Rokok di Tengah Malam
Angin malam berembus pelan di gang sempit belakang kos-kosan tua. Cahaya lampu jalan yang temaram menambah kesan muram tempat itu. Raka, seorang mahasiswa tingkat akhir yang terjebak dalam rutinitas skripsi yang membosankan, berdiri di sana dengan sebatang rokok terselip di antara jarinya.
"Aduh, penat banget," gumamnya, lalu menyalakan rokok dengan gerakan malas.
Asap putih mengepul pelan, membaur dengan udara dingin. Raka menyesap dalam-dalam, membiarkan rasa nikotin mengisi paru-parunya. Ini adalah kebiasaannya setiap malam—keluar ke gang belakang untuk merokok sendirian. Tak ada suara lain selain deru kendaraan jauh di jalan besar dan sesekali anjing menggonggong.
Namun, malam ini terasa berbeda.
Saat Raka mengembuskan asapnya ke udara, dia merasa ada sesuatu yang berubah. Aroma tembakau yang biasa kini bercampur dengan bau lain—bau yang lebih tajam, seperti rokok terbakar terlalu lama. Matanya menyipit, mencari sumber bau aneh itu.
Dan saat itulah dia melihatnya.
Di sudut gang, tak jauh dari tempatnya berdiri, seorang pria duduk di atas tumpukan kayu tua. Pakaiannya lusuh, celana panjang sobek di beberapa bagian, dan kaosnya tampak kotor. Yang paling mencolok adalah wajahnya yang hampir sepenuhnya tertutup bayangan, hanya menyisakan sepasang mata merah redup yang berkilat di balik asap.
Jari-jari panjang pria itu menggenggam sebatang rokok yang mengepulkan asap pekat. Tapi ada yang aneh. Rokok itu tidak pernah berkurang panjangnya.
Raka menelan ludah. "Bang, ngapain di sini?" tanyanya, berusaha tetap santai.
Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asap ke udara.
Asapnya terasa lebih berat, lebih pekat, seakan-akan menyelimuti udara di sekitar mereka. Raka merasa kepalanya sedikit pusing.
"Bang?" ulangnya lagi.
Tak ada jawaban. Tapi pria itu kini menoleh, menatap Raka langsung dengan mata merah menyala.
Saat itulah jantung Raka berdegup lebih kencang.
Karena di detik berikutnya, pria itu menghilang—lenyap begitu saja dalam kepulan asap.
Dan di antara kepulan asap yang tersisa, terdengar suara lirih, serak, dan menakutkan.
"Udud..."
---
Bisikan Asap
Raka berdiri mematung, tenggorokannya tercekat. Dadanya naik-turun cepat, sementara rokok di tangannya hampir jatuh dari jemarinya yang bergetar.
"Apa tadi...?" bisiknya pelan.
Ia mengusap matanya, mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya ilusi. Mungkin dia terlalu lelah. Mungkin efek nikotin yang membuatnya berhalusinasi. Tapi bau rokok yang tajam itu masih terasa di udara, menusuk hingga ke pangkal hidungnya.
Perlahan, Raka melangkah mundur, menjauh dari tempat pria itu tadi duduk. Pikirannya berkecamuk. Jika itu orang biasa, bagaimana bisa dia menghilang begitu saja dalam kepulan asap?
Raka mematikan rokoknya dengan terburu-buru, melempar puntungnya ke tanah, lalu menendangnya ke selokan. Ia harus segera kembali ke kamar.
Namun, saat ia berbalik, bulu kuduknya langsung berdiri.
Di depan pintu masuk kos, ada seorang pria lain. Berdiri di bawah lampu redup, diam, hanya menatap Raka dari kejauhan.
Bukan. Itu bukan orang lain. Itu pria yang tadi ada di gang.
Raka menahan napas.
"Apa-apaan ini?" gumamnya.
Pria itu tetap diam. Di tangannya, masih ada rokok yang menyala, tetapi anehnya, tidak ada bara yang berkurang dari batangnya. Seakan-akan rokok itu akan terus terbakar tanpa habis.
Lalu, perlahan, pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Raka dengan jari panjang dan kurus.
"Udud..."
Suaranya lebih jelas kali ini. Serak, dalam, dan seolah menggema di telinga Raka.
Tidak butuh waktu lama bagi Raka untuk berlari masuk ke dalam kos-kosan. Pintu kayu tua itu dibantingnya keras, lalu dikunci cepat-cepat. Nafasnya tersengal saat ia menempelkan tubuhnya ke pintu.
Hening.
Hanya suara kipas angin dari kamarnya yang berputar pelan. Tidak ada suara langkah di luar. Tidak ada ketukan pintu. Tidak ada suara apa pun.
Raka mengintip dari jendela kecil di pintunya. Kosong.
Pria itu sudah menghilang.
---
Malam itu, Raka memutuskan untuk tidak keluar lagi. Ia duduk di kasurnya, mencoba menenangkan pikirannya.
"Halusinasi," gumamnya, mencoba meyakinkan diri.
Ia mengeluarkan ponselnya, membuka media sosial untuk mengalihkan pikiran. Namun, ketika ia membuka grup diskusi horor yang sering ia ikuti, sebuah postingan baru menarik perhatiannya.
"Anomali 'Dud Udud' – Urban Legend di Kalangan Perokok Malam"
Dahi Raka berkerut.
Ia mengklik postingan itu.
> 'Pernah dengar soal Dud Udud? Sebuah sosok misterius yang selalu muncul saat kau merokok sendirian di tempat sepi. Banyak yang mengaku pernah melihatnya—pria dengan mata merah yang selalu mengisap rokok yang tak pernah habis. Jika dia mulai berbicara padamu, itu pertanda buruk. Konon, mereka yang berbicara dengannya akan menghilang tanpa jejak. Jangan pernah menjawab jika dia berbicara padamu.'
Darah Raka berdesir.
Tangannya langsung mengetik komentar:
"Aku baru saja melihatnya."
Namun sebelum ia bisa menekan tombol kirim, layar ponselnya tiba-tiba mati.
Dan di tengah keheningan malam, suara serak itu terdengar lagi.
Dari balik jendela kamarnya.
"Udud..."
---
Asap di Balik Jendela
Raka membeku. Suara itu terdengar jelas, seperti seseorang berdiri tepat di luar jendelanya. Jantungnya berdetak kencang, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Pelan, ia menoleh ke arah jendela. Tirainya sedikit terbuka, memperlihatkan kaca yang mengembun. Namun, yang membuatnya semakin merinding adalah bekas jari yang terlihat di sana, seakan seseorang menyentuh kaca dari luar.
“Tidak mungkin…,” bisik Raka.
Tangannya gemetar saat ia mengambil ponsel dan menyalakannya kembali. Layarnya menyala, tetapi anehnya, jam di pojok atas menunjukkan pukul 00:00, padahal ia yakin baru sekitar pukul sebelas malam.
Kemudian, sesuatu mengetuk jendelanya.
Tok. Tok. Tok.
Raka hampir menjatuhkan ponselnya.
“Kau becanda, kan?” gumamnya, menelan ludah.
Ia perlahan berjalan mendekat, napasnya berat. Dengan tangan gemetar, ia menarik tirai lebih lebar.
Kosong.
Tak ada siapa pun di luar jendela.
Namun, saat ia menatap kaca lebih lama, asap tipis tiba-tiba muncul, membentuk siluet wajah samar. Dua titik merah menyala seperti mata, dan perlahan, mulut terbuka dari kepulan asap itu.
"Udud…"
Raka terhuyung mundur. Ponselnya kembali mati begitu saja.
“Ini gila,” katanya, setengah berbisik.
Ia meraih selimut, menutupi dirinya sambil meremas dadanya yang terasa sesak. Tidak mungkin ini nyata. Tidak mungkin ini hanya kebetulan.
Namun, satu hal yang pasti—ia tidak akan keluar lagi untuk merokok malam ini.
***
Pagi harinya, Raka terbangun dengan kepala berat. Tidur malamnya penuh mimpi buruk—terperangkap dalam kepulan asap, suara bisikan yang terus menggumamkan kata "Udud", dan bayangan pria bermata merah yang selalu mengawasinya.
Ia menatap ponselnya yang kini kembali menyala, menunjukkan pukul 07:45.
Dengan malas, ia bangun dan menuju ke kamar mandi. Saat mencuci muka, ia melirik pantulan dirinya di cermin.
Lalu, jantungnya hampir berhenti berdetak.
Di belakangnya, samar-samar, ada bayangan seseorang.
Bukan manusia biasa.
Sosok itu seperti terbuat dari asap.
Dan di tengah kepulan asap itu, sepasang mata merah menyala menatapnya.
"Udud..."
Raka tersentak dan berbalik, tapi tidak ada siapa pun di sana. Hanya kamar mandi kecil yang kosong.
Ia merasakan tenggorokannya kering. Dengan tangan gemetar, ia mengambil handuk dan keluar dengan langkah terburu-buru.
Sial. Ini belum berakhir.
Dan entah kenapa, ia merasa seolah-olah pria itu semakin dekat.
---
Jejak Asap
Raka duduk di kursi belajar, menatap kosong layar laptop yang menyala. Jari-jarinya mengetuk meja tanpa pola, pikirannya melayang pada kejadian semalam.
"Apa yang sebenarnya kulihat?" gumamnya pelan.
Ia mencoba mencari penjelasan logis. Mungkin hanya halusinasi akibat stres. Atau efek samping kurang tidur. Tapi tetap saja, semua itu terasa terlalu nyata. Terlalu detail.
Pikirannya kembali ke sosok yang muncul di jendela dan bayangan di cermin tadi pagi. Itu bukan sekadar ilusi. Sesuatu benar-benar mengawasinya.
Tiba-tiba, notifikasi dari grup diskusi horor muncul di layar laptopnya.
Thread: "Anomali 'Dud Udud' – Ada yang Pernah Mengalami?"
Raka menelan ludah. Ia membuka forum itu, membaca komentar-komentar di dalamnya.
> Pengguna: @GhostTeller
"Dud Udud itu bukan sekadar urban legend. Aku pernah melihatnya. Dulu, temanku sering merokok di gang belakang kontrakannya setiap malam. Suatu hari, dia cerita ada orang aneh yang selalu duduk di sudut gang, menghisap rokok yang tak pernah habis. Awalnya dia pikir itu cuma gelandangan biasa, tapi lama-lama dia sadar… setiap malam orang itu makin dekat."
Raka menggulir layar dengan napas tercekat.
> Pengguna: @LostSmoker
"Katanya, kalau dia mulai bicara padamu, jangan pernah menjawab. Kalau kau membalas, maka dia akan terus mengikuti."
Jantung Raka berdebar kencang.
Ia ingat jelas semalam, saat pria itu menunjuk ke arahnya.
"Udud…"
Dan Raka telah meresponsnya.
"Apa-apaan ini?"
Tangannya bergetar. Itu berarti… pria itu tidak akan berhenti.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan di pintu kamarnya membuatnya tersentak.
Ia menoleh cepat. Tidak ada yang pernah mengetuk pintunya sepagi ini. Perlahan, ia bangkit, berjalan mendekati pintu dengan hati-hati.
"Siapa?" tanyanya dengan suara serak.
Tidak ada jawaban.
Tangannya ragu-ragu meraih gagang pintu, lalu membukanya perlahan.
Kosong.
Hanya lorong sepi kos-kosan dengan cahaya pagi yang mulai masuk dari jendela. Tidak ada siapa pun di sana.
Tapi kemudian, ia melihatnya.
Tepat di lantai depan pintunya, ada puntung rokok yang masih mengepulkan asap.
---
Bayangan di Sudut Mata
Raka memandangi puntung rokok yang tergeletak di depan pintunya. Asap tipis masih mengepul dari ujungnya, seolah baru saja dihisap seseorang beberapa detik lalu.
Tenggorokannya terasa kering. Ia melirik ke lorong kos, berharap menemukan seseorang yang mungkin menjahili dirinya. Tapi kosong. Tidak ada siapa pun.
Dengan langkah ragu, ia menjulurkan kaki, menyentuh puntung rokok itu.
Dingin.
Tidak seperti rokok yang baru dipadamkan, seharusnya masih hangat.
Perasaan tidak enak kembali menyelimutinya. Ia buru-buru mundur, menutup pintu, lalu menguncinya rapat.
“Ini nggak masuk akal,” gumamnya.
Ia menghela napas dalam, mencoba berpikir jernih. Tidak mungkin ini hanya kebetulan. Terlalu banyak kejadian aneh yang terjadi sejak semalam.
Mungkin dia butuh bantuan.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan membuka kontak. Jemarinya bergerak mencari satu nama—Anton.
Anton adalah teman lama yang sering membahas hal-hal mistis. Jika ada yang bisa memberikan jawaban, mungkin hanya dia.
Tanpa ragu, ia menekan tombol panggil.
Nada sambung berbunyi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Hingga akhirnya, sambungan tersambung.
“Halo?” Suara Anton terdengar mengantuk. “Pagi-pagi gini, ada apa, Rak?”
Raka menarik napas, mencoba menenangkan diri. “Ton… gue ngalamin sesuatu yang aneh.”
“Hmm? Maksudnya?”
Raka menelan ludah. “Lo pernah denger soal ‘Dud Udud’?”
Suara di ujung telepon langsung terdiam.
Hening selama beberapa detik.
“…Raka, lo ngelihat dia?” suara Anton terdengar lebih serius sekarang.
Raka mengangguk refleks, meskipun Anton tak bisa melihatnya. “Iya… semalam, pas gue ngerokok di gang. Ada orang aneh. Rokoknya nggak habis-habis. Terus, tadi pagi… ada yang ngetuk pintu gue. Pas gue buka, nggak ada siapa-siapa, cuma ada puntung rokok.”
Terdengar suara Anton menghela napas berat.
“Rak, lo harus berhenti ngerokok malam-malam,” katanya, suaranya lebih rendah. “Dud Udud itu bukan cuma cerita iseng. Gue udah pernah denger beberapa orang yang ngalamin hal yang sama. Awalnya cuma liat, terus mulai ada tanda-tanda. Kalau dia udah mulai ‘meninggalkan’ sesuatu buat lo, berarti dia udah tertarik sama lo.”
Darah Raka berdesir.
“Maksud lo… dia bakal terus muncul?”
Anton diam sejenak sebelum menjawab.
“Gue nggak tahu pasti… Tapi kebanyakan orang yang ngalamin ini, mereka bakal terus lihat dia. Makin lama, makin dekat.”
Raka mengepalkan tangannya. “Gimana cara gue ngusir dia?”
Terdengar suara Anton menyalakan sesuatu, mungkin rokok. “Gue nggak tahu, Rak. Tapi satu hal yang pasti… Jangan pernah bales kalau dia ngomong lagi. Jangan nunjukkin kalau lo takut.”
Raka menggigit bibirnya.
Sial.
Ia sudah melanggar aturan itu semalam.
---
Malamnya
Raka duduk di tepi kasur, menatap jendela dengan waspada. Lampu kamar dibiarkan menyala, tapi tetap saja, suasana terasa menekan.
Ia memutuskan untuk tidak keluar malam ini.
Tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
Ponselnya tergeletak di sampingnya, layar masih menyala dengan chat terakhir dari Anton.
> Anton: Kalau lo lihat dia lagi, jangan panik. Jangan kasih reaksi apa pun.
Anton: Dan kalau lo denger suara ‘itu’, JANGAN BALAS.
Raka menggenggam ponselnya erat.
Lalu, tepat saat ia berpikir semuanya akan baik-baik saja malam ini…
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan itu datang lagi.
Namun kali ini, bukan dari pintu.
Melainkan dari jendela.
Perlahan, Raka menoleh.
Di luar jendela, samar-samar di balik kaca yang sedikit berembun, ada sosok berdiri.
Wajahnya tertutup bayangan. Hanya satu hal yang terlihat jelas—sebatang rokok menyala di bibirnya, dengan asap putih pekat mengepul ke udara.
Lalu, suara itu terdengar.
Pelan. Serak.
"Udud..."
Raka menggigit bibirnya, menahan napas.
Jangan jawab.
Jangan tunjukkan reaksi.
Sosok itu tetap diam, hanya menghisap rokoknya. Bara merahnya terlihat membara di kegelapan.
Kemudian, dengan gerakan lambat, sosok itu mengangkat tangannya.
Menunjuk ke arah Raka.
"Udud…"
Raka menutup matanya rapat-rapat, menggenggam selimutnya.
Ia tidak akan menjawab.
Tidak akan melihatnya.
Namun, saat ia membuka matanya lagi…
Sosok itu sudah hilang.
Tapi bau rokok yang menyengat tetap tinggal.
Dan di lantai kamarnya, tepat di bawah jendela… ada sebatang rokok yang masih menyala, seolah baru saja diletakkan di sana.
---
Asap yang Mengintai
Puntung rokok itu masih mengepulkan asapnya di lantai kamar Raka. Matanya terpaku pada bara merah kecil di ujungnya. Napasnya tersengal, tangannya berkeringat.
"Dia masuk?"
Tidak mungkin. Jendelanya masih tertutup rapat. Tapi bagaimana bisa rokok itu ada di dalam kamarnya?
Ia mundur perlahan, duduk di tepi kasur, matanya tak lepas dari rokok itu. Haruskah ia membuangnya? Atau dibiarkan saja?
Ponselnya bergetar di sampingnya. Ia tersentak, buru-buru meraihnya.
Anton: "Lo masih di kamar?"
Jari-jarinya cepat mengetik balasan.
Raka: "Iya. Dia tadi ada di jendela. Terus pas gue nggak lihat… rokoknya tiba-tiba ada di dalam kamar gue."
Hening beberapa detik sebelum Anton membalas.
Anton: "Keluar dari kamar lo. SEKARANG."
Raka menelan ludah.
Raka: "Kenapa?"
Anton: "Jangan banyak nanya! Keluar aja!"
Bulu kuduknya meremang. Ia melirik pintu kamar, lalu kembali ke rokok di lantai. Ada sesuatu yang terasa salah.
Dengan gerakan cepat, ia bangkit, meraih jaket, dan membuka pintu.
Namun saat tangannya menyentuh gagang pintu—
Tok. Tok. Tok.
Ketukan lagi.
Tapi bukan dari pintu keluar.
Dari jendela.
Jantungnya hampir berhenti berdetak. Ia tahu apa yang akan ia lihat jika menoleh ke belakang.
Tapi otaknya tidak bisa menahan rasa takutnya.
Perlahan, ia menoleh.
Dan di sana…
Sosok itu masih berdiri.
Masih dengan rokok menyala di bibirnya, asapnya makin pekat memenuhi kaca jendela. Tapi kali ini, ia lebih dekat. Lebih jelas.
Wajahnya pucat, matanya kosong. Tidak ada ekspresi.
Namun ada satu hal yang membuat Raka benar-benar ingin lari saat itu juga.
Bibir sosok itu bergerak.
Tapi suara yang keluar bukan sekadar bisikan.
Bukan sekadar satu kata.
"Udud, Raka… Udud."
Ia menyebut namanya.
Raka langsung meraih gagang pintu dan menariknya terbuka. Ia hampir berteriak saat tubuhnya bertemu dengan seseorang di luar kamarnya.
Anton.
“Raka! Ayo keluar sekarang!” Anton langsung menariknya keluar kamar, membanting pintu di belakang mereka.
Raka masih gemetar, jantungnya seperti mau meledak. “Ton… dia tahu nama gue. Dia ngomong ke gue.”
Anton mencengkeram bahunya. “Lo denger suara dia?”
Raka mengangguk cepat. “Iya. Suara dia manggil gue.”
Wajah Anton langsung berubah tegang. “Sial…”
Raka semakin panik. “Apa maksudnya? Lo bilang kalau gue nggak bales, gue bakal aman!”
Anton tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, matanya menatap pintu kamar Raka seolah sesuatu bisa keluar kapan saja.
“Raka…” Anton akhirnya berbicara, suaranya rendah.
“Kalau dia udah nyebut nama lo… itu berarti dia udah lebih dari sekadar ‘ngeliatin’ lo.”
Raka menelan ludah. “Maksud lo?”
Anton menatapnya dengan ekspresi serius.
“Sekarang lo bukan cuma pengamat.”
“Sekarang lo adalah targetnya.”
---
Jangan Pernah Menyalakan Api
Raka menelan ludah, tubuhnya masih gemetar setelah mendengar kata-kata Anton.
"Sekarang lo adalah targetnya."
Suasana lorong kos terasa hening. Lampu neon di atas kepala mereka berkedip-kedip, menambah ketegangan di dada Raka.
Anton mencengkram bahunya erat. “Dengerin gue baik-baik, Rak. Mulai sekarang, lo nggak boleh sendirian. Jangan pernah keluar malam sendirian. Dan satu hal yang paling penting…”
Anton menatap matanya dalam-dalam, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan.
"Jangan pernah menyalakan api di dekat dia."
Raka mengerutkan kening. “Maksud lo?”
Anton menghela napas panjang. “Dud Udud itu bukan cuma muncul buat nakut-nakutin. Dia nyari sesuatu. Dan kalau lo sampai nyalain api… itu bisa jadi undangan buat dia.”
Darah Raka berdesir. “Lo bercanda, kan?”
Anton menggeleng. “Lo pikir kenapa dia selalu bawa rokok? Itu bukan cuma kebiasaan. Itu ritual.”
Raka menggeleng cepat. Ini sudah terlalu gila. Tidak masuk akal. Tapi setelah semua yang ia alami, bagaimana mungkin ia masih menyangkal?
“Gue harus ngapain sekarang?” Raka bertanya, suaranya bergetar.
Anton menggigit bibirnya. “Untuk sekarang, kita harus cari tempat aman. Lo nggak bisa tidur di kamar lo malam ini.”
Raka menoleh ke pintu kamarnya yang tertutup. Bayangan kejadian tadi masih membekas di pikirannya. Sosok di jendela. Suara serak yang menyebut namanya. Rokok yang tiba-tiba muncul di dalam kamar.
Tidak. Ia tidak akan kembali ke sana.
Anton merogoh ponselnya, mengetik cepat. “Gue punya kenalan yang mungkin bisa bantu. Kita harus pergi sekarang.”
Raka mengangguk cepat. “Oke. Ke mana?”
Anton melirik ke lorong, memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka.
“Ke rumah Mas Bayu.”
---
30 menit kemudian
Mereka berdua berhenti di depan sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Raka tidak mengenal tempat ini, tapi Anton tampak yakin.
“Mas Bayu itu siapa?” Raka bertanya, masih mencoba memahami situasinya.
Anton mengetuk pintu kayu di depan mereka. “Dia orang yang ngerti soal makhluk kayak gini.”
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang pria berambut gondrong dengan wajah lelah muncul di ambang pintu.
“Ada apa malam-malam gini, Ton?”
Anton tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Bayu dengan ekspresi serius.
“Mas, temenku kena.”
Bayu diam sejenak, matanya mengamati Raka dari kepala hingga kaki. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia membuka pintu lebih lebar.
“Masuk.”
Raka dan Anton segera melangkah ke dalam. Rumah itu kecil dan sederhana, dengan aroma dupa yang samar memenuhi udara.
Bayu menutup pintu, lalu berbalik menatap mereka. “Cerita dari awal.”
Anton memberi isyarat pada Raka untuk menjelaskan. Dengan napas berat, Raka mulai menceritakan semuanya—dari pertemuannya dengan pria misterius itu, puntung rokok yang muncul di depan pintunya, hingga suara serak yang menyebut namanya.
Bayu mendengarkan dengan ekspresi datar. Namun ketika Raka menyebut tentang suara itu menyebut namanya, wajahnya berubah sedikit tegang.
“Dia udah nyebut nama lo?”
Raka mengangguk.
Bayu menghela napas panjang, lalu berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan. Ia menarik laci dan mengeluarkan sesuatu.
Sebuah korek api.
Raka langsung tegang. “Mas! Jangan nyalain api!”
Bayu menatapnya dingin. “Tenang. Gue cuma mau tahu satu hal.”
Ia mengambil satu batang rokok dari sakunya, lalu menyalakannya dengan korek itu.
Asap putih mengepul di udara.
Raka dan Anton menahan napas, menunggu sesuatu terjadi.
Tapi… tidak ada apa-apa.
Bayu menghisap rokoknya pelan, lalu menghembuskan asapnya ke udara.
“Kalian tahu kenapa Dud Udud selalu muncul sambil ngerokok?” tanyanya akhirnya.
Anton menggeleng. Raka hanya diam, menunggu jawabannya.
Bayu menghela napas, menatap mereka dengan serius.
“Karena dia bukan sekadar perokok biasa. Dia nyari sesuatu di asap.”
Raka mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Bayu menghempaskan abu rokoknya ke asbak. “Makhluk kayak dia… mereka nggak hidup di dunia kita dengan cara biasa. Mereka muncul di sela-sela. Antara gelap dan terang. Antara diam dan bergerak. Dan yang paling penting…”
Bayu meniupkan asap ke atas.
“Mereka muncul di antara nyala api dan asap yang mengepul.”
Raka menelan ludah. “Jadi… kalau gue nyalain api di dekat dia…”
Bayu mengangguk pelan. “Lo ngundang dia lebih dekat.”
Raka merasakan tubuhnya menegang. Sekarang semuanya terasa lebih nyata.
Dud Udud bukan sekadar hantu yang berkeliaran. Dia mencari sesuatu.
Dan sekarang, ia sudah menemukan Raka.
---
Api yang Tidak Boleh Padam
Raka merasa napasnya berat. Kata-kata Bayu masih terngiang di kepalanya.
"Mereka muncul di antara nyala api dan asap yang mengepul."
Ia menatap rokok yang masih mengepulkan asap di jari Bayu. Setiap helai asap itu melayang, membentuk pola samar di udara. Raka mulai berpikir… apakah itu hanya kebetulan? Atau ada sesuatu di dalam asap itu?
Anton bersandar di sofa, wajahnya juga tegang. "Jadi, Mas… kalau api bisa ‘mengundang’ dia, terus gimana caranya biar Raka bisa lepas dari ini?"
Bayu menghela napas dalam. "Ada dua cara."
Raka langsung menatapnya, penuh harapan. "Apa?"
Bayu mematikan rokoknya di asbak, lalu melanjutkan dengan suara rendah.
"Pertama, lo harus menghindari api dan asap selama beberapa waktu. Jangan nyalain korek, jangan deket-deket sama orang yang lagi ngerokok, dan kalau bisa, hindari tempat yang berasap."
Raka mengernyit. "Itu doang?"
Bayu menggeleng. "Itu cara buat menghindar sementara. Tapi itu nggak bakal menyelesaikan masalah lo."
Raka menelan ludah. "Terus… cara yang kedua?"
Bayu menatapnya dengan serius. "Lo harus bikin dia kehilangan asapnya."
Anton mengerutkan kening. "Maksudnya?"
Bayu bersandar ke kursi kayu. "Dud Udud itu bukan sekadar hantu perokok. Dia butuh asap buat tetap berada di dunia kita. Asap adalah jalannya. Kalau kita bisa menutup jalannya, kita bisa membuatnya lemah."
Raka merasakan tengkuknya merinding. "Gimana caranya?"
Bayu bangkit, berjalan ke rak di sudut ruangan. Ia menarik keluar sebuah kotak kecil berdebu, membukanya, lalu mengeluarkan sesuatu.
Sekotak dupa dan segenggam daun kering yang tampak sudah tua.
"Ini dupa khusus. Kalau kita bakar ini, asapnya bisa mengusir makhluk kayak dia. Tapi ada satu masalah."
Anton bersedekap. "Apa?"
Bayu menatap mereka berdua. "Lo harus bakar ini di tempat di mana dia muncul."
Raka langsung pucat. "Maksud lo… gue harus balik ke kamar gue?"
Bayu mengangguk.
"Dan bukan cuma itu," lanjutnya. "Lo juga harus pastiin dia ada di sana saat kita bakar ini."
Anton menggeleng cepat. "Gila! Itu sama aja ngajak dia masuk!"
Bayu menatap Anton tajam. "Lo pikir dia butuh diundang buat masuk? Dia udah masuk. Lo cuma belum nyadar aja."
Anton terdiam.
Raka menelan ludah. Otaknya masih berusaha memahami semua ini.
"Jadi, gue harus balik ke kamar, nunggu dia muncul, terus bakar ini?"
Bayu mengangguk.
Raka memejamkan mata. Ini gila. Ini berbahaya. Tapi kalau tidak melakukan apa pun, ia bisa terus dihantui makhluk itu selamanya.
Ia menghela napas panjang, lalu membuka matanya.
"Oke. Kapan kita mulai?"
Bayu tersenyum tipis. "Malam ini."
Anton langsung protes. "Malam ini?! Kenapa nggak nunggu besok?"
Bayu menatapnya dingin. "Semakin lama kita biarin dia, semakin kuat dia jadi. Lo mau nunggu sampai dia bisa lebih dari sekadar ‘ngeliatin’ lo?"
Anton terdiam. Ia melirik Raka, yang masih menatap Bayu dengan ekspresi tegang.
Akhirnya, Raka mengangguk. "Baiklah. Kita lakukan malam ini."
Bayu tersenyum tipis, lalu meraih dupa dan daun itu.
"Kalau begitu, ayo kita pulang."
---
Kembali ke Sarang Dud Udud
Raka, Anton, dan Bayu berdiri di depan pintu kamar kos Raka. Lorong itu terasa lebih sepi dari biasanya. Udara malam menyelinap masuk dari jendela yang terbuka sedikit, membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
"Lo yakin mau masuk?" Anton bertanya pelan.
Raka menelan ludah. Tidak, ia tidak yakin. Tapi ini satu-satunya cara untuk menghentikan semua ini.
Bayu mengeluarkan dupa dan daun yang tadi ia bawa, lalu menatap Raka. "Begitu kita masuk, jangan banyak bicara. Jangan tunjukkan ketakutan. Dan yang paling penting… begitu dia muncul, jangan panik."
Raka mengangguk, walaupun hatinya masih berdebar kencang.
Bayu merogoh sakunya dan mengeluarkan korek api. Ia menatap Anton. "Lo yang pegang dupa ini. Gue bakal bakar daun ini saat waktunya tiba."
Anton mengambil dupa itu dengan tangan gemetar. "Gue nggak suka ini, Mas."
Bayu menepuk bahunya. "Nggak ada yang suka. Tapi ini satu-satunya jalan."
Dengan napas berat, Raka meraih gagang pintu dan memutarnya.
Klik.
Pintu terbuka, mengeluarkan suara decitan kecil yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Ruangan itu gelap, tapi aroma khas rokok masih tercium di udara. Raka merasakan perutnya bergejolak saat ia melangkah masuk. Anton dan Bayu mengikutinya dari belakang.
Bayu menutup pintu dengan pelan, lalu menyalakan lilin kecil di meja. Cahaya redup menari di dinding, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak.
Raka menatap sekeliling. Tidak ada yang aneh. Tidak ada sosok menyeramkan di pojokan. Tidak ada suara aneh yang memanggil namanya.
Tapi hawa di ruangan ini terasa… berat.
Bayu mengeluarkan dupa dan menyerahkannya pada Anton. "Tahan ini. Jangan nyalain sampai gue bilang."
Anton mengangguk cepat.
Bayu lalu berlutut di tengah ruangan, membuka kain kecil yang ia bawa. Di dalamnya ada segumpal daun kering yang tadi ia tunjukkan.
Raka menelan ludah. "Kita harus nunggu dia muncul?"
Bayu mengangguk. "Dia pasti datang."
Ruangan kembali sunyi.
Hanya suara napas mereka bertiga yang terdengar.
Raka melirik jam di ponselnya. 00:47. Sudah hampir jam satu pagi.
Saat ia menurunkan ponselnya, sebuah bau menyengat tiba-tiba menguar di udara.
Bau rokok.
Anton tersentak. "Lo nyium itu?!"
Bayu mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam.
Raka merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia tahu bau ini. Ini bukan sekadar bau rokok biasa. Ini bau yang tadi malam memenuhi kamarnya.
Lalu… terdengar suara.
"Kau balik lagi, ya?"
Raka membeku.
Suaranya serak. Dalam. Seperti suara seorang pria yang sudah merokok seumur hidupnya.
Anton mencengkram dupa erat. Matanya bergerak liar, mencari sumber suara.
Bayu tetap diam, matanya fokus ke pojokan ruangan.
Dan di sanalah dia.
Sosok itu berdiri di pojokan. Tubuhnya kurus, mengenakan jaket lusuh yang tampak berdebu. Wajahnya gelap, tertutup bayangan. Tapi satu hal yang jelas—di bibirnya, ada sebatang rokok yang menyala merah.
Asapnya melayang perlahan, bergerak seperti ular di udara.
"Kau bawa teman."
Suara itu terdengar lebih dalam, lebih dekat.
Anton mundur selangkah. "Mas, ini waktunya—"
Bayu mengangguk cepat. Ia menyalakan korek dan mendekatkannya ke daun kering di tangannya.
Seketika, api kecil menyala, dan asap dari daun itu mulai mengepul.
Sosok di pojokan itu bergeming.
Raka menahan napas, menunggu sesuatu terjadi.
Bayu berbisik. "Anton. Nyalakan dupa sekarang."
Dengan tangan gemetar, Anton menggesek korek dan menyalakan dupa di tangannya.
Asap putihnya perlahan bercampur dengan asap dari daun Bayu.
Ruangan yang tadinya hanya terasa berat, kini terasa… bergetar.
Sosok itu mengangkat kepalanya perlahan. Mata Raka membelalak saat ia melihat wajahnya lebih jelas.
Wajah itu… penuh lubang kecil. Seperti bekas luka bakar. Seperti sesuatu yang telah terbakar berkali-kali.
Tiba-tiba, sosok itu bergerak.
Raka merasa jantungnya hampir berhenti.
"Kalian pikir… asap ini bisa mengusirku?"
Suara itu kini bergema di seluruh ruangan.
Bayu tetap diam, menambahkan lebih banyak daun ke dalam api. "Jangan panik. Tetap bakar dupanya."
Anton berusaha keras menjaga dupa tetap menyala. Tangannya gemetar, tapi ia tetap bertahan.
Sosok itu tampak bergetar. Asap dari rokoknya mulai kehilangan bentuknya.
Ia mundur selangkah.
"Teruskan!" Bayu berkata lebih keras.
Raka mengumpulkan keberaniannya, melangkah maju, dan menatap sosok itu.
"Asap itu bukan milikmu," katanya, suaranya bergetar tapi tegas.
Sosok itu menggeram. Perlahan, cahaya merah di ujung rokoknya mulai meredup.
Anton menambahkan dupa lagi. Asap putih semakin pekat.
Lalu… sesuatu terjadi.
Sosok itu mulai memudar. Seperti kabut yang tertiup angin.
"Aku… kembali… lagi…"
Dan dalam sekejap, ia lenyap.
Ruangan kembali sunyi.
Asap dari dupa dan daun masih melayang-layang di udara. Tapi sosok itu… tidak ada lagi.
Anton jatuh terduduk. "Sialan… itu gila."
Bayu menghela napas dalam, lalu menatap Raka.
"Dia mungkin pergi sekarang… tapi ingat."
Raka meneguk ludah. "Apa?"
Bayu mematikan api di tangannya, lalu menatapnya dengan serius.
"Jangan pernah menyalakan api di malam hari… tanpa alasan yang jelas."
---
Jejak Asap yang Tertinggal
Ruangan masih dipenuhi sisa-sisa asap dupa yang perlahan menipis. Raka, Anton, dan Bayu tetap diam untuk beberapa saat, seolah memastikan bahwa sosok itu benar-benar menghilang.
Anton mengusap wajahnya dengan kasar. "Gue nggak percaya kita baru aja ngalamin itu…"
Bayu menghembuskan napas panjang. "Ini belum selesai."
Raka menoleh cepat. "Apa maksud lo? Dia udah hilang, kan?"
Bayu menggeleng pelan. "Iya… tapi lo denger kata-kata terakhirnya?"
Anton menelan ludah. "Dia bilang bakal kembali."
Ruangan kembali sunyi. Raka merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
"Tapi kita udah bakar dupanya! Udah ngusir dia, kan?!" suaranya mulai terdengar panik.
Bayu menatapnya dengan tatapan tajam. "Lo pikir sesuatu kayak dia bisa diusir cuma gitu aja?"
Anton memalingkan wajahnya, jelas tidak ingin mendengar jawaban dari pertanyaan itu.
Bayu menghela napas. "Kita berhasil melemahkannya untuk sementara. Tapi kalau lo nggak hati-hati… dia bisa kembali."
Raka mengepalkan tangannya. "Terus gue harus gimana?"
Bayu berdiri dan mulai merapikan barang-barangnya. "Mulai sekarang, lo harus lebih peka sama sekeliling lo. Jangan sembarangan nyalain api. Jangan dekat-dekat sama asap rokok di malam hari."
Anton mendelik. "Jangan dekat-dekat asap rokok? Gimana caranya?! Kita tinggal di kota yang penuh sama orang ngerokok!"
Bayu menatapnya tajam. "Bukan asap rokok biasa. Asap yang aneh. Asap yang nggak berasal dari manusia."
Raka merasa perutnya mual. "Jadi… kalau gue nyium bau rokok di tempat yang nggak ada orangnya—"
Bayu menyela dengan suara rendah. "Pergi. Seketika itu juga."
Anton menelan ludah. "Gue bener-bener nggak suka ini, Mas."
Bayu menepuk bahunya. "Gue juga nggak suka. Tapi kalau kita nggak ngelakuin ini, bisa lebih parah."
Raka merasa kepalanya berat. Ia hanya ingin hidup normal lagi.
Bayu menatapnya serius. "Lo masih simpan rokok di kamar ini?"
Raka menggeleng cepat. "Gue nggak ngerokok sama sekali."
Bayu berpikir sejenak. "Bagus. Tapi buat jaga-jaga, gue bakal tinggalin lo beberapa dupa ini. Kalau lo mulai ngerasa ada yang aneh lagi, bakar ini. Tapi jangan pernah nyalain api kalau lo nggak yakin ada yang ganggu."
Raka menerima dupa itu dengan tangan gemetar.
Anton menatap Raka dengan ekspresi khawatir. "Lo yakin bakal baik-baik aja?"
Raka memaksakan senyum. "Gue nggak tahu. Tapi setidaknya… sekarang gue tahu harus ngapain."
Bayu meraih tasnya dan berjalan ke pintu. "Kita pergi sekarang. Udara di sini masih berat."
Anton dan Raka segera mengikuti.
Saat mereka melangkah keluar dari kamar, Raka menoleh sekali lagi ke dalam.
Kosong. Tidak ada apa-apa.
Tapi di sudut ruangan, tepat di tempat sosok itu tadi berdiri, ada sesuatu yang tidak seharusnya ada.
Abu rokok.
Dan baunya masih ada.
Raka merinding.
Mungkin, ini belum benar-benar berakhir.
---
Aroma yang Tak Pernah Hilang
Raka mencoba untuk menjalani hari-harinya seperti biasa. Ia bangun, pergi kuliah, nongkrong dengan Anton, lalu pulang ke kos. Tapi ada satu hal yang tidak bisa ia hilangkan dari pikirannya—bau rokok itu masih ada.
Setiap malam, ketika ia berbaring di tempat tidur, samar-samar ia bisa menciumnya. Bukan bau rokok biasa, tapi bau yang sama seperti malam itu.
Awalnya ia mencoba mengabaikannya. Ia pikir itu hanya perasaannya saja. Tapi semakin lama, bau itu semakin kuat.
Dan kemudian, sesuatu terjadi.
Suara Korek Api
Malam itu, Raka baru saja selesai mengerjakan tugas. Ia meregangkan badannya dan melirik jam. 23:45. Hampir tengah malam.
Ia menghela napas dan bersiap untuk tidur, ketika tiba-tiba—
"Ceklek."
Suara korek api dinyalakan.
Raka membeku.
Itu bukan suara dari luar. Itu berasal dari dalam kamarnya.
Jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh perlahan, matanya menyapu setiap sudut ruangan.
Tidak ada apa-apa.
Tapi kemudian, ia melihatnya.
Tepat di mejanya, di samping laptopnya, ada abu rokok.
Raka langsung bangkit dari tempat tidur, matanya membelalak. Ia yakin—abu itu tidak ada tadi sore.
Bau rokok semakin menyengat.
Dan kemudian, suara itu terdengar lagi.
"Kau nyalakan api lagi?"
Raka menahan napas.
Itu suara yang sama seperti malam itu.
Suara serak yang datang dari sudut kamar.
Ia memaksa dirinya untuk menoleh, meskipun ia tidak ingin melihatnya.
Dan di sana, di sudut yang gelap, sosok itu berdiri lagi.
Dengan rokok yang masih menyala di bibirnya.
Asapnya melayang di udara, bergerak perlahan seperti kabut.
Raka tidak bisa bergerak. Kakinya terasa seperti tertanam ke lantai.
Sosok itu melangkah maju.
Setiap langkahnya menimbulkan suara pelan, seperti kain tua yang bergesekan.
"Aku bilang… aku akan kembali."
Suaranya lebih dalam, lebih dingin.
Raka merasakan napasnya tersengal.
Ia ingin berlari. Ingin keluar dari kamar ini. Tapi tubuhnya tidak mau bergerak.
Sosok itu kini berdiri tepat di depannya.
Asap rokoknya mengelilingi wajah Raka, membuatnya sulit bernapas.
"Kau pikir bisa mengusirku hanya dengan asap lain?"
Raka menggigit bibirnya, berusaha tetap sadar.
Sosok itu tersenyum.
Senyuman yang penuh dengan gigi kuning dan hitam, seperti terbakar oleh ribuan batang rokok.
"Aku tidak butuh tubuh untuk tetap ada. Aku tidak butuh tempat. Aku hanya butuh… seseorang untuk terus mengingatku."
Raka merinding.
Sosok itu mengangkat tangannya, menunjukkan sesuatu.
Sebuah korek api.
Dan sebelum Raka bisa melakukan apa-apa—
"Ceklek."
Api menyala.
Dan ruangan langsung gelap.
---
Api di Dalam Kegelapan
Raka tidak bisa melihat apa-apa. Hanya ada kegelapan pekat yang mengelilinginya. Tapi ia tahu—ia tidak sendirian.
Bau rokok masih memenuhi udara, menusuk hidungnya seperti racun. Asapnya terasa semakin tebal, seolah-olah memenuhi paru-parunya dan membuatnya sulit bernapas.
Lalu, di tengah kegelapan itu…
"Ceklek."
Sebuah nyala kecil muncul.
Api dari korek itu menerangi sebagian wajah sosok di depannya. Wajah yang setengah hangus, kulitnya retak seperti arang, dan matanya hitam pekat tanpa bola mata.
"Aku tidak pernah benar-benar pergi."
Suaranya serak, hampir seperti bisikan.
Raka mencoba mundur, tapi tubuhnya masih kaku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Sosok itu melangkah lebih dekat, membawa nyala kecil itu semakin dekat ke wajah Raka.
"Kau takut api, kan?"
Nyala api di ujung korek itu bergoyang, seolah menari di udara. Tapi bukan itu yang membuat Raka merinding.
Di dalam api itu, ia melihat sesuatu.
Wajahnya sendiri.
Tapi bukan dirinya yang sekarang.
Itu dirinya yang terbakar.
Kulitnya mengelupas, matanya mencair seperti lilin, mulutnya terbuka dalam jeritan bisu.
Raka tersentak mundur, akhirnya bisa bergerak. Napasnya memburu.
"T-tidak… ini bukan nyata…"
Sosok itu tertawa kecil.
"Nyata atau tidak, itu tergantung padamu."
Lalu, ia meniup koreknya.
Api padam, dan seketika, ruangan kembali terang.
Raka terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar.
Ia melihat sekeliling.
Kamar kosnya kembali normal. Tidak ada sosok itu. Tidak ada kegelapan.
Tapi bau rokok masih ada.
Dan di atas meja, korek api itu tergeletak di sana.
Menunggu.
---
Jejak yang Tak Terhapus
Raka masih terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Matanya terus menatap korek api yang tergeletak di atas meja. Ia tahu ia tidak boleh menyentuhnya, tapi ada sesuatu yang aneh—korek itu terlihat seperti miliknya sendiri.
Tapi Raka tidak pernah punya korek api.
Bau rokok masih tercium, samar namun terus-menerus mengganggunya. Ia mencoba mengatur napasnya, menenangkan diri, tapi pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan sosok itu.
"Aku tidak pernah benar-benar pergi."
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Dengan tangan gemetar, Raka mengambil ponselnya dan segera menghubungi Anton.
"Ton… Lo bisa ke kos gue sekarang?" suaranya bergetar.
Di ujung telepon, Anton terdengar bingung. "Lah, ada apaan? Udah tengah malam, Rak."
Raka menelan ludah. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan ini tanpa terdengar seperti orang gila. "Gue nggak bisa tidur. Gue ngerasa kayak ada yang ngawasin."
Anton mendengus. "Serius lo, Rak? Lo masih kepikiran soal itu?"
Raka mengeratkan genggamannya di ponsel. "Gue nggak becanda, Ton."
Suara Anton terdengar lebih serius sekarang. "Oke, gue otw."
Raka menghela napas lega, tapi perasaan tidak nyaman masih menekan dadanya. Ia tidak ingin sendirian.
Ia berdiri perlahan, mencoba memastikan tidak ada yang aneh di kamarnya. Tidak ada sosok itu. Tidak ada suara korek api. Tidak ada yang bergerak.
Tapi saat ia berjalan ke jendela untuk mengambil udara segar, ia melihat sesuatu.
Di luar, di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang redup…
Seseorang berdiri di sana.
Diam. Tidak bergerak.
Asap tipis mengepul dari tangannya.
Raka merasakan jantungnya mencelos.
Itu dia.
Sosok itu masih di sana.
Ia mengawasi.
Dan ia sedang merokok.
Raka buru-buru menutup tirai jendelanya, lalu kembali duduk di ranjang, mencoba mengendalikan rasa paniknya.
Tidak butuh waktu lama sebelum terdengar ketukan di pintu.
"Tok… tok… tok…"
Raka langsung melompat dari tempat tidur dan membuka pintu.
Anton berdiri di sana, dengan ekspresi bingung. "Lo kenapa sih? Pucat banget."
Raka tidak menjawab. Ia langsung menarik Anton masuk dan menutup pintu rapat-rapat.
Anton mengangkat alis. "Dude, serius. Lo kayak orang habis lihat setan."
Raka menelan ludah. "Gue rasa gue memang baru aja lihat."
Anton mengernyit. "Sosok itu lagi?"
Raka mengangguk, lalu berjalan ke jendela dan membuka tirainya sedikit.
Anton ikut mengintip.
Tapi di luar…
Tidak ada siapa-siapa.
Raka merasa dadanya semakin sesak. "Gue yakin dia tadi di sana, Ton."
Anton menatapnya dengan ekspresi serius. "Lo yakin ini bukan cuma pikiran lo aja? Lo udah beberapa hari kurang tidur, kan?"
Raka menggeleng. "Ini bukan delusi, Ton. Bau rokoknya masih ada. Dan tadi di kamar gue—"
Sebelum ia bisa melanjutkan, mereka berdua mendengar sesuatu.
"Ceklek."
Suara korek api dinyalakan.
Tapi kali ini, suara itu tidak berasal dari dalam kamar.
Itu berasal dari luar jendela.
Anton dan Raka langsung membeku.
Dengan gerakan pelan, mereka kembali mengintip ke luar.
Dan di bawah cahaya lampu jalan yang redup, sosok itu sudah kembali.
Ia berdiri di sana, menatap lurus ke arah mereka.
Dan ia tersenyum.
---
Senyuman di Balik Asap
Raka tidak bisa bergerak. Matanya terpaku pada sosok di luar jendela.
Anton, yang berdiri di sampingnya, menelan ludah. "Rak… dia liat ke sini, kan?"
Raka mengangguk pelan.
Sosok itu masih berdiri di sana, di bawah lampu jalan yang redup. Asap rokoknya mengepul di udara, membentuk bayangan aneh yang bergerak-gerak seperti tangan tak terlihat.
Lalu, perlahan…
Ia mengangkat tangannya dan memberi isyarat.
Bukan melambaikan tangan.
Bukan menunjuk.
Tapi mengacungkan dua jari—seperti orang yang meminta korek api.
Anton mundur selangkah. "Oke, ini makin nggak beres."
Raka menutup tirai dengan cepat. Dadanya naik-turun. "Ton… kita harus keluar dari sini."
Anton mengangguk. "Setuju. Gue nggak mau semalaman di kamar ini kalau dia masih di luar."
Mereka segera mengambil jaket dan dompet. Raka memastikan ponselnya ada di saku. Begitu ia membuka pintu kamar kos, angin dingin langsung menyapu wajahnya.
Mereka melangkah cepat keluar, menuruni tangga kos-kosan yang sepi. Hanya ada suara langkah kaki mereka yang menggema di lorong sempit.
Begitu sampai di halaman depan, mereka berhenti.
Jalanan gelap. Hanya ada satu lampu jalan yang menyala.
Dan sosok itu sudah tidak ada.
Anton menghela napas lega. "Mungkin dia udah pergi."
Tapi Raka tidak yakin.
Bau rokok masih ada.
Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri. Tidak ada siapa-siapa. Jalanan sepi.
Tapi entah kenapa, ia merasa seperti masih diawasi.
Anton menepuk bahunya. "Ayo, cabut ke tempat gue aja buat malam ini."
Raka mengangguk dan mereka mulai berjalan cepat menyusuri trotoar. Udara malam semakin dingin, dan setiap kali mereka melewati gang gelap, Raka merasa seperti ada bayangan yang bergerak di sudut matanya.
Setelah berjalan beberapa menit, Anton akhirnya bicara lagi. "Rak, lo yakin orang itu manusia?"
Raka menelan ludah. "Gue nggak tahu, Ton. Tapi kalau dia bukan manusia… terus dia apa?"
Anton tidak menjawab.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang.
"Tap… tap… tap…"
Mereka berdua langsung berhenti.
Anton berbisik, "Lo denger itu?"
Raka mengangguk. Perlahan, mereka menoleh ke belakang.
Jalanan kosong.
Tapi bau rokok semakin menyengat.
Lalu, suara itu terdengar lagi.
"Ceklek."
Nyala api kecil muncul di kegelapan, tidak jauh dari mereka.
Dan di balik nyala itu…
Sosok itu berdiri di sana.
Masih dengan rokok di bibirnya.
Masih dengan senyuman menyeramkan di wajahnya.
Dan kali ini, ia melangkah maju.
Anton langsung menarik tangan Raka. "LARI!"
Mereka langsung berlari sekencang mungkin, tanpa menoleh ke belakang.
Tapi suara langkah kaki itu terus mengikuti.
Semakin dekat.
Semakin cepat.
Dan bau rokok itu…
Semakin kuat.
---
Asap yang Menghilang
Raka dan Anton berlari tanpa henti. Nafas mereka tersengal-sengal, kaki terasa lemas, tapi suara langkah di belakang mereka terus mengikuti.
Bau rokok semakin menyengat, seolah-olah sosok itu semakin dekat.
Anton menoleh sebentar ke belakang—dan langsung menjerit. "RAK, DIA UDAH DEKET BANGET!"
Raka tidak berani melihat. Ia hanya fokus berlari. Tapi jantungnya hampir berhenti saat mendengar suara itu lagi.
"Ceklek."
Suara korek api dinyalakan, tepat di belakang mereka.
Lalu…
Angin dingin tiba-tiba bertiup kencang, seperti badai kecil yang menerpa tubuh mereka.
Suara langkah itu berhenti.
Bau rokok menghilang.
Raka dan Anton spontan berhenti berlari, terengah-engah.
Mereka berdiri di tengah jalan, di bawah lampu jalanan yang redup. Jalanan sepi, tidak ada suara lain selain napas mereka sendiri.
Anton berani melihat ke belakang lebih dulu. "Rak… dia nggak ada."
Raka menoleh perlahan.
Benar.
Tidak ada siapa-siapa.
Sosok itu lenyap begitu saja. Tidak ada jejak, tidak ada tanda-tanda bahwa dia pernah ada.
Tapi…
Di tanah, tepat di tempat mereka tadi berlari, ada sesuatu yang tertinggal.
Sebuah puntung rokok yang masih menyala.
Anton dan Raka saling berpandangan.
Anton berbisik, "Lo yakin dia pergi?"
Raka menatap puntung rokok itu lama. Api kecil di ujungnya perlahan redup, sebelum akhirnya padam.
Ia menghela napas dalam-dalam.
"Aku nggak tahu, Ton."
Malam itu, mereka tidak kembali ke kos Raka. Mereka menginap di rumah Anton dan tidak membicarakan kejadian itu lagi.
Tapi di dalam hati, Raka tahu…
Sosok itu tidak benar-benar hilang.
Ia hanya… menunggu.
Dan suatu hari nanti, ketika ada seseorang yang menyalakan rokok di malam sepi…
"Ceklek."
Ia mungkin akan kembali.
TAMAT.