“Yang patah akan tetap berdiri, meski tak lagi sama bentuknya. Seperti hatinya, yang masih utuh meski sudah tak kau miliki.”
Matahari sore perlahan mundur dari langit Yogyakarta. Di Titik Nol Kilometer, jalanan mulai padat dengan manusia yang bergegas mencari kenangan atau melupakan sesuatu. Di tengah hiruk-pikuk itu, duduklah Sinta, sendiri.
Ia memeluk jaket tipisnya erat-erat, seolah itu bisa melindungi hatinya dari dingin yang tak berasal dari udara. Sekilas, ia tampak seperti gadis biasa yang sedang menikmati senja. Tapi tidak bagi siapa pun yang melihat matanya—mata yang membawa keheningan panjang dan cerita yang belum selesai.
Satu tahun lalu, di kampus Filsafat Universitas Gadjah Mada, Sinta bertemu Adi. Pertemuan mereka biasa saja. Adi datang terlambat ke kelas dan duduk di samping Sinta karena tak ada kursi kosong. Tapi dari detik itu, semesta mulai merangkai takdirnya sendiri.
Percakapan pertama mereka dimulai dari Nietzsche dan berakhir di tukang es doger depan kampus. Sinta ingat betul bagaimana cara Adi tertawa ketika ia menceritakan mimpi anehnya tentang menjadi tupai yang pintar debat. Adi adalah satu dari sedikit orang yang tak merasa jengah dengan keanehannya.
Dari sana, segalanya tumbuh. Mereka mulai sering bertukar pesan, bertemu selepas kelas, hingga akhirnya saling mengisi hari-hari satu sama lain. Jogja menjadi tempat mereka menenun kebersamaan—menyusuri lorong-lorong Malioboro saat malam, menyusuri pasar buku di Shopping Center, dan menghabiskan waktu di Taman Sari sambil membaca puisi Sapardi.
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,” bisik Adi suatu hari, seperti kata-kata yang tak sempat diucapkan daun kepada angin yang menjadikannya gugur."
Namun, waktu memiliki caranya sendiri untuk menguji cinta.
Beberapa bulan terakhir, segalanya berubah. Percakapan yang dulu hangat mulai terdengar hambar. Pesan-pesan mulai terlambat dibalas. Pertemuan mulai dihindari dengan alasan tugas, organisasi, atau sekadar lelah. Sinta menyadari itu semua, tapi ia berusaha menahan—seperti seseorang yang terus menggenggam pasir walau tahu butirannya mulai jatuh satu per satu.
Adi pun akhirnya bicara. Di bawah langit mendung Alun-Alun Selatan, di antara suara becak dan anak-anak yang berteriak mengejar balon, Adi mengucapkan kalimat yang akan terus terngiang di kepala Sinta.
“Aku rasa kita harus berhenti, Sin. Bukan karena aku tak sayang, tapi karena kita sudah tak sejalan.”
Sinta tidak menangis saat itu. Ia hanya diam, mengangguk pelan, dan pulang dengan dada penuh hujan.
Sejak hari itu, ia mulai sering datang ke tempat-tempat kenangan. Bukan untuk berharap Adi kembali, tapi untuk menata ulang serpihan dirinya yang tercerai-berai.
Sore itu, di Titik Nol, ia kembali menulis. Buku catatannya berisi kutipan-kutipan yang hanya ia pahami. Tangannya gemetar, tapi huruf-huruf itu tetap terbentuk.
“Mungkin di kota ini, kamu dan aku pernah menjadi kisah.Tapi Jogja akan tetap berjalan. Aku juga harus.”
Ia menutup bukunya, bangkit dari bangku, lalu melangkah pergi menyusuri trotoar. Setiap langkahnya adalah pengakuan bahwa ia pernah mencinta, pernah kehilangan, dan kini sedang tumbuh.
Jogja tetap hangat, tetap hidup.
Dan Sinta tahu, luka yang hari ini terasa dalam,
suatu saat akan menjadi cerita ringan yang ia bisikkan pada angin malam.
Karena setiap cinta yang berakhir bukanlah kegagalan.
Ia hanya cara semesta mengajarkan bahwa tak semua harus dimiliki untuk dihargai.
Dan kini, semuanya telah sampai pada satu titik:
Usai