Musim Semi, Dua Puluh Tahun yang Lalu.
Seorang anak laki-laki berusia sembilan tahun duduk diam di sofa. Tubuh kecilnya tegak dengan rapi, menunjukkan bahwa ia telah diajarkan tata krama sejak dini. Namun, di balik ketenangannya, ada sedikit kejenuhan di matanya yang jernih.
Hari itu adalah hari besar bagi keluarga Xu—pernikahan Nona Xu Yangmi dengan Tuan Jiang Feijun. Aula mewah dipenuhi tamu yang saling menyapa dengan senyum hangat, mengenakan pakaian terbaik mereka. Qin Mingxun, bocah itu duduk sendirian, menunggu ayah angkatnya kembali dari berbincang dengan para tamu penting lainnya.
Sebagai bagian dari keluarga Qin yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Xu melalui ibunya, Mingxun hadir sebagai perwakilan dari keluarga kandungnya.
Namun, pesta besar seperti ini bukanlah tempat yang ia sukai. Suasana ramai dengan tawa dan percakapan yang menggema di aula terasa terlalu bising baginya. Ia lebih menyukai tempat yang sunyi.
Dengan gerakan tenang, Mingxun bangkit dari sofa, melangkah keluar dari keramaian untuk mencari udara segar. Pandangannya menyapu ruangan, hingga ia melihat sebuah balkon luas di ujung aula. Tanpa ragu, ia melangkah ke sana, menikmati angin musim semi yang sejuk.
Namun, sebelum sempat benar-benar keluar ke balkon, suara gemerisik halus menarik perhatiannya.
Ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang gadis kecil berjongkok di balik pot bunga besar. Gaun putihnya yang indah sedikit kusut, dan di tangannya, ia menggenggam beberapa butir permen. Gadis kecil itu tampak sibuk mengunyah, seolah sedang menikmati camilan rahasianya.
Ketika menyadari kehadiran Mingxun, gadis itu langsung berdiri dengan waspada. Mata beningnya yang berkilauan menatapnya dengan sedikit rasa bersalah.
Refleks, gadis itu menyembunyikan permen di balik lipatan gaunnya.
Mingxun memperhatikan gadis kecil itu dengan ekspresi datar. Matanya yang tajam menelusuri sosok mungil di depannya—gaun putih berbulu lembut, rambut sebahu dengan poni rapi, serta sepasang mata yang besar dan jernih. Ia tampak seperti bidadari kecil yang jatuh dari langit, meski saat ini terlihat jelas bahwa ia sedang ketakutan karena ketahuan.
Gadis itu menggigit bibirnya, perlahan melangkah mundur sambil tetap menyembunyikan permen di balik gaunnya. Mingxun masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.
"Kau sedang apa di sini?" tanya Mingxun akhirnya, suaranya datar namun tidak terdengar mengintimidasi.
Gadis kecil itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Sembunyi..."
Mingxun menaikkan satu alisnya. "Sembunyi dari siapa?"
"Dari ibu."
Mingxun memiringkan kepalanya sedikit, memperhatikan ekspresi polos gadis kecil itu. "Kenapa kau sembunyi dari ibumu?"
Gadis kecil itu menggigit bibirnya lagi, seolah ragu untuk menjawab. Namun, pada akhirnya ia membuka genggaman tangannya dan menunjukkan permen yang sejak tadi ia sembunyikan. "Karena ibu bilang aku tidak boleh makan permen terlalu banyak... Tapi ini enak," katanya lirih.
Untuk pertama kalinya, sudut bibir Mingxun sedikit terangkat. Gadis ini lucu.
"Jadi kau melanggar aturan ibumu?" tanyanya.
Gadis itu mengangguk pelan. "Tapi aku hanya makan satu... atau dua... atau tiga permen saja" gumamnya sambil menghitung dengan jari-jari mungilnya.
Mingxun menghela napas ringan. "Lalu apa yang akan kau lakukan kalau ibumu menemukanmu di sini?"
Gadis itu langsung menatap Mingxun dengan mata penuh harapan. "Kakak bisa membantu menyembunyikanku?" tanyanya dengan suara yang terdengar begitu polos dan tulus.
Mingxun terdiam sesaat. Ia bukan tipe yang suka ikut campur urusan orang lain, tapi entah kenapa ada sesuatu dalam tatapan gadis ini yang membuatnya enggan untuk menolak.
"Baiklah," jawabnya akhirnya. "Aku tidak melihat apa-apa."
Mata gadis itu berbinar, lalu ia tersenyum lebar. "Kakak baik sekali!" katanya dengan semangat, sebelum kembali jongkok di balik pot bunga, meneruskan aksinya seolah-olah Mingxun tidak pernah melihatnya.
Mingxun menggelengkan kepalanya pelan, lalu berbalik hendak meninggalkan balkon. Namun, sebelum ia pergi, gadis itu tiba-tiba memanggilnya lagi.
"Kakak!"
Mingxun menoleh.
"Aku Yuna!" katanya sambil tersenyum cerah.
Mingxun menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "Aku Qin Mingxun."
Gadis kecil itu tertawa kecil. "Baiklah, kakak Qin Mingxun! Kalau kita bertemu lagi, jangan lupa aku ya!"
Mingxun tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu sesaat sebelum akhirnya berbalik dan pergi, membiarkan suara tawa kecil itu menghilang di balik keriuhan pesta pernikahan yang masih berlangsung.