kencang seakan akan mendesak ingin keluar dari dalam dadanya.
Aku ingin bicara.
Tapi aku tak bisa bicara.
Aku ingin bilang “Ibu, Aku lelah”.
Tapi suaraku tak mau keluar.
Aku ingin mendengar suara ibu lebih lama.
Tapi yang kudengar hanya bentakannya di masa lalu
Aku ingin memeluknya
Tapi kenapa kenangan lalu yang selalu datang lebih dulu
Kenapa aku takut? Bukankah aku sudah aman?
Kenapa aku merasa asing? Ini ibuku... ia bukan orang lain
Ia bergerak menuju pintu. Ia ingin memegang gagangnya, ia ingin membukanya, tapi setiap langkah terasa seperti membawa beban ribuan kilogram di kakinya.
Aku benci ini, aku benci perasaan ini
Kenapa aku merasakan ini?
Kenapa aku tak bisa bersikap biasa?
Kenapa aku tak bisa seperti anak yang lain?
Kenapa luka itu belum sembuh? Mereka sudah berubah, jadi kenapa?
Ia berdiri diam di depan pintu, hanya berdiri menatap gagang pintu. Sambil menggigit bibir, menahan tangis yang ingin keluar di matanya. Ia ingin bilang “Ibu, aku kangen”, “Ibu, aku lelah”, “Ibu, jangan pergi”. Tapi itu semua Cuma teriakannya di dalam hati. Tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.
Raka jatuh terduduk di lantai ia bersandar di dinding samping pintunya, pintu yang tak bisa ia buka, Air matanya mulai jatuh, tetes demi tetes, air mata yang tak pernah ia keluarkan selama bertahun tahun.
Detik, menit, jam berlalu. Matahari sudah tenggelam. Rumah terasa sunyi, hanya terdengar suara detik jam yang ada di ruang tamu. Ibu masih bersandar di pintu kamar Raka, tubuhnya sudah lelah, tapi hatinya jauh lebih lelah, ia tak tahu apa yang harus ia perbuat, tapi satu hal yang pasti, ia tak akan pergi dari situ, ia tidak akan berpaling dari anaknya.... lagi.
Disisi lain, Raka masih di tempatnya, dengan mata sembab dan wajah pucat. Dadanya masih terasa sesak bahkan rasa sesak itu semakin bertambah. Dan tiba-tiba, dengan suara yang hampir tak terdengar, suara yang gemetar, retak, dan menanggung beban selama bertahun-tahun.
“Ibu....”
Satu kata, hanya satu kata yang terucap. Satu kata yang berisi jeritan, dan tangisan yang selama ini tak pernah terdengar. Satu kata yang membuat dinding emosi sang ibu runtuh dalam sekejap. Matanya berkaca-kaca, menggenang.
Tapi ia tetap diam, diam dibalik pintu itu. ia menahan mulutnya agar tangisnya tak terdengar. Ia tahu anaknya sudah berjuang, ia sadar... suara itu bukan cuman sekedar panggilan. Suara itu adalah sebuah harapan, dinding yang Raka bangun mulai runtuh secara perlahan. Ingin rasanya ia masuk dan langsung memeluknya, tapi ia tahu ini belum waktunya. Ia hanya berbisik pelan
“Iya, Nak... Ibu di sini”.
Raka masih diam. ia menatap kosong lantai kamarnya, tapi hatinya bergetar. Kata-kata itu, kata yang selama ini ia tunggu, suara itu pun menggema lagi, membentur dinding yang selama ini ia bangun sendiri.
Harusnya aku bicara
Tapi gimana kalo aku nyakitin mereka
Tapi aku gak kuat
Apa aku salah untuk merasa lelah
Suara-suara itu terasa semakin nyaring di kepala, dadanya semakin terasa sesak, napasnya mulai tak beraturan. Lalu dengan suara yang hampir tak terdengar ia berkata.
“Bu.... Aku capek”
Suara itu pelan, tapi cukup untuk bisa terdengar dari balik pintu, cukup untuk menghancurkan pertahanan sang ibu.
Pintu perlahan terbuka, terlihat raka yang sedang terduduk dilantai, tubuhnya bergetar pelan. Saat melihat sang ibu, ia tak sanggup berkata apa-apa, hanya terdengar suar nafasnya yang berat.
Ibu melangkahkan kakinya pelan, ia berlutut di hadapan Raka, tak ada kalimat yang diucap, ia hanya membuka kedua lengannya. Dan saat itu juga Raka jatuh dalam peluknya. Tangis Raka pecah, bertahun-tahun lamanya ia menahan semuanya, pada momen itu ia mengeluarkan segalanya.
“Aku capek, Bu...“ suaranya parau, hampir tak terdengar. “Aku... capek..”
Tak ada kata lain, hanya dua kata. Tapi dua kata itu adalah segalanya, sakit, lelah, amarah, dan kesepian yang ia telan sendiri selama bertahun-tahun.
Ibu semakin erat memeluk raka, air matanya jatuh membasahi bahu anaknya. Dan ia tetap berusaha bicara dengan suaranya bergetar.
“Maaf... maafkan ibu, nak... maafkan ibu karena selama ini kamu tanggung sendiri..”
Ia tak menjawabnya, tubuhnya perlahan lemas dalam pelukan itu, beban yang selama ini ditanggung sendiri olehnya, akhirnya punya tempat untuk dilepaskan.
“Ibu di sini sekarang... dan ibu gak akan ke mana-mana....”
Mereka diam tak ada kata yang keluar, hanya isak tangis dan suara detak jantung yang jadi saksi. Dan dimalam itu, di pelukan hangat sang ibu, untuk pertama kalinya Raka merasa... bahwa lukanya mungkin bisa sembuh.
Tangis raka mulai mereda, berganti dengan napas yang tenang, tubuhnya kini lemas di dekapan sang ibu. Masih memeluk, ibu mengelus rambut anaknya dengan lembut, menahan tangis yang tersisa.
Tak butuh waktu lama, Raka tertidur dalam pelukannya, pelukan yang selama ini ia dambakan, pelukan yang selama ini ia butuh kan, pelukan yang seharusnya sejak dulu menjadi tempat paling aman.
Ibu menatap wajah anaknya yang telah tertidur tenang, dan berbisik lirih di tengah gelap kamar,
“Selamat tidur, nak... maaf karena ibu baru ada sekarang....”