Dina benci dua hal di dunia ini: tugas akhir dan cowok yang terlalu pede.
Sayangnya, nasibnya mempertemukan dia dengan keduanya dalam satu wujud: Rangga. Mahasiswa semester akhir jurusan Teknik Sipil yang hobi membuat tugas mendekati deadline dan mengklaim dirinya sebagai “anak dewa AutoCAD”.
Dina adalah mahasiswa Arsitektur. Cerdas, disiplin, dan punya jadwal harian yang warnanya kayak pelangi karena penuh catatan. Dia bahkan menamai to-do list-nya: “Jalan Menuju Sarjana”.
Mereka bertemu di ruang print 24 jam saat sama-sama mau nge-print gambar teknik sebesar peta dunia. Waktu itu jam 3 pagi. Dina udah ngantuk, printer lemot, dan… pria di belakangnya nyalip antrean dengan senyum kayak tukang sales MLM.
“Hei, itu giliran saya,” kata Dina, mengerutkan alis.
“Oh ya? Saya kira kamu lagi nunggu dijemput jodoh, bukan giliran printer.”
Dina melongo. “Apa?”
“Bercanda, bercanda! Maaf ya, saya buru-buru. Deadline jam 7. Kalau saya nggak submit, dosen saya bisa berubah jadi Thanos.”
Dina menghela napas, “Sama. Deadline saya juga jam 7. Tapi bedanya, saya datang duluan.”
Rangga diam. Kemudian dia tersenyum, angkat tangan tanda menyerah. “Baiklah, nona Disiplin. Saya akan antre. Tapi… boleh saya nebeng nge-print satu lembar doang? Satu! Sumpah. Kalau nggak, saya akan gagal dan jadi youtuber yang bahas konspirasi.”
Dina menatapnya lelah, lalu mengangguk. "Satu lembar. Satu."
Dari situlah semuanya dimulai.
Tiga minggu kemudian, mereka bertemu lagi. Di kantin.
Rangga sedang duduk sambil menatap layar laptop dengan ekspresi bingung seperti anak SD yang ditanya integral. Dina lewat, membawa nampan isi nasi goreng dan teh manis.
“Hei, kamu! Nona Printer!” seru Rangga sambil melambai.
“Nama saya Dina,” katanya, setengah malas. Tapi ia duduk juga.
“Kamu tahu soal kalkulasi beban pondasi ini? Saya udah coba pakai rumus dari Pak Didi, tapi hasilnya bikin saya pengen resign jadi manusia.”
“Mana? Coba aku lihat.”
Dina mengambil laptop Rangga, menyesap teh manisnya, dan mulai mengetik cepat. Dalam waktu lima menit, dia menyelesaikannya.
Rangga menatapnya seolah melihat malaikat. “Saya akan menamakan anak pertama saya Dina.”
“Kalau anakmu hasil tugas akhir, mungkin.”
Mereka tertawa.
Minggu demi minggu, pertemuan mereka makin sering. Kadang di ruang komputer, kadang di taman kampus, kadang di warung kopi dekat kos. Mereka saling bantu ngerjain tugas, saling bully, dan sesekali… saling tatap agak lama kalau sedang diam.
Tapi Dina selalu menyangkal.
“Aku cuma bantu karena kasihan. Dia tuh kayak anak ayam ilang. Lucu tapi bego.”
Sementara Rangga bilang ke temannya, “Gue nggak naksir ya, cuma... ya, kalau dia tiba-tiba ngajak nikah, gue sih nggak nolak.”
Suatu malam, Rangga ngajak Dina ikut nonton layar tancap di kampus.
“Filmnya drama Korea, judulnya Love in the Rain. Kayaknya bakal banyak adegan nangis-nangisan. Tapi tenang, aku bawa tisu dan bahu.”
Dina hampir menolak, tapi akhirnya ikut juga. Mereka duduk di atas tikar, makan popcorn, dan menonton bersama puluhan mahasiswa lain.
Saat adegan klimaks di mana tokoh utama meninggal, semua orang menangis. Termasuk Dina.
“Aduh, mataku kemasukan debu,” katanya, menyeka mata.
“Debu cinta, ya?” goda Rangga.
“Awas ya, Ga. Nanti aku tusuk pakai sedotan.”
Setelah film selesai, mereka jalan kaki pulang. Udara dingin. Jalanan sepi.
Rangga tiba-tiba berhenti. “Din, aku suka kamu.”
Dina membeku.
“Tapi... aku juga takut. Takut kamu nganggep aku cuma cowok konyol yang selalu nyebelin.”
Dina menatapnya lama. “Kamu memang nyebelin. Tapi... teh manis juga manis karena ada gulanya, kan?”
“Hah?”
“Artinya, kamu nyebelin, tapi aku suka.”
Rangga tertawa. “Itu analogi paling aneh yang pernah kudengar. Tapi aku terima.”
Hari-hari selanjutnya, mereka resmi jadi “pasangan kampus”. Semua orang tahu mereka pacaran—kalau Rangga nggak nyebut nama Dina 17 kali sehari, maka dia sedang tidur.
Mereka pacaran sambil ngerjain skripsi. Rangga jadi lebih rajin, Dina jadi sedikit lebih santai. Mereka belajar saling menyesuaikan: Dina belajar menerima ke-chaosan Rangga, Rangga belajar membuat to-do list meski kadang malah dijadikan origami.
Suatu hari, saat hujan deras, Dina kehujanan dan datang ke kos Rangga.
“Listrik kosku mati. Laptopku lowbat. Tugas belum selesai.”
Rangga langsung sigap. “Masuk! Aku siap jadi power bank hidupmu!”
Dia kasih handuk, teh hangat, dan sweater. Dina duduk di lantai, membuka laptopnya sambil menggigil.
Beberapa jam kemudian, tugas selesai. Dina tertidur di sofa. Rangga duduk di sampingnya, memandangi wajahnya.
“Kamu tahu, Din,” bisiknya pelan. “Aku dulu mikir cinta itu ribet. Tapi kamu... bikin semuanya terasa sederhana.”
Beberapa bulan kemudian, mereka lulus bareng.
Dina jadi arsitek di firma keren. Rangga kerja di proyek jalan tol. Mereka LDR, tapi masih sering video call.
“Rangga,” kata Dina suatu malam, “kamu masih ingat pertemuan kita di ruang print?”
“Jelas. Waktu itu kamu tampak sangat galak. Aku pikir kamu bakal lempar printer ke aku.”
Dina tersenyum. “Aku bersyukur printer itu lemot. Kalau nggak, aku nggak akan kenal kamu.”
Rangga tersenyum balik. “Aku bersyukur kamu mau bagi antrean. Dan sekarang… aku mau bagi hidup.”
Dina membelalak. “Hah?”
Rangga mengangkat secarik kertas dari layar video call: tulisan tangan yang berkata, “Maukah kamu menikah denganku?”
Dina terdiam. Lalu tertawa. “Kamu melamar lewat Zoom? Serius?”
“Ya. Kalau kamu mau yang lebih romantis, aku bisa pakai efek filter love-love.”
“Dasar konyol.”
“Tapi kamu suka, kan?”
Dina menahan senyum. “Iya. Aku suka.”
TAMAT