HA HAI GUYS, ADA YANG SUKA HYUNLIX ENGGAK??!! AKU BIKIN NIH!!
---
Lonceng kecil di atas pintu berdenting pelan, menandakan ada pelanggan yang masuk. Felix menoleh dari balik etalase, menemukan sosok tinggi bersweater hitam dengan syal tebal melilit lehernya. Seorang pria dengan rambut berantakan dan mata tajam yang berkeliaran ke setiap sudut ruangan, seolah mencari sesuatu.
Bukan pelanggan biasa.
Felix sudah bekerja di toko kuenya selama bertahun-tahun, dan dia tahu mana pelanggan yang datang karena benar-benar ingin menikmati kue, dan mana yang datang hanya untuk duduk dan berpikir. Pria ini, dengan langkah ragu dan tatapan tajamnya, termasuk kategori kedua.
“Selamat datang! Mau coba rekomendasi hari ini?” sapa Felix ceria.
Pria itu mengalihkan pandangannya dari rak kue ke arahnya, lalu tanpa ekspresi, menggeleng.
“Espresso,” katanya singkat.
Felix berkedip. “Nggak mau kue? Kami ada tart apel spesial hari ini.”
“Tidak, terima kasih.”
Felix mengangkat bahu, lalu segera menyiapkan espresso pesanan pelanggan barunya. Saat dia melirik ke meja pojok, dia melihat pria itu duduk di dekat jendela, mengeluarkan buku sketsa, dan mulai menggambar dengan cepat. Garis-garis pensil berhamburan di atas kertas, seolah pikirannya sedang penuh dengan sesuatu yang ingin dituangkan.
Felix menyajikan espresso di mejanya. “Jangan serius-serius amat, nanti kena serangan jantung,” katanya sambil bercanda.
Pria itu hanya mengangkat alis, lalu menatap espresso di depannya.
“Hyunjin,” gumamnya pelan.
“Hah?”
“Nama saya.”
Felix tersenyum. “Felix. Aku yang punya toko ini.”
Hyunjin hanya mengangguk, kembali ke sketsanya. Felix, yang sudah biasa menghadapi pelanggan dingin, hanya terkekeh pelan. Dia tahu tipe seperti ini. Tipe yang terlalu tenggelam dalam dunia mereka sendiri sampai lupa bahwa ada orang-orang yang ingin mengenal mereka lebih dalam.
Namun, Hyunjin kembali lagi keesokan harinya. Lalu keesokan harinya lagi.
Selalu dengan pesanan yang sama—espresso hitam, tanpa gula, tanpa kue. Selalu dengan ekspresi yang sama—tenang, nyaris tanpa emosi, tenggelam dalam sketsa-sketsanya.
Felix, yang pantang menyerah, mulai menjalankan misinya. Membuat Hyunjin mencicipi sesuatu yang lebih manis.
Suatu hari, dia menyajikan espresso seperti biasa, tapi kali ini ada sepotong kecil kue vanilla di piring kecil di sampingnya.
Hyunjin melirik kue itu, lalu menatap Felix.
“Aku nggak pesan ini.”
“Gratis,” sahut Felix sambil tersenyum.
“Aku nggak suka manis.”
Felix hanya menyilangkan tangan di dada. “Aku nggak percaya. Semua orang suka sesuatu yang manis, mereka cuma belum nemu yang cocok.”
Hyunjin mendesah, mengabaikan kue itu, lalu kembali ke sketsanya. Felix mengangkat bahu, lalu meninggalkannya sendirian.
Namun, saat toko sudah hampir tutup dan Felix tengah membersihkan meja, dia melihat piring kecil itu kosong.
Hyunjin memang tidak akan pernah mengakuinya, tapi Felix tahu dia mulai membuka diri.
Begitulah awal dari pertemanan mereka—atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu.
Sesuatu yang terasa seperti lukisan dengan warna-warna lembut dan aroma vanilla yang memenuhi udara.
---
Ending Cerpen
Hyunjin mungkin bukan orang yang ekspresif, tapi melalui sketsa yang ia buat, Felix mulai menyadari bahwa setiap hari, sketsa itu selalu memiliki satu detail baru—toko kuenya, kursi tempat Hyunjin duduk, atau bahkan sepiring kue yang ia beri secara cuma-cuma.
Sampai suatu hari, Felix menemukan sesuatu di dalam buku sketsa yang Hyunjin tinggalkan di meja.
Sebuah gambar dirinya.
Di sudut gambar itu, tertulis kecil dengan goresan pensil ringan.
“Aku tidak suka manis. Tapi mungkin… ada pengecualian.”
Felix tersenyum.
---