--
Di masa kejayaan Kerajaan Maduswara, di tengah hutan lebat dan bukit berkabut, berdiri sebuah negeri kecil bernama Ranjamukti. Negeri itu tidak besar, namun damai, dikelilingi hamparan sawah dan gunung yang seolah menjadi penjaga abadi. Di sanalah tinggal seorang pemuda bernama **Satria Wibisana**—putra dari seorang panglima yang gugur dalam pertempuran demi menjaga tapal batas negeri.
Satria bukan bangsawan, bukan pula orang sakti yang mampu memanggil jin. Tapi ia memiliki keberanian, ketulusan, dan hati yang tak mudah goyah. Ia tinggal bersama ibunya di sebuah rumah kayu sederhana, dan setiap pagi membantu warga, memperbaiki ladang, dan menjaga sungai dari binatang buas.
Sementara itu, di istana Ranjamukti, tinggallah sang putri—**Dyah Pita Ayu Malaka**, putri semata wayang dari Raja Surapati. Kecantikannya melegenda: rambutnya panjang terurai bagai benang sutra malam, matanya bersinar seperti cahaya lilin di tengah gelap. Tapi lebih dari itu, Dyah Pita dikenal karena kecerdasannya. Ia menguasai sastra, strategi, dan ilmu pengobatan.
Namun satu hal membuat sang raja gelisah: Dyah Pita menolak semua lamaran pangeran dan bangsawan dari negeri manapun. “Aku akan menikah dengan pria yang bisa membuatku yakin bahwa cinta bukan sekadar janji,” katanya.
Maka Raja pun mengadakan sayembara: siapa pun yang mampu memenuhi satu permintaan Dyah Pita Ayu Malaka, akan menjadi pendamping hidupnya.
Permintaannya sederhana, namun aneh: “Bangunkan aku taman dengan seribu lampu dari kelopak bunga, dan biarkan ia menyala tanpa api.”
Semua tertawa. Pangeran-pangeran besar mundur. Bahkan para resi dan pertapa pun menggeleng.
Tapi Satria Wibisana, dengan keyakinan yang tak biasa, maju ke pelataran istana. “Hamba akan mencobanya, Gusti Putri.”
***
Satria tak punya sihir, tapi ia punya pikiran jernih. Ia pergi ke gunung tempat bunga malam tumbuh—kelopak putih yang memendarkan cahaya saat terkena embun pagi. Ia memetiknya hati-hati, satu per satu, selama berhari-hari, dibantu warga desa yang percaya padanya. Ia susun kelopak itu dalam wadah batu kecil berisi air jernih dan butiran batu kristal dari aliran sungai bawah tanah.
Saat malam tiba, taman itu menyala. Bukan dari api, tapi dari pantulan embun dan kelopak bunga yang berkilau karena sinar bulan dan bias kristal. Ribuan cahaya lembut berkelip, seperti kunang-kunang yang menari dalam diam.
Dyah Pita berjalan menyusuri taman itu dengan langkah pelan, gaunnya menyapu tanah. Cahaya bunga menyinari wajahnya yang teduh.
“Bagaimana kau melakukannya?” tanyanya, menahan senyum.
Satria menunduk sopan. “Bukan aku sendiri, Gusti. Ini dari tangan banyak orang yang percaya pada cinta yang tidak tergesa.”
Dyah Pita menatapnya lama. “Kau tidak menungguku jatuh cinta padamu?”
“Aku hanya ingin menunjukkan caraku mencintai: diam, tapi nyata. Bukan dari kata-kata, tapi dari apa yang kulakukan.”
***
Tahun-tahun berlalu.
Satria dan Dyah Pita akhirnya menikah dalam upacara besar yang dipenuhi tabuhan gamelan dan doa-doa dari penjuru negeri. Mereka memerintah bersama—Dyah Pita dengan kebijaksanaan, Satria dengan ketegasan dan cinta. Ranjamukti menjadi kerajaan kecil yang besar dalam kasih, tempat rakyat hidup dalam damai.
Dan taman seribu kelopak itu tetap menyala setiap malam—bukan karena keajaiban semata, tapi karena cinta yang dikerjakan, bukan hanya dijanjikan.
---
**Pesan Cerita:**
Cinta sejati tak lahir dari kekuatan atau gelar, tapi dari ketulusan yang diwujudkan. Seperti Satria dan Dyah Pita, cinta bukan hanya tentang mendapatkan, tapi tentang memberi, membuktikan, dan berjalan bersama.