Uang, uang dan uang. Itu yang selalu diberikan oleh Steven sejak Clara menikah dengannya. Pria itu tidak pernah membiarkan Clara memiliki hal lain dari dirinya selain uangnya. Setiap Clara meminta pertolongan, hanya uang yang diberikan Steven. Ketika Clara meminta waktu untuk berbicara, uang juga yang akan dia dapatkan. Begitupun ketika Clara berbaik hati memasakkan sarapan untuknya, Steven hanya memberikan uang lalu berlalu meninggalkan Clara sendirian.
Mungkin di matanya Clara sudah seperti seorang pengemis dan mata duitan.
Pernikahan mereka adalah hasil dari permintaan orang tua Steven. Clara adalah anak dari sepasang suami istri yang telah lama bekerja dengan keluarga Steven. Keluarga Steven memang sangat baik, apalagi Clara tumbuh sejak kecil dirumah keluarga Steven yang tidak memiliki anak perempuan. Sehingga dia begitu disayang dan sudah seperti anak bagi orang tua Steven. Bahkan nama Clara sendiri diberikan oleh ibu Steven.
Diusianya yang ke 23 tahun dimana Clara baru menyelesaikan S1 nya karena sempat gap year dan memutuskan untuk mencoba bekerja, suatu permintaan yang sangat tidak masuk akal akhirnya datang dari Marisa, ibu Steven, yaitu sebuah lamaran agar Clara menjadi istri Steven.
Clara tidak pernah memikirkan hal itu. Bahkan membayangkannya saja dia tidak berani. Bagaimana mungkin seorang anak pembantu sepertinya menjadi seorang nyonya rumah? Tidak masuk akal!
Clara bukan menghina pekerjaan orang tuanya, tapi dia hanya sadar diri bahwa sekat diantara mereka terlalu jauh. Tapi hingga akhir dia justru menerima lamaran itu karena ayah dan ibu yang meyakinkannya bahwa Steven akan menjadi pasangan yang baik bagi Clara. Dia percaya orangtuanya jadi tidak ada alasan lagi bagi Clara untuk menolaknya hingga pernikahan itu akhirnya terjadi sekitar 6 bulan.
"Kamu yakin akan menjadi istri saya? Kamu tau saya tidak mungkin bisa menjadi sosok suami idaman seperti di bayanganmu," kata tersebut Steven ucapkan ketika akhirnya dia berbicara serius dengan Clara setelah lamaran tersebut diterima.
Namun saat itu Clara dengan begitu berani berkata, "Aku gak pernah membayangkan sosok suami idaman, Mas. Tapi aku percaya sama pilihan ayah dan ibu, mereka gak akan memberikan jalan yang berlubang untuk anaknya,"
Dan Clara akhirnya merasakan sendiri bagaimana sikap Steven padanya yang katanya tidak bisa menjadi suami idaman bagi Clara. Benar, satupun sikap Steven tidak ada yang bisa dianggap idaman. Dia selalu mengabaikan Clara. Dia tidak pernah membiarkan Clara ikut campur pada segala urusannya. Hanya satu yang selalu dia berikan, yaitu uangnya. Namun Clara juga tidak pernah tersinggung dengan sikapnya, dia terbiasa di pandang rendah hanya karena ibunya seorang pembantu. Karena bagi Clara itu bukan hal yang memalukan. Dan Clara hanya menganggap sikap Steven sebagai sesuatu hal yang tidak perlu dipikirkan sekalipun beberapa kali dia merasakan kecewa karena perlakuan laki-laki itu padanya.
Tapi Clara tidak menyerah. Dia tetap bersikap sebagaimana seorang istri. Dia selalu menyempatkan diri untuk menyiapkan pakaian dan kebutuhan Steven sekalipun laki-laki itu tidak pernah memintanya. Bahkan selalu membuat sarapan sekalipun tidak pernah dimakan.
Hingga suatu waktu ketika dia mengubungi Steven untuk meminta dijemput karena Clara habis kembali dari rumah keluarga Steven untuk bertemu ibunya, dan taksi yang dia naiki justru mogok ditengah jalan yang saat itu sudah pukul delapan dan Clara didatangi oleh segerombolan preman yang membuatnya begitu ketakutan. Clara harus menelan pil pahit ketika panggilan teleponnya berakhir ditolak dengan satu notifikasi bank yang menyatakan bahwa Clara baru saja berhasil menerima sejumlah uang, disitu dia sangat kecewa. Untuk pertama kalinya, Clara merasa dia benar-benar sendirian.
Malam itu Clara merasa dia akan mati. Itu yang ada dipikirannya ketika mobil taksi yang dia naiki dipukul dengan keras menggunakan tongkat bisbol. Jalanan saat itu sudah sepi karena ini merupakan jalan pintas meskipun baru pukul delapan malam.
"Cepat keluar!" Terima para preman itu.
Pak sopir yang sudah ketakutan berusaha menenangkan Clara. "Mbak tolong hubungi siapapun yang bisa membantu!"
"Iya pak," Dengan tangan gemetaran Clara menekan kontak Steven. Dia menghubunginya. Satu, dua sampai tiga kali tidak diangkat. Dan panggilan ke empat langsung ditolak.
"Bagaimana, mbak?" Pak sopir menatap cemas.
"Tidak diangkat pak, suami saya sibuk." Suara Clara semakin bergetar. Dia tidak lagi kepikiran untuk menelpon polisi sangking paniknya.
Brakk!!!!
Satu pukulan yang sangat keras berhasil memecahkan kaca samping sopir. Para preman itu menarik sopir untuk keluar dan dia bisa mendengar pak sopir berkata, "Cepat lari dan hubungi siapapun mbak! Mbak harus selamat,"
Clara menangis, badannya makin bergetar. Dia melihat bagaimana para preman itu memukuli pak sopir. Clara hendak kabur dari pintu sebelah kanannya, berniat menjauh dan mencari bantuan namun baru saja keluar dari pintu dia dihadang para preman yang sekarang tertawa dan tersenyum jahat saat melihatnya.
"Ternyata penumpangnya sangat cantik. Malam ini kita party bersama gadis cantik!" Para preman itu terlihat happy.
Salah satu dari mereka mencoba mengelus pipi Clara yang membuat gadis itu melengos tapi kakinya ditarik.
Satu orang preman mencoba masuk ke dalam mobil dan berusaha mengurung tubuh kecil Clara, membuat gadis tubuh gadis itu memberontak dengan nafas tersengal. Ketakutan.
"Kamu mau apa? Saya punya uang, saya akan berikan banyak uang," Kata Clara memohon.
"Tentu saya ingin uang kamu, tapi tubuh kamu juga sangat menggiurkan cantik,"
Dan Clara menjerit ketika pakaiannya ditarik hingga robek. Dia menangis. Tangannya menggapai tas kulit keras yang dibeli oleh Marisa. Memukulkan ke wajah preman itu dan berlari dengan cepat. Namun tubuhnya kembali di tangkap. Pria itu tertawa lebar ketika berhasil membuat Clara kembali di bawahnya. "Kamu terlalu manis untuk melawan," Katanya
Dia hendak mencium Clara tapi gadis itu selalu berhasil menolehkan wajahnya. Hingga satu tangan pria itu berhasil menyentuh dadanya, Clara bergetar hebat. Dia ketakutan. Beruntung hanya sampai disana karena tiba-tiba saja para preman itu berlari pontang-panting.
Clara masih diam ditempatnya. Dia seperti kehilangan nyawa. Dan ketika dia melihat ponsel yang ternyata masih dia genggam, yang dia dapatkan dari suaminya hanyalah uang. Pandangan Clara kosong.
"Mbak, maafkan saya. Mbak gapapa kan?" Sopir yang dalam keadaan tidak baik-baik saja itu mendekati Clara. Dan Clara hanya bisa diam. Dia melihat para bapak-bapak yang tadi membantunya. Dia bahkan tidak bisa lagi mengucapkan terimakasih.
Yang dia ingat pak sopir tersebut berhasil mengantarkan Clara ke rumahnya dan berkali-kali meminta maaf tapi Clara masih sangat shok dan tidak bisa berkata apa-apa.
Setelahnya Clara demam selama lima hari setelah kejadian itu karena selalu terbayang perlakuan dari para preman waktu itu. Dia ketakutan tapi Steven bahkan tidak mengetahuinya. Steven pulang sangat larut dan pergi sangat pagi.
Clara juga merasakan takut yang luar biasa ketika keluar rumah dab tidurnya selalu terganggu dengan mimpi buruk.
Hingga Steven baru bertanya setelah satu minggu dia tidak pernah bertemu Clara sekalipun mereka tinggal serumah. Steven mengetuk pintu kamarnya hingga keduanya bertatapan cukup lama saat itu.
"Kenapa, Mas?"
"Kamu tidak masak?" Pertanyaan itu sangat asing. Steven juga sangat paham karena selama meskipun Clara sudah memasak untuknya dia tidak pernah memakannya. Tapi Steven tidak memikirkan apa apa saat mengetuk pintu kamar Clara karena memikirkan apa yang tadi dia dengar.
Clara menggeleng. Steven menatap wajah perempuan itu yang begitu pucat. Clara yang biasanya tampak segar kini terlihat sangat layu.
"Kenapa?" Steven tidak tahan menanyakannya. Kenapa saya bisa membuat kamu sampai seperti ini? Kenapa saya jahat sekali mengabaikan kamu? Kenapa satu minggu lalu saya tidak mengangkat telpon kamu?
"Aku lagi males masak, lagian ga ada yang akan memakannya selain aku."
Steven diam, lalu berkata. "Saya lapar," Steven memang belum makan malam. Tapi dia juga belum merasakan lapar. Dia hanya ingin melihat wajah Clara yang selama satu minggu ini hilang dari pandangannya dengan perasaannya yang begitu berantakan.
"Lalu?" Tentu dia akan disambut respon seperti itu. Dulu Clara selalu memasak untuknya, tapi Steven mengabaikannya.
"Tidak ada. Ya sudah kamu bisa kembali tidur. " Steven berbalik badan hendak pergi menuju kamarnya yang ada di seberang Clara.
Clara masih menatap pria itu, sampai dia melihat Steven berbalik dan kembali menatapnya.
"Kamu baik-baik saja?" Steven tau apa jawaban dari pertanyaannya ini. Clara jelas sedang tidak baik-baik saja. Tapi dia ingin mendengar langsung dari bibir Clara. Dia ingin Clara mengadu padanya. Bercerita padanya seperti yang akan dia lakukan pada Steven satu minggu lalu.
"Ya, Mas. Kenapa?" Jawabnnya yang membuat Steven kecewa karena Clara pasti sudah tidak mempercayainya lagi setelah sikap Steven terakhir kali.
Steven menatapnya dalam. "Ada yang mau kamu bicarakan?"
Clara terdiam.
"Gak ada,"
Steven hanya mengangguk. "Lanjutkan tidurmu ini sudah larut," Dia hendak kembali ke kamar. Mungkin besok dia akan mengajak Clara berbicara lagi tapi gadis itu memanggilnya.
Gantian Clara yang memanggilnya. Dia tidak setega itu membiarkan Steven kelaparan. Ya meskipun pria itu bisa keluar sendiri dan mencari makan tapi Clara merasa bertanggung jawab sebagai seorang istri. "Kamu mau aku masakin apa?"
"Kamu tidak mengantuk?"
"Aku bisa masakin kamu dulu," Balas Clara.
Tadi Steven mampir ke rumah orangtuanya yang menitip dibawakan cake. "Saya dengar dari ibu, kamu yang dulu selalu masakin saya nasi goreng? Kamu bisa masakin itu, kalau tidak keberatan,"
Clara hanya mengangguk dan berlalu ke dapur. Dia mendengar langkah kaki Steven yang mengikutinya. Ditengah kesibukan Clara yang menyiapkan nasi goreng itu, Steven masih memandangi wanita yang telah menjadi istrinya.
Dia baru mendengar tentang kabar buruk yang menimpa Clara satu minggu lalu. Awalnya dia hanya dengar dari ibu Clara yang menelponnya untuk menjaga Clara yang baru pulih.
Steven pun tidak sempat memperhatikan istrinya itu, dia hanya ingat Clara menelponnya beberapa kali, tapi Steven menolak panggilannta lalu Steven akhirnya menyuruh asistennya untuk mencari tau kegiatan Clara satu minggu belakang. Hingga dia mengetahui kejadian yang menimpa Clara dan membuatnya benar-benar merasa bersalah.
Tapi Steven tidak tau harus mengatakannya darimana.
*****
Steven pikir Clara akan langsung ke kamar setelah memasak. Tapi ternyata dia menunggu Steven selesai makan lalu mencuci piring.
Sebenarnya apa permasalahan awal mereka? Semuanya salah Steven. Ia dan Clara tumbuh bersama sejak kecil. Bahkan Steven telah melihat gadis itu sejak bayi. Dia menyayangi Clara, sangat.
Tapi ketika ibunya memberikan lamaran pernikahan pada Clara untuknya, disitu Steven mulai bertingkah jahat. Hal itu dia lakukan agar Clara tidak selalu menuruti permintaan orang lain padanya. Steven ingin mengajarkan Clara bahwa dia berhak menolak sesuatu. Dia punya pendapat yang juga alan di dengarkan tapi dengan polos Clara justru berkata mempercayai orangtuanya yang memilih Steven untuk jadi pasangannya.
Steven rasanya ingin gila. Dia sampai menyusun rencana untuk membuat Clara tidak nyaman dan mulai berani mengucapkan bahwa dia tidak ingin menikahi Steven, tapi justru ketika Steven berusaha merendahkannya dengan selalu melemparkan uang, Clara justru tidak bereaksi apa-apa yang bersikap seperti biasa. Sampai pada satu kejadian dimana Clara menelponnya satu minggu lalu.
Steven akhirnya memulai percakapannya.
"Satu minggu lalu kamu menghubungi saya beberapa kali, ada masalah?" Tanya Steven
Clara menoleh. Tatapannya berubah. Steven menyadari itu. "Bukannya segala masalah bisa selesai dengan uang yang kamu transfer? Begitukan yang mau kamu ajarkan pada saya?" Balas Clara
Steven kembali merasa bersalah. "Saya minta maaf,"
"Untuk apa?" Clara meletakkan piring yang telah ia cuci, mengelapnya hingga kering.
Steven menatapnya penuh penyesalan. "Semuanya. Semua yang terjadi pada kamu sejak jadi istri saya," Kata Steven
Clara tidak bersuara, dia meletakkan piring tersebut kedalam lemari.
"Saya benar-benar minta maaf, Ra," Kata Steven penuh rasa bersalah dan penyesalan terlebih ketika melihat tubuh Clara yang mulai bergetar.
"Ya,"
"Ra, tolong berbicaralah. Kamu bisa marah jika saya sangat kelewatan. Beberapa bulan ini saya baru sadar jika saya memperlakukan kamu dengan buruk,"
"Ya, kamu selalu menganggap ketika aku mulai mencoba mengajak kamu berkomunikasi artinya aku sedang butuh uang? Begitu kan? Aku sudah paham dan tidak keberatan,"
Steven benar-benar tertampar dengan perkataan Clara. Dia begitu jahat.
Ketika Clara hendak melewatinya Steven bergerak menahan tangan gadis itu.
"Saya baru mengetahui apa yang terjadi pada kamu satu minggu lalu." Kata Steven. "Saya minta maaf, Ra. Saya merasa sangat tidak berguna sekarang. Bisa bisanya ketika istri saya meminta bantuan, saya justru tidak ada,"
"Ya, kamu memang kelewatan, Mas," Mata gadis itu berkaca-kaca.
Nafas Clara memburu sambil menatap Steven yang lebih tinggi darinya. Emosinya meledak. "Kamu tau, Mas? Aku hampir mati satu minggu lalu, tapi yang aku dapatkan apa? Aku justru hanya dapat uang dari kamu." Clara kembali terluka mengingat hal itu.
Dia melihat ekspresi bersalah pada wajah Steven saat itu. Dan juga ekspresi khawatir bercampur penyesalan yang begitu besar.
"Satu minggu yang lalu, aku menelpon kamu untuk meminta bantuan karena sedang terdesak. Aku gak minta banyak waktu kamu, tapi aku sangat berharap bahwa saat itu kamu gak menyepelekan aku dan mengangkat telponku. Aku berharap kamu datang menyelamatkan aku. Tapi gak, kamu bahkan menolak panggilan telponku dan kembali mengirimkan uang." Kata Clara.
Steven ingat malam itu dia sedang berada dalam sebuah rapat. Namun dia sempat mengecek ponsel memang untuk menunggu telpon dari Clara karena dia tiba-tiba merasa resah. Tapi ketika akan menjawab panggilan telpon, satu bawahannya justru mengabarkan bahwa salah satu gedung yang akan mereka bangun justru runtuh karena gempa.
Hingga dia menolak panggilan telpon Clara dan mengirimkan uang seperti biasa. Mengabaikan perasaannya yang resah. Diselang waktu itu dia kembali akan menghubungi Clara, tapi ponselnya justru kehabisan ponsel. Hingga dipukul satu malam dia baru berhasil pulang dan hanya berdiri didepan pintu kamar Clara dan memastikan gadis itu berada didalamnya. Lalu pagi-pagi sekalinya dia sudah pergi ke kantor hingga seminggu berlalu tanpa sadar.
"Ra---,"
"Gak! Kamu harus dengerin aku sampai selesai!" Clara mengangkat tangannya menyuruh Steven diam. "Aku gak butuh uang kamu, Mas! Demi Tuhan aku gak butuh uang sebanyak itu dari kamu!" Clara meneteskan air matanya.
"Aku memang mengatakan gak pernah berharap apa-apa dari kamu, tapi bukan berarti kamu bisa mengabaikan tanggungjawab kamu sebagai seorang suami, Mas!" Dada Clara terasa sesak. Dia sakit. Sudah sejak lama memendamnya seorang diri.
"Gak semua permasalahan bisa selesai dengan uang! Kamu tau itu! Tapi kamu tetap melakukannya!" Clara menangis, dia kembali mengingat bagaimana para preman itu hendak menyentuhnya. Dia bahkan sampai jatuh terduduk. Lututnya lemas.
"Malam itu aku ketakutan, satu-satunya orang yang aku pikirkan adalah kamu. Tapi yang kamu lakukan justru mengabaikan aku. Apa menurut kamu semudah itu kata maaf akan berpengaruh, Mas?"
Steven yang ikut berjongkok didepan gadis itu membiarkan Clara menggenggam erat kerah kemejanya. "Aku hampir diperko---,"
Buru-buru Steven mendekap erat tubuh perempuan itu. Dia tidak sanggup mendengarnya. Ksalahannya begitu besar. Satu tindakannya membuat Clara berada dalam bahaya.
"Maaf, Ra. Maafkan Mas, sayang," Steven sakit melihat gadis yang sudah tumbuh bersamanya ini menangis dengan tubuh yang gemetar.
"Maaf, maaf," Tak henti-hentinya Steven menggumamkan kata tersebut sangat mencium rambut Clara. Bahkan air matanya ikut menetes. Dia bisa merasakan bagaimana ketakutan Clara saat itu.
"Aku takut, tapi kamu justru mengabaikan aku," Lirihan Clara terdengar sangat menyakitkan.
Steven kembali meneteskan air matanya. "Maaf, sayang. Mas minta maaf untuk semuanya, Mas janji akan selalu melindungi kamu mulai sekarang,"
*****
Tiga minggu sikap Steven sudah berubah, dia juga menjadwalkan Clara ke psikiater, tapi justru Clara selalu menghindarinya dan tidak mau menemui Steven.
Steven sadar bahwa kesalahannya begitu besar. Clara berhak marah karena Steven tidak bisa melindunginya. Beruntung dia waktu itu membiarkan Steven memakan masakannya. Karena setelah itu Steven bahkan tidak bisa merasa tenang dan selalu memikirkan Clara.
Malam ini mereka menginap di rumah keluarga Steven. Tidak ada yang tau kejadian yang menimpa Clara selain kabarnya yang demam waktu itu.
Saat ini Steven bisa melihat Clara yang dimanja oleh kedua ibunya. Bahkan mama Steven terus menyuapi gadis itu seolah dia anak kecil. Dan ibunya Clara, Hanah terus mengusap kepala Clara yang tidur di pangkuannya. Clara memang kesayangan semua orang. Dan Steven sangat bersyukur memiliki gadis itu. Namun melihat Clara yang tampak tertekan bersamanya Steven harus memikirkan hubungan mereka.
Steven tiba-tiba berlutut didepan ibu Clara. Membuat wajahnya begitu dekat dengan Clara yang membuat gadis itu bergerak canggung dan Hannah yang merasa tidak enak.
"Stev, kamu kenapa?"
"Steven minta maaf karena sering membuat Clara kesulitan Bu,"
"Kamu apain Clara?" Marisa memicing sedangkan Hanah tersenyum lembut.
"Saya menyakiti Clara dan mengabaikannya,"
"Sekarang sudah sadar kan, nak? Tolong bersikap lebih baik pada Clara ya?" Kata Hanah
"Saya pernah membuat Clara dalam situasi yang begitu buruk. Saya benar-benar meminta maaf pada ibu dan ayah," Steven bahkan sampai menangis. "Sekarang Clara membenci saya. Saya sadar kesalahan saya begitu besar, Ibu. Saat ini Clara tertekan hidup bersama saya, tolong jika Clara ingin melepaskan diri dari pernikahan kami jangan pernah menolaknya----, "
"Mas, kamu ngomong apa?" Tanya Clara suaranya bergetar. "Kamu mau menceraikan aku?"
"Gak, sayang, kamu kelihatan tertekan bersama, Mas. Mas mau mendengarkan apapun mau kamu sekarang. Mas mau kamu bahagia,"
"Apa maksudnya ini, Stev, Clara?" Para bapak-bapak yang baru datang menghampiri keduanya dengan bingung.
"Saya sudah menyakiti Clara,"
Lalu Steven merasakan satu tinju dari ayah Clara, Johan. "Kamu apakan Clara?" Papa Steven, Yohan, menatap tajam putranya.
"Aku mengabaikan Clara, Pa. Aku membuatnya dalam bahaya,"
Ketika Yohan beranjak untuk ikut memukul putranya Clara sudah lebih dulu memeluk pria itu.
"Jangan ayah, Pa, Clara sudah memaafkan Mas Stev. Tolong jangan pukul lagi," Clara menangis membuat Steven semakin memeluknya.
"Saya ingin kamu bahagia, Ra. "
"Aku bahagia sama kamu, Mas. Tolong jangan berubah lagi," Berubah disini adalah perubahan sikap yang sudah ditunjukkan pada Clara sejak tiga minggu lalu. Karena diam diam Clara suka sikap Steven yang seperti itu.
"Iya, sayang. Mas menyayangi kamu, semoga kamu mau jadi pasangan hidup Mas selamanya dan tidak menyerah."
"Iya, Mas, aku mau hidup jadi pasangan kamu, "
"Terimakasih, sayang. I love you, "
"Love you too, Mas, "