I. Ketakutan yang Tak Berwujud
Ketakutan—sesuatu yang sukar dipahami, apalagi diterima. Ia bukan entitas yang bisa dilihat atau disentuh, tetapi gelombang halus yang menyelinap di antara kesadaran dan ketidaktahuan. Apa yang tampak biasa bagi sebagian orang—suara angin malam, bayangan yang memanjang di bawah cahaya senja—mungkin sebenarnya adalah gerbang ke sesuatu yang lebih dalam, lebih meluas, dan membinasakan. Tapi apa yang lebih menakutkan dari apa yang terlihat? Bagaimana dengan ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui—yang berdiri megah di luar batas logika dan pemahaman manusia?
Yang paling memilukan tentang ketakutan adalah kenyataan bahwa kita, manusia, tidak pernah benar-benar tahu apa yang telah terjadi... dan lebih malang lagi, apa yang sedang menunggu di depan. Kita hanya makhluk kecil yang terjebak dalam ilusi pemahaman—tergantung pada benang-benang halus persepsi yang bisa putus kapan saja bila disentuh oleh yang tak terlihat. Mampukah kita membayangkan keberadaan entitas purba yang telah hidup jutaan tahun sebelum manusia pertama menyalakan api? Sebuah kekuatan yang tidak terikat oleh waktu, bentuk, atau kehidupan sebagaimana yang kita kenal?
William Carter—paman saya—adalah seorang lelaki yang tersesat dalam lorong-lorong pemikiran yang tidak pernah diterima oleh masyarakat. Ia seorang ahli fisika, namun jiwanya selalu tertarik ke tepi batas antara sains dan yang ghaib. Pada tahun 1972, saat berlibur di China, sesuatu terjadi—peristiwa yang bukan hanya mengubah dirinya, tetapi juga menarik saya ke dalam bayang-bayang yang sama.
Dalam diarinya—sebuah manuskrip yang penuh dengan catatan aneh, simbol yang tidak dikenal, dan teori-teori yang di luar jangkauan—ada satu entri yang sangat mencolok. Ia mencatatkan sebuah kejadian aneh di Laut China Selatan. William, konon untuk mengkaji pasang surut dari sudut 'metafisikal', telah menyewa sebuah perahu kecil. Namun apa yang ditemukannya bukanlah gelombang air biasa—tetapi sesuatu yang melampaui segala hukum fisik.
Ia menulis:
“Air laut itu... tidak bergerak seperti seharusnya. Ia bernapas—seperti sesuatu yang hidup. Bukan angin yang menggerakkannya, tetapi sesuatu yang sedang bangkit dari bawah. Sebuah kekuatan yang sangat purba sedang berguncang. Langit menjadi kelam meskipun tengah hari. Dan suara itu... suara yang tidak berasal dari tenggorokan manusia, tetapi dari kedalaman yang tidak dapat diterjemahkan. Ia berbisik padaku bahwa aku telah melangkah ke wilayah yang tidak seharusnya dikenal.”
William kembali ke Amerika beberapa minggu kemudian—namun dia bukan lagi orang yang sama. Pandangannya kosong, dan jiwanya seolah-olah telah disedot ke tempat yang tiada manusia bisa kembali. Rumahnya di Lost Pines, terisolasi dari keramaian Los Angeles, menjadi makam hidupnya. Ia mengasingkan diri, tidak lagi menjawab panggilan, tidak bersuara, tidak berinteraksi dengan dunia. Hanya diari itu yang tertinggal—warisan yang membebani lebih dari apa yang bisa saya tanggung.
Setelah kematiannya, saya meneliti halaman-halaman terakhir diari itu—dan juga peta-peta yang disimpannya. Dari situlah saya mulai sadar bahwa ini bukan sekadar kisah seorang lelaki yang kehilangan kewarasan. Peta-peta itu penuh dengan simbol kuno—peringatan yang mungkin ditinggalkan oleh zaman yang telah tenggelam dalam sejarah yang terlupakan. Salah satu titik yang ditandai menarik perhatian saya: sebuah lokasi terpencil di Laut China Selatan—sebuah pulau yang, menurut catatan William, merupakan pintu masuk ke sesuatu yang tidak seharusnya diketahui manusia.
Sejak itu, setiap malam, mimpi-mimpi itu datang—bukan mimpi yang kabur, tetapi pengalaman yang terlalu nyata. Lautan itu lebih gelap dari biasanya, membentang tanpa ujung di hadapan saya. Sesuatu sedang bergerak di bawahnya—sesuatu yang terlalu besar, terlalu tua... dan terlalu sadar. Suara itu semakin jelas, meresap jauh ke dalam benakku, memanggil sesuatu dalam diriku yang saya tidak tahu ada.
Kini saya sadar, saya telah melangkah ke dalam lingkaran yang pernah menjebak William. Dorongan itu semakin kuat—tarikan yang tidak bisa dijelaskan oleh akal atau perasaan. Saya tidak lagi bisa berpaling. Perjalanan ini sudah dimulai jauh sebelum saya dilahirkan. Dan kini, saya menuju ke tempat yang tidak seharusnya dijejaki manusia—sebuah destinasi yang menyimpan pengetahuan yang terlalu mengerikan untuk diterima.
Dan di sana... di dasar laut yang diam dan pekat itu... sesuatu sedang menunggu.
II. Suara dari Kedalaman
Sejak saya membuka peta itu—dan membaca kata-kata terakhir William yang seolah-olah ditulis dalam keadaan separuh sadar—saya mulai merasakan perubahan aneh dalam diri saya. Bukan hanya mimpi yang semakin mendesak, tetapi juga suara-suara ganjil yang mulai menghantui waktu saya terjaga. Di saat saya bersendirian, meskipun dalam keheningan penuh, ada gema lembut yang menyelinap ke telinga—seperti bisikan dalam bahasa yang tidak pernah saya pelajari, namun anehnya, saya mengerti.
Bahasa itu... tidak membawa makna dalam bentuk yang biasa. Ia adalah rangkaian getaran—irama yang menembus dinding realitas dan menusuk langsung ke dalam kesadaran. Ia menuntut, memanggil, dan sesekali, memerintah. Saya tidak tahu bagaimana menolaknya, dan semakin hari, saya semakin tidak ingin menolaknya.
Pada suatu malam yang tanpa bintang—malam yang seolah-olah langit sendiri enggan memandang bumi—saya duduk di hadapan diari William, membalikkan halaman-halaman yang mulai lapuk. Tangan saya gemetar saat membaca sebuah frasa yang ditulis dengan tinta merah pudar:
“Jangan pergi ke sana—tapi jika sudah terdengar suara-Nya, kau telah dipilih. Pulau itu... bukan hanya pintu, tetapi kunci. Dia menunggu. Dia bermimpi, dan mimpi-Nya adalah nyata.”
Seketika itu juga, rasa dingin menjalar ke tengkuk saya. Saya tahu apa yang harus saya lakukan, meskipun seluruh tubuh saya menolak—saya harus pergi ke sana. Ke Laut China Selatan, ke pulau yang tidak ada dalam peta modern, tetapi tercatat jelas dalam manuskrip William.
Saya mulai merencanakan perjalanan, meskipun dalam hati saya tahu, ini bukanlah perjalanan wisata atau ekspedisi ilmiah. Ini adalah sebuah pemanggilan. Sebuah takdir yang saya warisi, bukan sebagai pilihan, tetapi karena sebuah rantai kuno telah melilit di sekitar jiwa saya sejak sebelum saya mengenal dunia ini.
Dan kini, ketika segala sesuatunya sudah disiapkan—tiket, kapal, persediaan, dan salinan peta William yang sudah saya cetak ulang—saya hanya bisa diam dan menunggu fajar. Laut itu menanti. Dan di dasar laut itu, suara yang semakin kuat—menunggu saya kembali... atau mungkin, menunggu saya untuk hilang dalam mimpi-Nya yang abadi.
Langit masih terlihat kelabu pekat saat saya menaiki perahu kecil dari pelabuhan nelayan yang terpencil, jauh dari kota Sanya. Laut China Selatan terbentang luas di depan, hitam dan tak berbatas, seolah-olah sedang bernapas perlahan—seperti makhluk tidur yang menunggu untuk bangkit.
Peta yang ditinggalkan oleh William terlipat rapi dalam tas saya, dilindungi plastik tebal. Simbol-simbol aneh yang terukir di atasnya—spiral yang bertemu di tengah, mata tunggal yang menghadap ke atas, dan lengkungan seperti cakar makhluk purba—semuanya membentuk koordinat yang kabur namun cukup untuk memandu saya.
Perjalanan memakan waktu lebih dua jam. Laut awalnya tenang, namun semakin saya mendekati titik yang ditandai, ombak mulai berubah. Ia tidak mengamuk, tidak juga memukul seperti badai biasa, tetapi seperti berputar perlahan, mengelilingi sesuatu yang tidak dapat dilihat. Kompas digital saya mulai berputar tanpa arah. Radio menjadi statis. Langit juga semakin gelap, meskipun waktu menunjukkan hampir tengah hari.
Akhirnya, siluet sebuah pulau muncul di kaki langit—gelap dan tidak berpenghuni, diliputi kabut tipis yang tidak bergerak meskipun angin bertiup. Tanahnya tampak berbatu dan kasar, dipenuhi pepohonan aneh yang daunnya berkilau seperti sisik. Tidak ada suara burung, tidak ada desiran serangga. Hanya keheningan—keheningan yang menusuk hingga ke tulang.
Saya menurunkan perahu dan menjejaki tanah yang tidak tercatat dalam peta manapun. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah tanah itu sendiri menolak keberadaan saya. Ada ukiran pada batu-batu besar yang berserakan di sepanjang pantai—ukiran wajah makhluk asing, mata mereka terbelalak, mulut terbuka seperti berteriak, dan lidah bercabang menjulur ke bawah. Di tengah-tengahnya, sebuah monolit hitam berdiri, terbenam setengah ke dalam bumi, diselimuti lumut hijau tua.
Saya berjalan menghampirinya.
Dan ketika tangan saya menyentuh permukaannya yang dingin dan keras, sebuah suara, yang tidak datang dari luar tetapi dari dalam pikiran saya, berbisik dengan nada yang menusuk:
"Engkau telah datang... dan pintu akan dibuka kembali."
Langit menjadi semakin gelap seiring saya menyentuh monolit itu, seolah-olah awan bergerak menutup cahaya hari. Angin yang tadinya hanya menyapa kini berubah menjadi desiran yang membawa bau asin laut tercampur sesuatu yang busuk—bau tanah lembap, jamur, dan sesuatu yang saya tidak tahu dari mana asalnya... seperti daging yang sudah lama membusuk namun masih hidup.
Saya terus berjalan, mengikuti jalur sempit yang terbentuk alami di antara batu-batu besar dan pohon-pohon aneh yang seolah-olah berbisik setiap kali saya melewatinya. Bisikan itu tidak bisa saya dengar dengan telinga biasa, tetapi saya tahu ia ada—dalam bentuk gema halus di tengkorak saya.
Beberapa menit kemudian, saya tiba di mulut sebuah gua yang tersembunyi di balik dinding batu yang dipenuhi lumut hijau tua. Mulutnya sempit, seperti retakan yang terbentuk dari sebuah hentakan besar ribuan tahun yang lalu. Di sekitarnya ada tanda-tanda ritual—lukisan merah yang mengelilingi pintu masuk, terbuat dari bahan yang saya tidak bisa pastikan. Itu bukan cat, dan tidak kering.
Saya menyalakan senter dan masuk ke dalam.
Suhu langsung turun. Udara di dalam gua itu terasa tebal, seperti bergerak perlahan. Cahaya senter menari di atas dinding batu yang basah, memperlihatkan ukiran aneh—lambang spiral, makhluk berkaki delapan, dan bulatan mata yang selalu menghadap ke arah yang sama... ke dalam.
Semakin dalam saya masuk, semakin kuat bisikan itu. Ia bukan lagi hanya satu suara. Sekarang ia menjadi ratusan—berlapis-lapis, berbicara dalam bahasa yang belum pernah saya dengar, namun entah bagaimana... saya mengerti. Mereka berbicara tentang "Zaman Sebelum Waktu", tentang "Perjanjian Darah Pertama", dan tentang "Yang Tersembunyi Dalam Tidur Tak Bernama".
Kemudian saya sampai di sebuah ruangan besar—sebuah aula bawah tanah yang tinggi, luas, dan penuh dengan ukiran di setiap permukaan. Di tengahnya, terdapat sebuah struktur seperti altar yang terbuat dari batu hitam berkilau, dihiasi dengan tengkorak-tengkorak berbagai ukuran dan bentuk—ada yang manusia, ada yang bukan.
Saya mendekatinya.
Dan pada saat itu, tanah bergetar perlahan. Bukan gempa bumi, tetapi degupan—seperti jantung yang berdenyut dari dalam perut bumi.
Suara itu kembali, kali ini lebih kuat, lebih jelas... dan ia memanggil nama saya.
Nama saya.
III. Dalam Jantung Batu
Nama aku bergema di ruang besar itu—bukan melalui udara, tetapi dari dalam tulang-temulangku. Ia tidak disebut, tapi diketahui. Seperti suara yang hidup di bawah setiap kenangan yang pernah aku miliki, menunggu saat untuk berbicara.
Lampu suluh aku mula berkelip, lalu padam sepenuhnya.
Namun ruang itu tidak gelap. Dindingnya, lantainya, altar itu—mula bersinar dari dalam, memancarkan cahaya kehijauan yang suram, seolah-olah ada urat-urat luminesen yang selama ini tersembunyi di bawah permukaannya. Dari bawah altar, tanah terbuka perlahan, bukan pecah tetapi tersingkap, seperti kelopak bunga batu yang lama terpendam.
Aku tidak dapat menggerakkan tubuhku, tetapi aku turun. Kakinya melangkah sendiri, tanpa izin fikiranku.
Lorong itu membawa aku ke dalam kegelapan yang tidak memerlukan cahaya. Di sini, realiti tidak lagi mengikuti hukum. Suara-suara menyanyi dalam rentak yang tidak wujud, dan dinding gua bernafas seperti paru-paru purba. Aku tahu—aku sedang melangkah masuk ke dalam Dia.
Dan di akhirnya, aku melihat N’rahal-Toth.
Ia tidak duduk, tidak berdiri, tidak wujud dalam satu bentuk—ia adalah ruang itu. Dindingnya adalah kulitnya, urat-urat cahaya itu adalah sarafnya, dan suara-suara itu adalah degup hatinya yang sedang bermimpi. Sebuah mata terbuka dari batu di hadapan—mata yang tidak mencari, tapi menatap segalanya. Aku terdorong sujud tanpa sedar, dan dari dalam tanah, lidah-lidah batu menjulur perlahan, menyentuh dahiku.
Segalanya terbuka.
Aku melihat masa sebelum masa. Aku mendengar jeritan bintang yang dilahirkan. Aku menyaksikan makhluk-makhluk dari dimensi yang tidak memiliki arah, memuja sesuatu yang terlalu besar untuk dinamakan. Aku tahu sekarang, dunia ini hanyalah riak kecil dalam laut tidur-Nya. Aku tahu sekarang, William tidak gila.
Aku ditemui terapung berhampiran pulau oleh nelayan tempatan. Mereka kata aku tidak berkata apa-apa selama tiga hari, hanya menatap langit dengan mata terbuka luas dan mulut yang terkumat-kamit tanpa suara.
Sekarang aku kembali ke rumah.
Tapi rumah itu bukan rumah lagi.
Setiap malam aku demam—panas yang bukan dari tubuh, tapi dari dalam fikiran. Aku mimpi terperangkap dalam terowong batu yang bernafas, mimpi mata yang tidak pernah menutup, mimpi makhluk-makhluk yang berbaris menyanyikan nama aku. Ada hari aku bangun dan jari-jariku bergetar tanpa henti, menulis simbol yang aku tidak pernah pelajari di dinding dan lantai.
Aku tidak boleh makan daging. Ia membuatkan aku muntah darah. Aku tidak boleh berada dalam bilik yang senyap, kerana dalam senyap itu, suara-Nya kembali… dan ia bukan lagi berbisik. Ia memberi arahan.
Doktor kata aku mengalami “psikosis pasca trauma”. Tapi bagaimana mereka mahu rawat sesuatu yang bukan berasal dari trauma biasa, tapi dari pertemuan dengan sesuatu yang tak seharusnya wujud?
William cuba menulis segalanya. Aku pula… aku tahu aku sedang berubah. Kadang aku lihat wajah aku di cermin dan tak kenal mata yang memandang balik. Kadang suara aku kedengaran seperti suara orang lain. Kadang, aku nampak kulit aku… berdenyut.
Dan malam tadi, aku bermimpi… tapi tidak sebagai diriku. Aku bermimpi sebagai N’rahal-Toth. Aku bermimpi sebagai Dia.