Riyono Harianto adalah mahasiswa kosan yang terkenal paling sial. Hari-harinya selalu diisi dengan kejadian konyol, mulai dari jatuh di got, tersedak bakwan, sampai ketinggalan celana saat lari dari kejaran anjing. Namun, kejadian malam ini benar-benar di luar nalar.
Malam itu, Riyono sedang pulang dari warung setelah membeli mi instan. Saat masuk ke kamarnya, ia tidak sadar kalau pintu belum terbuka sepenuhnya. Ia berjalan cepat sambil menguap, dan…
JLEB!
“AAAHHH, TITIDKU KEJEPIT PINTU!!”
Riyono langsung jatuh terduduk sambil meratap kesakitan. Namun, sebelum ia bisa mengutuk nasibnya, tiba-tiba terdengar suara serak di telinganya.
"Mas… akhirnya aku bisa merasakan… penderitaan… manusia…" bisik suara misterius.
Dengan menahan nyeri, Riyono menoleh dan melihat sesosok hantu dengan wajah pucat tersenyum penuh kemenangan.
"Hantu?!" Riyono kaget.
"Terima kasih, mas. Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku bisa berbagi rasa sakit… Titidmu telah membuka portal antara dunia kita."
Riyono pucat. “Hah?! Maksud lu, titid gue jadi tumbal dunia lain?!”
Hantu itu mengangguk. "Betul sekali. Dan kini, setiap kali kau merasa sakit di bagian itu, aku akan semakin kuat. HAHAHA!"
Riyono yang masih kesakitan segera bangkit. "Tunggu! Berarti kalau aku nggak sakit lagi, lu bakal lemah?!"
Hantu itu terdiam. "Ehm… secara teori, iya."
Riyono langsung mengambil bantal dan mengempaskannya ke pangkal pahanya.
"ARGH!" teriak Riyono, lalu langsung berteriak lagi, "AAAAAHHH!!!" karena ternyata itu tidak membantu sama sekali.
Sementara itu, hantu di depannya malah makin tertawa puas. "Hahaha! Silakan, mas. Semakin kau panik, semakin aku kuat!"
Namun, saat itu juga, pintu kamar Riyono terbuka, dan teman kosannya—Angga, Udin, dan Dika—berkumpul di depan pintu dengan wajah penuh pertanyaan.
"Bro… kenapa lo mendekap selangkangan sambil teriak-teriak?" tanya Angga.
"Dan… lo ngomong sama siapa?" tambah Udin.
Riyono terdiam. Ia menoleh ke hantu itu, tapi…
Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Ia baru sadar… hantu itu ternyata cuma muncul dalam penderitaannya.
Malam itu, Riyono merenung. Selain nyeri yang tak kunjung reda, ia juga sadar satu hal:
Ia harus lebih hati-hati dengan pintu.