Zoey dan Pedero atau biasanya dipanggil Ndero aku engga ngerti kenapa namanya dia bisa Ndero padahal engga ada unsur N-nya di namanya, aneh sih, tapi justru itu yang bikin namanya unik.
Pedero dan Zoey bertemu sejak mereka masih kecil. Dari pertama kali Zoey pindah ke lingkungan baru, Pedero-lah yang pertama ngajak main. Mereka tumbuh bersama—lari-larian di taman, berbagi es krim, sampai bertengkar cuma gara-gara hal sepele.
Tapi seiring waktu berjalan, mereka tetap tak terpisahkan di manapun mereka berada pasti selalu bersama. Suatu hari Pedero atau Ndero sedang belajar dalam kelas bersama teman-temannya yah... Sekali lagi Zoey datang membawa es krim kesukaannya Ndero, "Ndero… aku bawa es krim kesukaanmu, loh!" Zoey menghampiri Ndero yang sedang bercanda dengan teman-temannya sambil belajar. "Heh… kamu lagi, kamu lagi. Mau apa?" Pedero mendesah. "Hari ini aku nggak ada waktu buat main, ya, Zoey." Ndero langsung pasang muka melas, "Yee… Ndero, aku cuma mau berbagi makanan. Mau nggak es krim coklat topping kacang?" bisiknya.
" Zo... Aku tau kamu hanya mau basa - basi lewat ngasih makan aja " Ndero membalikkan wajah, berusaha menahan diri agar nggak kelewatan. Padahal aslinya? Salting. Tapi tentu aja, gengsinya nggak bakal ngebiarin itu ketahuan. " Ye... Dro, gua belum selesai ngomong padahal. Langsung aja di potong!" Zoey memasang muka cemberut ke arah Ndero. " Zo, hari ini aku lagi belajar sama teman. Oke? Kalau kamu mau ngasih makan, taruh aja di meja. " Ndero memang anak tengil, tapi kalau engga tengil, bukan Ndero namanya.
" Dro, gue cuma mau kamu! Kamu ngerti nggak sih?!" Zoey tiba-tiba berteriak, bikin seluruh kelas mendadak sunyi. Seketika, teman-teman sekelas langsung heboh. "Ciee… Ndero punya pacar ya!" Salah satu teman cewek berseru, jelas-jelas iri. "Kasihan loh pacarnya, demi kamu dia sampai malu-maluin diri sendiri." Walau begitu, si cewek ini sebenarnya suka sama Ndero juga. Tapi dia sadar, saingannya berat—Zoey. Apalagi bukan cuma Zoey, tapi masih banyak lagi yang naksir Ndero, termasuk cewek-cewek berkelas. Jadi, ya… dia pendam aja.
" Heh... Ada yang salting nih..." Suara usil datang dari teman dekat Ndero, Koishi—atau biasa dipanggil Koi "Asli deh, Koi. Jijik gue ngeliat lu." Ndero mendelik, berusaha menutupi wajahnya yang mulai panas. "Gue nggak salting, cuman ya… gitu deh." "Alahhh… bilang aja ke kita kalau kamu suka sama dia, Dero." Koi makin memanas-manasi. Ndero langsung gelagapan, wajahnya semakin memerah. "Ahh… udahlah, Koi. Gue nggak mood."
Dia buru-buru menunduk, pura-pura sibuk dengan bukunya. Tapi satu kelas udah keburu nangkep ekspresinya.
~~~~Di kelas Zoey~~~~
" Hah... sebel aku sama Ndero! Sok cool banget!" Zoey menghentikan langkahnya menuju tempat duduk dengan wajah kesal.
"Kenapa? Marah sama si itu lagi ya?" sahut Jeje, teman ceweknya yang udah hafal banget sama drama Zoey dan Ndero.
"Engga marah, cuman kesel aja! Dia tuh nggak pernah peka sama sekali!" Zoey menghela napas panjang, wajahnya cemberut.
Jeje tertawa kecil. "Namanya juga cowok, Zo. Kalau nggak gitu ya… gimana lagi?"
Zoey mendesah, lalu melempar tasnya ke meja dengan kasar. Kenapa sih Ndero bisa sepolos itu?!
Belum sempat Zoey lanjut curhat, tiba-tiba suara yang terlalu familiar menyela obrolannya.
"Hai!! Nona manis! Apa kabar? Kok cemberut sih?"
Zoey otomatis menoleh dengan malas. Nate.
Laki-laki yang dari dulu selalu ngerecokin hidupnya. Yang selalu berusaha cari perhatian, tapi ya gitu… nggak pernah diladenin.
Zoey menatap Nate tanpa ekspresi. Dalam hati, (Kalau dia bukan anak guru, udah gua pancal kepalanya.)
Tapi tentu aja, dia harus jaga sikap. Jadi, dia memaksakan senyum. "Baik kok, Nat. Kalau kamu gimana?"
"Baiiik, apalagi sekarang bisa ketemu kamu," kata Nate dengan senyum lebar.
Jeje yang duduk di sebelah Zoey langsung cekikikan kecil, berusaha nahan tawa. Dia tahu banget Zoey udah muak.
"Zo, lo kenapa sih nggak sekalian aja nerima Nate?" bisik Jeje pelan. "Nggak capek ditaksir terus?"
Zoey mendelik. "Heh, lo mau tukeran posisi sama gua?"
Jeje langsung angkat tangan. "Oke, paham. Gue diem."
Sementara itu, Nate masih berdiri di depan Zoey dengan ekspresi penuh percaya diri.
"Eh, Zo… abis kelas ini lo kosong, kan? Gimana kalau kita jalan bareng?" tanyanya dengan nada santai.
Zoey baru aja mau nolak, tapi tiba-tiba…
"Dia nggak bisa."
Suara itu…
Zoey dan Nate sama-sama menoleh. Ndero berdiri di depan pintu kelas, bersandar di kusen dengan ekspresi datar.
"Tuh anak kenapa?" gumam Jeje pelan, matanya berbinar-binar karena drama di depan matanya.
Zoey terkejut. "Loh, Ndero? Ngapain lo di sini?"
Ndero melangkah masuk dengan santai. "Nggak ngapain-ngapain. Cuman mau bilang kalau lo udah janji mau nemenin gue nanti. Jadi, lo nggak bisa pergi sama Nate."
Zoey membelalakkan mata. Janji?! Janji apaan?!
Sementara itu, Nate menyipitkan mata. "Oh, gitu ya?"
"Ya, gitu." Ndero menatap Nate, lalu nyengir kecil. "Kenapa? Ada masalah?"
Suasana kelas mendadak sunyi. Jeje langsung pasang ekspresi kepo tingkat dewa.
Zoey masih bengong. Ndero… kenapa tiba-tiba gini?
Zoey masih terpaku di tempatnya, mencoba mencerna apa yang baru saja Ndero bilang. Janji? Janji apaan?
Nate, yang dari tadi diam, akhirnya tertawa kecil. "Oh? Gue baru tau kalau Zoey udah punya janji sama lo, Ndero." Tatapannya tajam, tapi bibirnya tetap menyunggingkan senyum.
Ndero, seperti biasa, tetap santai. "Yah, mungkin lo nggak tau karena dia nggak anggap lo penting buat dikasih tau."
Zoey langsung menoleh ke arah Ndero dengan tatapan shock. INI ANAK NGOMONG APAAN?!
Sementara itu, teman-teman di kelas mulai ribut, berbisik-bisik satu sama lain. Bahkan Jeje udah pasang ekspresi berbinar, kayak lagi nonton drama gratis.
"Lo yakin?" Nate akhirnya buka suara lagi. Tapi kali ini, suaranya lebih rendah. Lebih serius.
Zoey bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba muncul di antara dua cowok ini. Dua-duanya keras kepala. Dua-duanya nggak mau kalah.
"Yakin," jawab Ndero santai, tangannya masuk ke saku celana. "Lagipula, Zoey lebih suka sama gue. Bener, kan, Zo?"
Zoey membelalakkan mata. "Hah?!"
"Kamu suka sama gue, kan?" ulang Ndero, kini langsung menatap mata Zoey.
Kelas langsung hening.
Zoey bisa merasakan wajahnya mulai panas. Sial.
Nate terkekeh. Tapi matanya nggak menunjukkan kalau dia senang. "Zoey, lo nggak harus dengerin dia kalau itu bukan yang lo mau."
Zoey menelan ludah. Dia tahu ini situasi genting. Satu jawaban dari dia bisa nentuin semuanya.
Mau nolak Ndero? Tapi kalau dia beneran suka, kenapa harus bohong?
Mau nolak Nate? Tapi kalau dia marah, gimana?
Zoey menggigit bibir bawahnya. Dia bisa merasakan jantungnya berdetak kencang.
Zoey menarik napas panjang, mencoba nahan emosi yang udah hampir meledak.
"Lo berdua ngapain sih ribut di depan gue kayak gini?! Lo pikir gue apaan? Piala yang bisa lo perebutin?!"
Nate dan Ndero langsung diam. Mereka nggak nyangka Zoey bakal meledak kayak gini.
Zoey melotot ke dua cowok itu, tangannya udah mengepal di samping tubuhnya. "Kalau lo berdua cuma mau adu ego, mending nggak usah libatin gue!"
Setelah ngomong itu, Zoey langsung membalikkan badan.
"Zo, tunggu—"
Zoey nggak peduli. Dia udah muak. Tanpa banyak bicara, dia langsung jalan keluar kelas, menarik tangan Jeje buat ikut bersamanya.
"Eh, Zo! Pelan-pelan, napa!" Jeje setengah berlari ngikutin langkah Zoey yang buru-buru.
Begitu Zoey pergi, suasana kelas berubah hening. Semua mata tertuju ke Ndero dan Nate, yang masih berdiri berhadapan.
"Bagus," kata Nate akhirnya, nada suaranya terdengar sinis. "Sekarang dia marah sama kita berdua."
Ndero mendengus, melipat tangan di dadanya. "Ya salah lo juga, bro. Kenapa harus sok jadi pahlawan di depan dia?"
Nate menyeringai. "Kenapa? Lo takut saingan?"
Ndero mengerutkan dahi, matanya menajam. "Gue nggak takut. Gue cuma nggak suka lo main kotor."
"Main kotor?" Nate tertawa sinis. "Lo yang tiba-tiba datang dan ngaku-ngaku kalau Zoey punya janji sama lo. Itu nggak kotor?"
Ndero menatapnya tajam. "Gue nggak bohong. Dia emang punya janji sama gue."
Nate mendengus. "Iya? Atau lo cuma takut kalau Zoey lebih milih gue?"
Mata Ndero sedikit menyipit. Ada sesuatu dalam tatapan Nate yang bikin dia nggak nyaman. Bukan karena saingan. Tapi karena dia tahu Nate juga nggak main-main soal ini.
Dan itu... sedikit bikin dia goyah.
Di lorong sekolah, Zoey bersandar ke dinding, menghembuskan napas panjang. "Gila... gue beneran pengen jitak kepala mereka berdua."
Jeje terkekeh sambil nyodorin minuman ke Zoey. "Minum dulu, Zo. Takut lo pingsan kebanyakan emosi."
Zoey mengambil minuman itu dan menyesapnya. "Gue nggak ngerti, Je. Kenapa mereka harus berantem soal gue? Kenapa nggak bisa kayak biasa aja?"
Jeje mengangkat bahu. "Karena mereka sama-sama suka sama lo?"
Zoey mendesah, menutup wajahnya dengan tangan. "Dan itu bikin gue makin pusing."
Jeje menepuk pundak Zoey pelan. "Lo harus milih, Zo."
Zoey menurunkan tangannya, menatap Jeje dengan frustasi. "Dan kalau gue salah pilih?"
Jeje tersenyum. "Dengerin hati lo. Jawabannya selalu ada di situ."
Zoey terdiam. Kata-kata Jeje barusan nyangkut di pikirannya.
~Di kelas ~~
Nate dan Ndero masih saling bertatapan tajam di dalam kelas yang mulai sepi. Beberapa murid yang masih ada di dalam hanya bisa saling berbisik, merasa seperti sedang menonton duel tak kasat mata di antara dua laki-laki yang sama-sama keras kepala.
"Apa lo pikir lo lebih baik dari gue?" Nate akhirnya membuka suara lagi, suaranya rendah dan penuh ketegangan.
Ndero mendengus. "Gue nggak bilang gitu. Tapi gue tau satu hal, Zoey lebih nyaman sama gue daripada sama lo."
Nate terkekeh kecil, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, mempersempit jarak antara mereka berdua. "Nyaman? Lo yakin? Atau jangan-jangan lo takut kalau dia sebenernya lebih milih gue?"
Ndero mengepalkan tangannya. Dia bisa saja meninju Nate saat itu juga kalau dia mau. Tapi dia menahan diri. Dia tahu, kalau dia kalah emosi, itu artinya Nate menang.
"Terserah lo mau percaya apa," jawab Ndero akhirnya, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. "Tapi satu hal yang jelas, Zoey bukan barang yang bisa lo rebut."
Nate menyeringai. "Gue nggak merebut apa pun, Ndero. Gue cuma kasih pilihan ke Zoey. Dan kalau lo takut, itu masalah lo, bukan gue."
Seketika itu juga, Ndero mencengkeram kerah seragam Nate.
"Lo mau cari ribut, Nat?" bisiknya tajam.
Nate tidak mundur. "Kalau itu yang lo mau."
Keduanya sudah siap bertengkar, tapi sebelum pukulan bisa dilayangkan, seorang guru masuk ke kelas. "Kalian berdua! Apa yang kalian lakukan?!"
Mereka langsung berpencar, mencoba terlihat seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi ketegangan masih tersisa di udara. Ini belum selesai.
Setelah pertengkaran di kelas tadi, Nate dan Ndero sama-sama sudah tahu kalau masalah ini belum selesai. Tapi sebelum mereka bisa adu mulut lebih jauh, seorang guru datang dan langsung menyuruh mereka ke ruang guru.
Sekarang, mereka duduk berhadapan di depan meja Pak Ronald, guru yang dikenal paling sabar di sekolah—tapi juga yang paling galak kalau kesabarannya habis.
Pak Ronald menatap mereka berdua dengan ekspresi lelah. "Jelaskan. Apa yang terjadi?"
Nate dan Ndero saling pandang sebentar sebelum mulai bicara... **di saat yang bersamaan.**
"Pak, dia mulai duluan—"
"Dia yang tiba-tiba marah, saya cuma—"
"Dia yang nyulut emosi, Pak, saya cuma bela diri—"
Pak Ronald mengangkat tangan, meminta mereka diam. "Satu-satu."
Nate menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai. "Pak, saya cuma ngobrol biasa sama Zoey. Tapi tiba-tiba dia datang dan langsung sok ngatur."
Ndero langsung mendelik. "Ngatur? Gue cuma bilang kalau dia udah ada janji sama gue! Itu bukan ngatur, itu ngejelasin fakta!"
Nate tertawa kecil. "Fakta? Atau lo cuma takut kalau Zoey lebih suka gue?"
Ndero mengepalkan tangannya. "Gue nggak takut, tapi lo yang nggak ngerti batasan."
Pak Ronald menghela napas panjang. "Jadi ini soal cewek?"
Mereka berdua langsung terdiam.
Pak Ronald memijat pelipisnya, terlihat makin stres. "Saya sudah lama jadi guru, tapi baru kali ini lihat dua murid yang kayak gini. Berantem di kelas gara-gara cewek, sekarang malah bikin saya sakit kepala."
Nate dan Ndero tetap diam, tapi masing-masing masih menyimpan api di dalam diri mereka.
"Baik," kata Pak Ronald akhirnya. "Kalian mau berantem? Silakan. Tapi bukan dengan tangan, bukan dengan kata-kata. Kalian berdua saya hukum membersihkan perpustakaan selama seminggu. Bersama-sama."
Mata mereka langsung membelalak. "APA?!"
Pak Ronald tersenyum tipis. "Kalau kalian masih bisa berantem setelah seminggu kerja sama, berarti kalian memang nggak cocok jadi teman. Tapi kalau kalian bisa tahan, siapa tahu malah jadi sahabat?"
Ndero mendengus. "Gue nggak butuh sahabat kayak dia."
Nate menyeringai. "Sama, gue juga nggak."
Pak Ronald hanya tersenyum tenang. "Kalian akan lihat nanti."
Dan begitulah, dua cowok yang tadinya hampir baku hantam di kelas, sekarang harus menghabiskan seminggu penuh bersama-sama di perpustakaan.
Hari pertama di perpustakaan, suasana sangat tegang. Ndero dan Nate bekerja dalam diam, tidak ada yang mau bicara lebih dulu.
Hari kedua, mereka mulai saling sindir.
"Lo nggak bosen hidup lo cuman muter-muter di sekitar Zoey?" Nate membuka pembicaraan saat mereka sama-sama merapikan rak buku.
Ndero mendelik. "Lo nggak bosen ngejar-ngejar dia padahal dia jelas-jelas nggak suka sama lo?"
Hari ketiga, mereka mulai kelelahan.
"Bro… lo sadar nggak, perpustakaan ini gede banget?" Nate mengeluh sambil meregangkan punggungnya.
"Ya, makanya jangan bikin masalah kalau nggak mau dihukum," balas Ndero, tapi kali ini nadanya lebih lelah daripada sinis.
Hari keempat, mereka mulai kerja sama tanpa sadar.
"Ambilin buku di atas, gue nggak nyampe," kata Nate.
Ndero menaikkan alis. "Minta tolong kek, jangan nyuruh."
Nate mendengus. "Please, Yang Mulia."
Ndero mendecak, tapi tetap membantu.
Hari kelima, mereka mulai ngobrol beneran.
"Lo suka Zoey dari kapan?" tanya Nate tiba-tiba.
Ndero terdiam sebentar sebelum menjawab. "Udah lama. Dari sebelum lo datang."
Nate mengangguk pelan. "Pantes."
"Lo?" tanya Ndero balik.
"Sejak pertama kali gue lihat dia," jawab Nate santai. "Gue suka cewek yang keras kepala."
Ndero tersenyum kecil. "Gue juga."
Hari keenam, mereka hampir lupa kalau mereka musuhan.
"Kalau Zoey nolak kita berdua, gimana?" tanya Nate, terdengar setengah bercanda.
Ndero pura-pura mikir. "Gue bakal terima. Tapi lo bakal maksa, kan?"
Nate tertawa kecil. "Mungkin."
Hari ketujuh, hukuman mereka berakhir.
Saat mereka keluar dari perpustakaan, mereka sama-sama terdiam sebentar.
"Jadi…" kata Nate akhirnya.
"Jadi?" sahut Ndero.
"Lo masih benci gue?"
Ndero berpikir sebentar. "Nggak juga. Tapi gue masih saingan sama lo."
Nate menyeringai. "Sama. Tapi setidaknya sekarang kita bisa saingan dengan cara yang lebih sehat."
Ndero mengangguk. "Lo bakal nyerah kalau Zoey milih gue?"
Nate menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas. "Gue bakal terima. Tapi gue nggak akan mundur sebelum dia kasih jawaban."
Ndero tersenyum kecil. "Fair enough."
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka saling kenal, mereka berjabat tangan.
Tapi tentu saja, persaingan mereka belum berakhir.
Karena mereka berdua masih punya satu tujuan yang sama: memenangkan hati Zoey.
Setelah insiden pertengkaran di kelas dan hukuman di perpustakaan, hubungan antara Zoey, Ndero, dan Nate semakin rumit. Terutama setelah Zoey memilih pergi dan menghindari mereka berdua.
Namun, sesuatu yang lebih besar terjadi—Zoey jatuh sakit.
Hari itu, Zoey sebenarnya sudah merasa nggak enak badan sejak pagi. Tapi dia tetap memaksakan diri masuk sekolah. Setelah semua drama yang terjadi, pikirannya terlalu penuh. Dia nggak bisa diam di rumah sendirian, takut malah makin overthinking.
"Zo, lo pucat banget," Jeje berbisik saat mereka duduk di kantin.
"Enggak, gue baik-baik aja," Zoey menjawab sambil menyandarkan kepalanya ke meja.
Tapi beberapa menit kemudian, tubuhnya melemas dan…
"Zoey!" Jeje menjerit saat Zoey tiba-tiba pingsan di kursinya.
Sekolah mendadak panik. Beberapa siswa berlari mencari guru, sementara Jeje dan beberapa teman lain mencoba membangunkan Zoey. Tapi Zoey tetap tak sadarkan diri.
Dalam hitungan menit, ambulans datang dan membawanya ke rumah sakit.
Ketika berita tentang Zoey sampai ke telinga Ndero dan Nate, reaksi mereka hampir sama: kaget dan panik.
Nate langsung berlari keluar kelas tanpa pikir panjang, bahkan meninggalkan tugas hukumannya. Sementara Ndero, yang awalnya mencoba tetap tenang, akhirnya ikut bergegas setelah mendengar Jeje menangis di telepon.
Begitu sampai di rumah sakit, mereka berdua sama-sama terdiam di depan pintu ruang UGD.
"Kenapa lo di sini?" tanya Nate, tatapannya tajam."Harusnya gue yang nanya," balas Ndero.
Mereka berdua menatap pintu ruangan itu dengan perasaan yang sama—cemas. Untuk pertama kalinya, mereka merasa bukan sebagai saingan, tapi sebagai dua orang yang sama-sama takut kehilangan seseorang yang mereka sayang.
Zoey terbangun dengan cahaya putih menyilaukan di atasnya. Kepalanya berat, tubuhnya terasa lemas. Dia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menyadari bahwa dia ada di rumah sakit.
"Ndero?" gumamnya pelan, suaranya serak.
Dia menoleh dan melihat seseorang duduk di sofa kecil dekat ranjangnya. Tapi itu bukan Ndero. Itu Nate.
Nate menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak. Ada rasa bersalah, ada kekhawatiran, dan ada sesuatu yang tidak bisa Zoey artikan."Lo akhirnya bangun," katanya pelan.
Zoey mengerutkan dahi. "Gue… kenapa?"
"Lo pingsan di kantin," kata Nate. "Dokter bilang lo kelelahan dan kurang istirahat. Lo juga kurang makan, Zo."
Zoey menghela napas. "Oh…"
Sejenak mereka terdiam.
Lalu, pintu terbuka, dan Ndero masuk.
Tatapan Nate dan Ndero langsung bertemu.
Zoey bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
"Lo ngapain di sini?" suara Ndero terdengar dingin."Gue yang bawa Zoey ke rumah sakit," jawab Nate santai, tapi matanya menantang.
Ndero tidak langsung merespons. Dia hanya berjalan mendekati ranjang Zoey, duduk di tepinya, dan menatapnya.
"Lo nggak apa-apa?" suaranya berubah lebih lembut saat berbicara dengan Zoey.
Zoey mengangguk pelan. "Cuman pusing dikit."
"Lo jangan maksa diri, bego," kata Ndero, matanya masih penuh kekhawatiran.
Zoey tertawa kecil. "Lo juga sering gitu, Dro."
Nate menghela napas, lalu berdiri. "Gue pergi dulu. Lo istirahat ya, Zo."Tapi sebelum dia pergi, dia menoleh ke arah Ndero dan berkata pelan, "Ini belum selesai."
Ndero hanya menatapnya datar. "Gue tau."
Nate keluar dari kamar.
Zoey menatap Ndero. "Dro… lo sama Nate…"
Ndero menatapnya dalam. "Lo suka dia?"
Zoey terdiam.
"Kalau lo suka, bilang aja," kata Ndero lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu dalam suaranya. Sesuatu yang terdengar… rapuh.
Zoey menatap matanya. Dan saat itu, dia tahu jawabannya.
"Enggak, Dro," katanya pelan. "Gue suka lo."
Ndero terdiam. Lalu, perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya.
"Bagus," katanya. "Karena gue juga suka lo."
Dan saat itu, dunia terasa sedikit lebih ringan bagi Zoey.
Baik, aku akan kembangkan bagian tentang Zoey di rumah sakit dan proses pemulihannya, serta bagaimana Nate bertemu dengan Naya. Aku juga akan membangun dinamika mereka agar lebih menarik dan hidup, seperti yang kamu inginkan. Aku bakal pastikan ceritanya tetap punya emosi yang kuat dan terasa alami.
Bab : MASA PEMULIHAN
Zoey terbaring di ranjang rumah sakit, matanya mengerjap pelan saat cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai jendela. Kepalanya masih sedikit pusing, tapi yang lebih mengganggu adalah rasa sesak di dadanya—bukan karena sakit, tapi karena
Tenang, aku buat ulang kelanjutannya. Aku bakal kembangkan pemulihan Zoey dan pertemuan Nate dengan Naya, serta membangun dinamika mereka seperti Ndero dan Zoey. Tunggu sebentar ya!
Zoey terbaring di ranjang rumah sakit, matanya mengerjap pelan saat cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai jendela. Kepalanya masih sedikit pusing, tapi yang lebih mengganggu adalah rasa sesak di dadanya—bukan karena sakit, tapi karena kepalanya penuh dengan masalah yang belum selesai.
Nate dan Ndero… kenapa mereka selalu bertengkar soal dirinya? Kenapa nggak bisa damai aja?
Pintu kamar rumah sakitnya tiba-tiba terbuka. Jeje masuk sambil membawa kantong plastik berisi makanan. "Gue bawa bubur! Lo pasti belum makan, kan?"
Zoey menghela napas panjang. "Gue nggak lapar."
Jeje mendelik. "Lo nggak boleh manja, Zo. Lo masuk rumah sakit gara-gara stres dan kecapekan. Minimal makan dulu!"
Zoey meringis kecil. "Gue nggak stres, cuma… ya, kepikiran aja."
Jeje menghela napas, lalu duduk di kursi sebelah ranjang Zoey. "Gue ngerti lo pusing gara-gara dua bocah tengil itu. Tapi yang lebih penting sekarang adalah lo sembuh dulu. Mereka berdua bisa tunggu."
Zoey terdiam. Jeje benar. Saat ini, dia butuh waktu buat dirinya sendiri.
#### **Sementara Itu, di Tempat Lain…**
Nate duduk sendirian di kafe dekat sekolah, menatap kosong ke luar jendela. Dia masih kepikiran Zoey. Sejak kejadian di sekolah dan pertengkarannya dengan Ndero, dia merasa ada sesuatu yang mulai berubah dalam hidupnya.
"Permisi, ini pesanan kamu," seorang pelayan tiba-tiba menyodorkan secangkir kopi ke mejanya.
Nate mengangkat kepala. Matanya langsung menangkap sosok cewek yang berbeda dari biasanya. Rambut hitamnya dikuncir tinggi, dengan beberapa helai jatuh di samping wajahnya. Senyum cewek itu ramah, tapi sorot matanya tajam—seolah bisa membaca isi kepalanya.
Nate mengernyit. "Lo siapa?"
Cewek itu menaikkan alis. "Nametag gue ada di sini," katanya sambil menunjuk papan nama di dadanya. **"Naya."**
Nate membaca namanya sekilas, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. "Lo kerja di sini?"
Naya mengangguk. "Iya. Lo sering datang ke sini, ya?"
Nate mengangkat bahu. "Kadang. Lagi nggak ada tempat buat nyantai aja."
Naya menatapnya sebentar, lalu menaruh nampan di meja. "Lo kelihatan kayak orang yang punya banyak masalah."
Nate terkekeh sinis. "Lo baca pikiran gue?"
Naya tersenyum kecil. "Nggak perlu baca pikiran. Cukup lihat dari cara lo menatap kosong ke luar jendela."
Nate diam. Dia nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menarik dari Naya. Cewek ini beda. Nggak seperti cewek-cewek lain yang biasanya mendekatinya karena statusnya.
"Lo kerja di sini tiap hari?" tanya Nate akhirnya.
Naya mengangguk. "Yup. Kalau lo sering datang, mungkin kita bakal sering ketemu."
Nate menatapnya, lalu tersenyum kecil. "Menarik."
Dan saat itu, tanpa dia sadari, hidupnya mulai berubah.
#### **Kembali ke Rumah Sakit…**
Hari-hari Zoey di rumah sakit terasa membosankan. Tapi ada satu hal yang membuatnya lebih baik—Ndero dan Nate sama-sama datang menjenguk.
Awalnya mereka masih saling nyindir, tapi setelah ditegur perawat, akhirnya mereka terpaksa diam dan fokus ke Zoey.
Zoey melihat mereka berdua duduk di sofa dengan wajah yang sama-sama tegang. Dia menghela napas panjang. "Lo berdua nggak capek?"
Ndero menoleh. "Capek apa?"
"Capek berantem soal gue," jawab Zoey dengan suara pelan.
Nate menatapnya sebentar, lalu mengalihkan pandangan. "Gue cuma nggak suka cara Ndero main."
Ndero mendengus. "Gue juga nggak suka cara lo sok jadi pahlawan."
Zoey memijat pelipisnya. "Astaga… bisa nggak sih, lo berdua berhenti?"
Mereka terdiam.
Zoey menarik napas dalam, lalu menatap mereka bergantian. "Gue nggak mau jadi alasan lo berdua buat terus berantem. Kalau lo beneran peduli sama gue, tolong… cukup udah."
Nate dan Ndero saling bertatapan. Untuk pertama kalinya, nggak ada yang bicara lebih dulu.
Akhirnya, Ndero menggaruk kepalanya dan mendengus. "Oke, fine. Gue bakal kurangin drama."
Nate menghela napas panjang. "Gue juga."
Zoey tersenyum kecil. "Bagus."
Hari itu, untuk pertama kalinya, ada sedikit ketenangan di antara mereka.
Tapi ini bukan akhir. Ini baru awal dari babak baru—bukan cuma untuk Zoey dan Ndero, tapi juga untuk Nate dan… mungkin, Naya.
Sejak pertemuan pertama di kafe, Nate mulai sering melihat Naya di sekolah. Awalnya, dia pikir itu cuma kebetulan. Tapi semakin lama, semakin sering mereka bertemu—entah di kantin, di lorong, atau bahkan di lapangan sekolah.
Yang lebih aneh lagi, mereka mulai berduaan terus.
"Lo kok di sini lagi?" tanya Nate saat melihat Naya duduk di bawah pohon dekat lapangan basket.
Naya mengangkat bahu. "Lagi istirahat."
Nate menyipitkan mata. "Lo beneran murid sini?"
Naya tertawa kecil. "Gue baru pindah semester ini. Lo aja yang nggak pernah sadar."
Nate mengerutkan dahi. "Tunggu… jadi lo kerja di kafe sekaligus sekolah di sini?"
"Yup," jawab Naya santai. "Gue anak baru yang kebetulan lo nggak perhatiin."
Nate terdiam. Kalau dipikir-pikir, sejak drama dengan Zoey dan Ndero, dia memang nggak terlalu memperhatikan murid baru.
Dan sejak saat itu, Nate mulai memperhatikan Naya.
Entah kenapa, mereka selalu ketemu di tempat-tempat yang nggak terduga. Kadang di perpustakaan, kadang di kantin, kadang di lapangan.
Sampai akhirnya, orang-orang mulai memperhatikan juga.
Termasuk Ndero.
Ndero Menyadari Sesuatu
"Nate kayaknya sering banget sama cewek baru itu," kata Ndero tiba-tiba saat duduk bareng Zoey di taman sekolah.
Zoey yang sedang membaca buku menoleh. "Cewek baru?"
Ndero mengangguk. "Namanya Naya. Lo nggak liat? Mereka makin sering bareng."
Zoey terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Mungkin itu bagus buat dia."
Ndero menatap Zoey, mencoba membaca ekspresinya. "Lo nggak cemburu?"
Zoey tertawa pelan. "Gue nggak pernah ada rasa ke Nate, Dro. Kalau dia bisa nemuin orang yang bikin dia lebih baik, gue seneng."
Ndero diam sebentar, lalu tersenyum. "Baguslah."
Zoey dan Nate Bicara Empat Mata
Beberapa hari kemudian, Zoey akhirnya memutuskan buat bicara langsung dengan Nate.
Mereka bertemu di lorong sekolah yang sepi setelah jam pelajaran selesai.
"Lo beneran suka sama Naya?" tanya Zoey tanpa basa-basi.
Nate terkejut sebentar, lalu tersenyum kecil. "Ndero bilang ke lo?"
Zoey mengangguk. "Dia mulai sadar lo makin sering sama Naya."
Nate menghela napas. "Gue nggak tau, Zo. Tapi… sama dia, gue ngerasa nggak perlu pura-pura."
Zoey tersenyum. "Kalau gitu, mungkin lo harus berhenti maksa gue buat milih lo."
Nate terdiam.
Zoey melanjutkan, "Gue tau lo selalu berusaha buktiin sesuatu ke gue. Tapi sekarang, lo udah punya seseorang yang mungkin lebih cocok buat lo."
Nate menatap Zoey lama, lalu akhirnya tersenyum kecil. "Gue pikir gue bakal susah nerima ini, tapi ternyata… gue lega."
Zoey ikut tersenyum. "Karena lo akhirnya sadar, kan? Kita nggak pernah ditakdirkan buat bareng."
Nate tertawa kecil. "Mungkin."
Zoey menepuk bahunya pelan. "Sekarang, lo bisa jadi diri lo sendiri. Sama kayak gue."
Nate mengangguk. "Dan lo sama Ndero?"
Zoey tersenyum. "Gue akhirnya tau apa yang gue mau."
Nate menghela napas panjang. "Baguslah."
Mereka berdua saling menatap untuk terakhir kalinya sebagai dua orang yang pernah bersaing.
Lalu, mereka memilih jalan masing-masing.
Nate, dengan Naya.
Zoey, dengan Ndero.
Dan akhirnya, drama itu berakhir… atau justru, baru saja dimulai.
Takdir yang Akhirnya Berjalan dengan Benar
Zoey berjalan di koridor sekolah sambil tersenyum kecil. Rasanya aneh, semuanya kini terasa lebih ringan.
Di kejauhan, dia melihat Ndero berdiri menunggunya, bersandar di dinding dengan tangan di saku celana. Begitu melihatnya, Ndero langsung tersenyum.
"Kita pulang?" tanyanya.
Zoey mengangguk. "Ayo."
Sementara itu, di sudut lain sekolah, Nate sedang berdiri di depan pintu perpustakaan. Dia melirik ke dalam dan melihat Naya yang sedang sibuk membaca.
Entah kenapa, senyuman kecil muncul di wajahnya.
"Hei," sapanya sambil berjalan mendekat.
Naya menutup bukunya dan menatapnya dengan alis terangkat. "Lo ngapain di sini?"
Nate mengangkat bahu. "Nggak tau. Mungkin… gue cuma pengen ada di tempat yang benar."
Naya menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum. "Selamat datang, Nate."
Dan di situlah semuanya dimulai.
Bukan tentang akhir cerita, tapi tentang kisah baru yang lebih nyata.
Karena pada akhirnya, takdir selalu menemukan jalannya.