Hujan turun deras di sebuah kampung terpencil di lereng Gunung Merapi. Malam itu, angin membawa aroma tanah basah dan bisikan-bisikan tak tentu asalnya. Di ujung desa, sebuah rumah tua bergaya joglo yang sudah lapuk berdiri menyendiri, menyimpan rahasia kelam yang telah lama terlupakan.
Di dalam rumah itu, Raden Slamet, seorang dukun yang dikenal dengan kekuatan gelapnya, tengah mempersiapkan sesajen dengan tangan gemetar. Wajahnya yang keriput diselimuti bayang-bayang lilin yang berkedip-kedip, sedangkan aroma dupa yang terbakar menambah kesan mistis yang mencekam. Ia mengulurkan telapak tangannya ke atas meja kayu usang, menyusun beberapa bahan rahasia: rambut, potongan daging binatang, dan selembar kertas keramat bertuliskan mantra Jawa kuno. Malam itu, ia akan melakukan santet pada seseorang yang dianggapnya telah mengkhianati adat dan tradisi leluhur.
Di desa, kabar mulai tersebar bahwa ada seseorang yang menderita nasib sial dan kesakitan yang tak tertahankan. Namanya Dewi, seorang wanita muda yang cantik namun pendiam, sering terlihat menangis di sudut-sudut gelap rumahnya. Seiring waktu, luka-luka aneh mulai muncul di tubuhnya, bercampur darah yang tak henti-hentinya mengalir. Tak ada yang bisa menjelaskan, hingga akhirnya beberapa warga mendengar bisikan tentang santet.
Malam semakin larut ketika Dewi yang terbaring lemah di atas kasur kayu di rumahnya, mendengar suara aneh dari luar jendela. Di luar, bayang-bayang gelap menari-nari mengikuti irama angin yang menderu. Dalam mimpinya yang penuh mimpi buruk, ia melihat sosok Raden Slamet dengan wajah mengerikan, matanya menyala seperti bara api, dan tangan-tangan kotor yang menguliti daging manusia. Suara-suara bisikan dalam bahasa Jawa mengungkapkan mantra-mantra yang membuat bulu kuduk merinding. Dewi berusaha bangun, namun tubuhnya seakan dibelenggu oleh kekuatan tak kasat mata.
Sementara itu, di dalam rumah Raden Slamet, ritual santet semakin mencapai puncaknya. Tangan gemetar dukun itu mulai menggoyangkan selembar kain hitam yang melambangkan batas antara dunia manusia dan dunia roh. Darah segar yang dituangkan ke dalam mangkuk tanah liat menyatu dengan bahan-bahan lain, menghasilkan campuran yang mengerikan. Dalam sekejap, bayang-bayang hitam menyeruak dari sudut ruangan, mengerubungi dukun itu dan menyatu dengan kekuatan kegelapan.
Keesokan harinya, desa terbangun dengan suasana mencekam. Warga berkumpul di alun-alun, membicarakan penampakan yang mengerikan. Di pinggir sawah, terdapat sosok tubuh lemas yang tergeletak, bekas-bekas gigitan dan luka robek yang tak wajar menganga. Wajahnya tampak seperti terpotong-potong, dan darah segar menetes dari luka-luka yang dalam. Tak ada yang berani mendekat, karena aura kengerian yang terpancar membuat setiap langkah seolah diikuti oleh bayang-bayang hitam.
Di rumah Dewi, pintu terkunci rapat, dan suara isak tangisnya menggema hingga ke sudut-sudut gelap ruangan. Beberapa saksi mengaku melihat bayangan hitam mendekat, seolah-olah dukun itu datang memungut jiwa yang tersisa. Di balik pintu, sesosok wanita berpakaian serba putih berusaha melawan kegelapan yang semakin mendekat, namun tubuhnya tak mampu lagi bergerak. Dalam sekejap, Dewi tertunduk, seolah-olah dunia telah menelan seluruh jiwanya.
Kisah ini pun menjadi misteri yang menghantui desa selama berbulan-bulan. Warga tidak pernah yakin apakah santet itu benar-benar kekuatan dukun Raden Slamet atau roh jahat yang bangkit dari kuburan leluhur yang marah. Setiap malam, jeritan kesakitan dan tangisan pilu terdengar, menyatu dengan rintihan angin dan rintik hujan. Di sela-sela kegelapan, mereka pun berdoa agar kekuatan gelap itu segera sirna, dan roh-roh yang tersiksa menemukan kedamaian di alam baka.
Hingga suatu malam, seorang pemuda pemberani bernama Joko, yang telah lama kehilangan harapan akan kehidupan damai, memutuskan untuk mencari kebenaran di balik semua misteri ini. Dengan bekal hanya sebatang toya dan tekad yang membara, Joko menyusup ke rumah tua di pinggiran desa. Di dalam gelapnya ruang tamu yang berdebu, ia menemukan buku-buku tua yang menceritakan tentang mantra-mantra dan ritual santet. Di antara halaman-halaman itu, terselip petunjuk mengenai cara menghentikan kekuatan jahat—sebuah ritual pembersihan yang mengharuskan keberanian luar biasa dan pengorbanan jiwa.
Tak lama kemudian, Joko mulai mengumpulkan barang-barang sakral, berusaha menyusun strategi untuk melawan kekuatan gelap yang telah mencengkeram desa. Dalam perjalanan mencari bahan-bahan ritual, ia menemui banyak rintangan: bayang-bayang yang tiba-tiba muncul di jalan setapak, suara-suara seram yang berbisik di telinganya, hingga tatapan mata yang menyala dalam kegelapan malam. Namun, semangatnya tak surut. Ia tahu, jika kegelapan itu dibiarkan terus menyelimuti desa, maka tidak ada lagi harapan untuk masa depan.
Di puncak malam yang penuh kegentingan, Joko melaksanakan ritual pembersihan di halaman depan rumah tua. Di tengah lingkaran api yang menyala, ia mengucapkan mantra-mantra kuno dengan suara bergetar namun penuh keyakinan. Angin berhembus kencang, seolah-olah roh-roh yang terpenjara meronta, ingin lepas dari belenggu penderitaan. Dalam detik-detik yang menegangkan, bayang-bayang hitam mulai menyusut, dan suara tangisan yang menyiksa pun berangsur-angsur reda. Namun, perjuangan itu belum usai—dalam kegelapan yang tersisa, sesosok bayangan dengan mata menyala mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk kembali.
Cerita ini pun meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab, seolah-olah kegelapan itu selalu ada, mengintai dalam setiap sudut desa dan setiap hati yang rapuh. Apakah kekuatan santet Jawa yang mematikan benar-benar telah terkalahkan, ataukah hanya sekadar tertunda? Bayang hitam di tengah malam tetap menjadi misteri yang terus membayangi, mengingatkan bahwa dalam setiap kepercayaan dan tradisi, selalu ada sisi gelap yang tak pernah benar-benar hilang.
---