Suatu sore di warung mie ayam langganan Mbah Siti, udara terasa pengap. Bukan karena kuah kaldu yang mendidih, tapi karena ada sosok bayangan bergoyang di pojok warung, mengenakan kaos oblong *"Bukan Pria Kaleng-Kaleng"* sambil menyanyikan lagu *"Goyang Dombret"* dengan suara fals. Mbah Siti, sang pemilik warung berusia 70 tahun, menghela napas. Ini sudah hari ketiga roh penari dangdut itu nongkrong di kursi plastiknya.
"Ndak, ini bukan hantu biasa. Ini *bajang*," bisik Mbah Siti pada kucing orennya, Joko, yang sedang menjilat kuah mie sisa pelanggan. "Tapi kok bisa *bajang* suka dangdut? Biasanya kan mereka suka terror-teror mistis, bukan nyanyi-nyanyi *playlist* Rhoma Irama?"
Joko mengangguk-angguk seolah paham, padahal matanya tetap fokus pada potongan daging ayam yang nyemplung ke lantai.
Mbah Siti mengambil *mic* karaoke bekas yang selalu ia simpan di bawah meja kasir. Dengan gaya bak penyihir Hogwarts yang salah jurusan, ia mengacung-acungkan *mic* itu ke arah bayangan. "Dasar jin karbitan! Keluar dari warungku, atau kubikin kau nyanyi *"Cinta Sampai Mati"* di kunci F minor!"
*Bajang* itu malah tertawa terbahak-bahak, suaranya mirip speaker Bluetooth yang kejeduk air. "HAHAHA! Mbah tua, aku ini *bajang* generasi milenial! Gak takut mantra-mantra kuno! Kecuali… kau bisa adu *duet* dangdut sama aku!"
Mbah Siti mengernyit. Seumur hidupnya, ia hanya pernah menyanyi di kamar mandi, dan itu pun selalu membuat tetangga sebelah mengira ada kucing kesetrum. Tapi demi warungnya, ia setuju. "Satu syarat: kalau aku menang, kau ganti jadi *delivery guy* Gojek dan antar pesanan ke pelangganku yang malas keluar rumah!"
*Bajang* itu mengangguk, lalu *playlist* dangdut pun dimulai.
Pertandingan dimulai. *Bajang* menyanyikan *"Kejora"* dengan koreografi gemulai alay, sementara Mbah Siti membalas dengan *"Sakitnya Tuh Di Sini"* sambil *joget* ala nenek-nenek kena rematik. Pelanggan yang datang mengira ini pertunjukan *stand-up comedy* dadakan, sampai ada yang live di Instagram dengan hashtag *#NenekVsHantuDangdut*.
Tiba-tiba, Joko si kucing melompat ke meja, menginjak tombol *"echo"* di *mic* karaoke. Suara Mbah Siti tiba-tiba bergema 10 kali lebih keras, fals, dan *out of tune*. *Bajang* itu menjerit-jerit, tubuhnya bergetar seperti mesin cuci yang kelebihan beban. "STOOOOP! Suaramu… itu… lebih mengerikan dari azab kubur!"
Mbah Siti tersenyum kecut. "Makanya jangan tantang nenek-nenek yang hobi karaokean pakai *speaker* rusak!"
*Bajang* itu pun menguap menjadi asap, tapi sebelum hilang, ia berteriak: "Nanti malam aku balik lagi! Bawa *sound system* lebih bagus! Aku mau *rematch*!"
Sejak saat itu, warung Mbah Siti ramai dikunjungi bukan hanya karena mie ayamnya, tapi juga karena "pertunjukan hantu dangdut" tiap Jumat malam. Kadang, kalau lagi sepi, Mbah Siti dan *bajang* itu malah duet *"Bintang di Surga"* sambil Joko si kucing jadi *backing vocal*.
Dan begitulah, roh penari dangdut itu akhirnya lebih memilih jadi *guest star* tetap di warung mie daripada gentayangan. Katanya, "Di sini aku bisa *exist* tanpa harus bikin orang takut. Lagian, Mbah Siti itu lebih seram kalau nyanyi daripada hantu mana pun!"