" Min mumet. Min mumet. Min mumet."
" Jo diem ga. Brisik."
" Jo brisik. Jo brisik..Jo brisik."
Parmin mengacak rambutnya. Kepalanya terasa mau pecah. Berdenyut dan sakit.
" Paijo sekali ini saja bisa diem enggak."
" Paijo diem. Paijo diem."
"Aakhhhhh..."
Parmin semakin mumet. Dia memukul kepalanya yang semakin berdenyut. Parmin melangkah meninggalkan Paijo yang terus saja mengoceh seakan menertawakan keadaannya.
Byuuurrr...
Parmin melompat terjun ke kolam lele yang ada di depan kandang Paijo. Dia ingin mendinginkan kepala yang terasa sakit.
"Aduh ... Sial.."
Parmin kembali berteriak. Dia segera keluar dari kolam.
" Sial. Lele gue dipatok lele."
" Lele di patok lele. Lele di patok lele.."
Parmin mendelik ke arah Paijo yang terus saja bersuara mengejek dirinya.Semua bagian tubuhnya terasa sakit. Parmin berlari menuju kamar mandi tidak jauh dari kolam lele tersebut.
Pemandian dengan air yang dingin dari mata air yang keluar dari pegunungan di belakang rumahnya. Parmin duduk bersimpuh di bawah pancuran air dari bambu yang mengalir deras.
Parmin menengadahkan kepalanya ke atas. Menikmati dinginnya air yang jatuh mengucur mengenai wajahnya.Dia meresapi setiap tetes air yang menyentuh wajahnya.
Parmin tersenyum. Senyum sumbang yang dia keluarkan mewakili hatinya yang sedang tidak baik-baik saja.
" Takdir tidak ada yang tahu. Beginilah perjalanan hidup yang memang seharusnya saya terima."
Parmin mengusap wajahnya dengan kasar. Berkali-kali membasuhnya dengan air yang terus mengalir tanpa henti. Menyamarkan air yang tak sengaja keluar dari kedua matanya.
" Parmin cengeng. Parmin cengeng."
Paijo terus saja berceloteh seakan tahu keadaan dirinya. Paijo terus saja berkata-kata seolah tahu apa yang sedang dialaminya. Burung beo kesayangan Parmin itu seolah ingin menyadarkan pemiliknya.
Parmin menyudahi ritualnya. Dia menarik handuk di jemuran dan segera membuka bajunya yang basah.
Parmin masuk rumah dengan handuk melilit tubuh bagian bawah. Masuk rumah dengan cepat karena tiba-tiba hawa dingin menerpa tubuhnya yang setengah telanjaang.
Segera berganti baju. Parmin tidak mau sakit. Dia hanya tinggal sendirian. Hanya Paijo yang dia punya. Siapa yang akan mengurusnya.
Setelah rapi Parmin keluar ruangan dan kembali duduk di dekat Paijo. Membawa secangkir kopi pahit kesukaannya.
" Pahit." Ujar Parmin setelah menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap.
" Dari pahitnya kopi saya sadar rasa manis itu mahal."
Parmin tersenyum. Lalu tertawa terbahak.
" Hahahaha.... Hahahaha.."
"Parmin gila..Parmin gila..Parmin gila."
Parmin semakin terbahak mendengar ucapan Paijo. Dia memang sedang ingin gila.
" Parmin gila. Parmin gila.. Parmin gila."
Parmin menyeruput kembali kopinya. Memejamkan mata menikmati rasa pahit dari kopinya.
" Rasa pahit itu nikmat." gumamnya pelan. Senyum terus menghiasi bibirnya. Tanpa dia sadari setetes air mata jatuh di dalam cangkir kopinya. Buru-buru Parmin menengadahkan wajahnya.
"Hm..."
Sedangkan Paijo masih terus berceloteh.
"Parmin cengeng. Parmin cengeng. Parmin cengeng."
" Parmin gila. Parmin gila. Parmin gila."
Parmin sudah terbiasa dengan celotehan Paijo. Burung beo kesayangannya. Burung yang selalu menemani hidupnya.
"Parmin gila. Parmin gila. Parmin gila."
Parmin semakin tenggelam dalam nikmatnya kopi hitam. Matanya terus terpejam.
# 5 April 2025
# Rest area kota Cirebon