Hening malam seakan ikut merasakan pedih yang mengiris hati Nayla. Wanita itu duduk di sudut kamar sempitnya, menahan air mata yang hampir tumpah. Sudah bertahun-tahun ia hidup sebagai istri, namun posisinya tak ubahnya seorang pembantu di rumah suaminya.
Sejak hari pertama pernikahannya dengan Arman, ia harus menghadapi perlakuan dingin dari ibu mertua dan ipar-iparnya. Harapan akan rumah tangga bahagia sirna sejak hari pertama ia melangkah ke rumah itu. Pekerjaan rumah dari pagi hingga malam menjadi tanggung jawabnya. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, bahkan melayani permintaan mereka yang tiada habisnya.
"Nayla! Mana teh hangatku?" suara nyaring ibu mertua terdengar dari ruang tamu.
"Iya, Bu. Sebentar lagi," jawab Nayla sambil bergegas.
Namun, belum sempat ia menyajikan teh, sebuah bentakan keras membuatnya terlonjak.
"Lama sekali kau! Dasar lamban!" bentak sang mertua sembari menatapnya dengan penuh kebencian.
Setiap hari, Nayla harus menerima caci maki dari mereka. Arman, suaminya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, justru tak pernah membela. Ia hanya diam atau, lebih buruk, ikut menyalahkannya.
"Kamu memang terlalu lemah, Nayla. Makanya Ibu kesal sama kamu," ucap Arman saat Nayla mengeluhkan perlakuan keluarganya.
Malam itu, tubuhnya lelah, hatinya lebih lelah lagi. Tetapi ia tak punya tempat mengadu. Orang tuanya telah meninggal dunia, dan saudara-saudaranya jauh. Ia bertahan, berharap suatu hari nanti Arman akan berubah, bahwa keluarganya akan menerima dan menyayanginya.
Namun, harapan itu semakin lama semakin pudar.
Suatu hari, ketika ia sedang menyetrika baju, tiba-tiba iparnya, Rina, datang dengan ekspresi marah.
"Baju ini gosong sedikit! Kamu memang nggak bisa apa-apa! Dasar bodoh!" teriaknya sambil menarik rambut Nayla dengan kasar.
Air mata Nayla jatuh tanpa bisa dibendung. Rasa sakit di kepalanya tak seberapa dibandingkan dengan luka di hatinya. Ia tidak bisa lagi berdiam diri.
Penderitaan Nayla semakin menjadi ketika suatu malam, dalam keadaan emosi, Arman menendangnya dengan kasar hingga ia terjatuh keras ke lantai. Rasa sakit menjalar ke perutnya, dan seketika darah mengalir di antara pahanya. Jeritan Nayla menggema di ruangan itu, tetapi tak ada yang peduli.
Malam itu, ia kehilangan bayi yang selama ini dinantikannya. Bayi yang bahkan belum sempat ia lihat, telah direnggut darinya dengan cara paling menyakitkan. Tetapi bagi Arman dan keluarganya, itu bukan masalah besar.
"Dasar perempuan lemah! Bahkan menjaga anak sendiri saja tidak bisa!" ejek ibu mertua tanpa sedikit pun rasa simpati.
Tak hanya kehilangan anak, Nayla juga tidak pernah mendapatkan perhatian selayaknya seorang istri. Keperluan sehari-harinya tidak pernah diperhatikan. Baju lusuh, tubuh kurus karena sering tidak makan, dan wajah pucatnya menjadi bukti bahwa ia bukan hanya diabaikan, tetapi juga sengaja dibiarkan menderita.
Malam itu, setelah semua orang terlelap, Nayla mengemasi barang-barangnya. Ia melihat wajah Arman yang tertidur pulas di ranjang, seakan tak peduli dengan penderitaannya selama ini.
"Aku tidak akan hidup seperti ini selamanya," gumamnya lirih.
Dengan langkah pelan, ia keluar dari rumah itu, membawa serta harga dirinya yang telah lama diinjak-injak. Ia tak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang pasti, ia tidak akan kembali ke tempat yang hanya memberinya luka.
Namun, dunia luar tak lebih baik dari rumah yang baru saja ia tinggalkan. Orang-orang mulai berbisik di belakangnya, menghakimi keputusannya.
"Lihat itu, Nayla! Tidak becus jadi istri!" bisik seorang tetangga.
"Pantas saja ditinggalkan suaminya, bahkan anaknya pun tidak bisa dijaga," kata yang lain dengan nada meremehkan.
Nayla menundukkan kepalanya, menahan air mata yang hendak jatuh. Ia tahu, tak ada yang akan membelanya. Namun, meski dunia membencinya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan. Karena meski sendiri, ia lebih memilih kebebasan daripada terus hidup dalam penderitaan.