Aldo benci antrean. Ia benci ketika orang-orang berdiri seperti domino nyaris jatuh, saling bersandar tapi pura-pura menjaga jarak. Ia benci suara beep dari scanner kasir, dan ia benci ketika orang di depannya lupa password e-wallet tepat saat giliran bayar.
Tapi hari itu berbeda. Hari itu ia jatuh cinta—di barisan nomor enam antrean minimarket.
Gadis itu berdiri satu orang di depannya. Seragam kantor biru gelap, sepatu hak rendah, dan rambut dikuncir longgar. Ia memegang dua botol air mineral dan sekotak cokelat. Tidak banyak barang, tapi antreannya tidak bergerak-gerak.
Aldo mencoba pura-pura sabar. Tangannya pegang sebungkus mie, susu kotak, dan tisu wajah. Lalu, seperti klise yang sudah basi tapi tetap bikin deg-degan, gadis itu menoleh.
Senyumnya sederhana, tapi berhasil bikin Aldo lupa cara bernapas.
"Panas, ya?" katanya.
Aldo menelan ludah.
"Iya. Kayak lagi antre di gerbang neraka."
Dia tertawa pelan.
"Kayaknya saya barengan naik ojek ke sana."
Aldo langsung menjawab,
"Enggak. Saya ojeknya."
Dia terbahak. Suara tawanya ringan, seperti kaca pecah yang nggak bikin luka. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Aldo bersyukur antrean kasir panjang. Dan ketika akhirnya si mbak kasir berseru,
"Yang berikutnya!" mereka hampir kecewa.
"Aku Dita," katanya setelah membayar.
"Thanks buat jokes-nya, Ojek Neraka."
"Dita..." Aldo mengulang seperti mantra. "Aku Aldo. Boleh tuker nomor, nggak? Buat... antisipasi antrean berikutnya."
Dita tersenyum.
"Boleh. Tapi jangan chat jam dua pagi, ya. Aku bukan psikolog."
---
Obrolan mereka berlanjut. Dari chat ringan, jadi voice note, lalu video call. Aldo tahu Dita suka kopi hitam pahit dan musik jazz Jepang. Dita tahu Aldo punya kucing bernama Kunyit dan bisa masak nasi goreng telur dengan teknik profesional.
Mereka cocok dalam hal-hal kecil. Dan tidak cocok dalam hal-hal besar. Dita percaya horoskop, Aldo percaya algoritma. Dita suka drama Korea, Aldo suka dokumenter kriminal. Tapi mereka sama-sama tertawa saat mengirim meme yang sama dalam waktu bersamaan.
Setelah dua minggu, mereka janjian ketemu di kafe kecil yang punya wifi lemah tapi croissant enak. Dita datang lima menit lebih awal, Aldo datang tujuh menit lebih gugup.
“Jadi kamu beneran bukan ojek neraka?” tanya Dita saat mereka duduk.
Aldo tertawa.
“Kalau aku ngojek, rating-ku lima bintang. Tapi bukan karena nyetirnya bagus. Karena selalu nyediain permen gratis.”
Mereka ngobrol lama. Tentang mimpi pindah ke luar negeri, soal bos galak yang hobi pake emoji, dan pengalaman buruk saat salah kirim voice note curhat ke grup keluarga.
Aldo pulang dengan rasa ringan di dada. Ia menulis satu kalimat di catatan ponselnya:
“Kalau ini bukan cinta, setidaknya ini arah yang benar.”
---
Pertemuan mereka terus berlanjut. Kafe, taman, bioskop kecil. Mereka tidak pernah menyebut kata "pacaran", tapi semua orang bisa lihat arah anginnya.
Hingga suatu malam, ketika lampu kafe temaram dan croissant-nya habis lebih cepat dari biasanya, Aldo memutuskan untuk bicara.
“Dita… aku suka kamu.”
Dita menatapnya. Tidak kaget. Tidak juga langsung menjawab. Dia malah menyesap kopinya pelan. Lalu berkata:
“Aku juga suka kamu... Tapi—” Dia berhenti, menarik napas. “—namaku bukan Dita.”
Aldo membeku.
“Hah?”
“Waktu di minimarket itu, aku cuma... iseng. Aku pikir kamu juga. Kita kayak dua orang yang bosan, ketemu pas momen lucu. Aku pakai nama palsu. Aku nggak nyangka kita bakal lanjut.”
Aldo tidak bisa berkata apa-apa selain:
“Lalu… siapa kamu sebenarnya?”
“Alya.”
Aldo diam. Otaknya sedang memproses. Dita—eh, Alya—menunduk sedikit, gugup.
“Maaf, ya. Aku nggak bermaksud bohong. Aku cuma nggak nyangka akan sampai sejauh ini. Tapi... semuanya yang lain nyata, kok.”
Aldo mengedip. Kemudian tertawa. Alya terkejut.
“Aku kira kamu bakal marah.”
“Kenapa? Kamu Alya yang suka jazz Jepang, suka cokelat dan benci meeting Senin pagi, kan?”
Alya mengangguk pelan.
“Ya udah. Kalau ternyata kamu Broto, baru aku cabut.”
Alya tertawa keras.
“Broto?!”
“Nama yang bikin langsung pengen tanya: kamu hidup di zaman kerajaan, ya?”
Alya menyeka air matanya karena tertawa. Dan untuk pertama kalinya malam itu, ia kelihatan benar-benar tenang.
---
Tiga minggu setelah pengakuan itu, Aldo dan Alya duduk di sebuah acara pasar seni. Di antara booth poster, kopi dingin, dan live music, mereka melihat-lihat lukisan surealis yang terlalu mahal tapi terlalu bagus untuk diabaikan.
“Tadi ada yang panggil kamu Dita, deh,” kata Alya sambil nyuap donat.
“Oh iya. Si penjual vinyl itu. Aku udah pernah ke sini sebelum kita kenal. Waktu itu aku juga kasih nama palsu ke dia.”
Alya menoleh cepat.
“Apa? Kamu juga bohong soal nama?”
Aldo mengangkat bahu.
“Yah... waktu itu lagi pengen menyendiri. Ngasih nama palsu tuh kayak... pakai jubah gaib. Bebas jadi siapa aja.”
Alya menatapnya lama. Lalu tersenyum.
“Jadi sebenarnya kamu siapa?”
Aldo tersenyum nakal.
“Aku... Broto.”
Donat Alya sampai tersembur keluar dari mulutnya. Lalu merekapun tertawa bersama.
Tamat