Bagian 1 – Kematian yang Melahirkan Dendam
Gue udah capek. Capek hidup sebagai pecundang, capek jadi bahan ketawaan cewek-cewek brengsek di sekolah gue dulu. Mereka selalu ngebully gue, ngerendahin gue seolah-olah gue bukan manusia. Gue dipermainkan, dipermalukan, dan dijadikan bahan ejekan tanpa bisa ngelawan.
Gue pikir semuanya bakal berubah pas gue kuliah, tapi ternyata nggak. Mereka masih ada di sekitar gue, dan parahnya, mereka sekarang makin berkuasa. Beberapa dari mereka udah jadi selebgram, model, atau punya pacar kaya raya. Sementara gue? Gue cuma mahasiswa cupu yang berusaha bertahan hidup.
Tapi gue nggak pernah nyangka… hidup gue bakal berakhir dengan cara seburuk ini.
---
"Ih, dasar mesum! Lo ngapain megang gue tadi?!"
Gue kaget pas si Celine tiba-tiba teriak di tengah pesta malam itu. Dia adalah cewek paling populer sejak SMA, dan sekarang dia udah jadi influencer terkenal. Gue nggak ada niat macem-macem, tapi dia sengaja bikin drama seolah-olah gue habis nyentuh dia.
Cewek-cewek lain langsung ngeliatin gue dengan tatapan jijik.
"Gue cuma lewat, sumpah!" gue berusaha ngebela diri.
Tapi semuanya nggak peduli. Pacar Celine, cowok sialan yang berotot gede, langsung mukul gue tanpa babibu. Gue jatuh ke lantai, ngerasain darah mengalir di bibir gue. Semua orang malah ketawa, seolah gue ini badut di pesta mereka.
"Lo keterlaluan, Nor!" suara Celine penuh kebencian. "Lo pikir siapa yang mau disentuh sama cowok loser kayak lo? Jijik banget, tahu nggak?!"
Gue tau gue nggak bakal menang kalo ngelawan. Jadi gue lari. Gue keluar dari villa tempat pesta itu diadakan dan masuk ke hutan kecil di belakangnya. Nafas gue ngos-ngosan, dada gue sakit karena dipukul tadi. Tapi sebelum gue bisa jauh, suara langkah kaki nyusul gue.
"Lo pikir bisa kabur gitu aja, hah?" suara Celine menggema di belakang gue.
Gue berbalik dan langsung ngerasa ketakutan. Dia nggak sendirian. Ada empat cewek lain bersamanya. Mereka semua adalah cewek-cewek yang pernah ngebully gue sejak SMA.
Gue sadar, gue dalam bahaya.
"Gue nggak ngelakuin apa-apa!" gue coba menjelaskan lagi, tapi mereka nggak peduli.
Salah satu dari mereka, Vina, nyengir sambil melipat tangan. "Biarin aja, Cel. Pecundang kayak dia emang cocok dapet pelajaran."
Sebelum gue bisa ngerespon, Celine tiba-tiba nyodorin pisau kecil ke dada gue. Mata gue melebar. Gue nggak pernah nyangka mereka bakal sekacau ini.
"Lo tau, Nor? Gue benci banget sama lo sejak dulu. Lo tuh kayak sampah yang nggak seharusnya ada di dunia ini."
Dan sebelum gue bisa bilang apa-apa lagi, dia nusuk gue.
Rasa sakitnya luar biasa. Dingin. Tubuh gue goyah, darah mulai mengalir dari luka di perut gue. Gue ngerasa lemes, kaki gue kehilangan tenaga. Gue jatuh ke tanah, sementara mereka cuma ketawa.
"Bye, Nor. Anggap ini hadiah perpisahan dari kita."
Lalu semuanya gelap.
---
Gue nggak tau berapa lama gue mati. Tapi tiba-tiba, gue sadar. Gue berdiri di tempat yang nggak gue kenal—sebuah ruangan gelap tanpa ujung.
Dan di depan gue, ada sosok bayangan aneh yang cuma punya dua mata merah menyala.
"Dendam… Lo punya dendam besar…"
Suaranya menggema di kepala gue, bikin gue merinding. Tapi gue nggak takut. Gue udah mati. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari ini?
"Lo mau kekuatan untuk balas dendam?"
Gue nggak ragu. "Ya."
Bayangan itu mendekat. Mata merahnya bersinar semakin terang, lalu tiba-tiba tubuh gue terasa panas. Otak gue dipenuhi informasi baru, kekuatan baru. Gue bisa… mengendalikan pikiran orang lain.
Hipnotis.
Dan dalam sekejap, gue kembali hidup. Gue terbangun di tempat gue mati, dengan luka yang hilang, tubuh yang segar… dan kekuatan baru di tangan gue.
Gue tersenyum.
Sekarang, giliran gue yang bermain.
---
Bagian 2 – Uji Coba Kekuatan dan Balas Dendam Pertama
Gue berdiri di depan cermin kamar gue, menatap refleksi diri sendiri. Gue masih nggak percaya. Gue hidup lagi. Luka yang sebelumnya ada di perut gue udah hilang, seolah-olah kejadian malam itu nggak pernah terjadi. Tapi gue tahu itu nyata. Gue inget semuanya.
Dan sekarang… gue punya kekuatan.
Gue meremas tangan gue sendiri. Rasanya ada sesuatu yang berbeda dalam diri gue—kayak ada energi yang mengalir deras di kepala gue, memenuhi seluruh tubuh gue. Seakan-akan gue bisa ngelihat dunia dengan cara yang baru.
"Hipnotis, ya?" gumam gue pelan.
Gue nggak ngerti cara kerjanya, tapi entah kenapa, gue tahu gimana cara makainya. Kayak insting yang tiba-tiba muncul dalam kepala gue.
Gue harus coba.
---
Eksperimen Pertama
Gue pergi ke sebuah kafe yang nggak jauh dari kampus. Waktu itu masih siang, dan tempat ini lumayan rame. Gue duduk di pojok ruangan, merhatiin orang-orang di sekitar gue.
Gue harus mulai dari yang kecil.
Gue menatap seorang barista cewek yang lagi sibuk di belakang meja kasir. Dia kelihatan capek, mukanya serius banget pas nyiapin pesanan pelanggan. Gue nyoba fokus ke matanya. Ada sesuatu yang berdenyut di kepala gue, kayak getaran halus.
"Lihat ke arah gue."
Gue nggak ngomong, tapi gue ngerasain sesuatu yang keluar dari pikiran gue dan mengarah ke dia. Dan detik berikutnya, cewek itu mendongak. Tatapan kami bertemu.
Gue ngerasain sesuatu yang mengikat antara gue dan dia. Detik itu juga, mukanya berubah. Dari yang tadinya serius dan sibuk, sekarang kelihatan bingung, kayak orang linglung.
Gue coba ngomong pelan, "Tersenyum."
Dan dia langsung tersenyum.
"Lambaikan tangan ke gue."
Tangan cewek itu terangkat, melambai ke arah gue tanpa ekspresi, padahal dia jelas-jelas lagi kerja. Pelanggan yang berdiri di depan kasir kelihatan bingung.
Gue nyengir. Ini gila. Ini nyata.
Tapi gue nggak boleh buru-buru. Gue masih harus nguji batas kekuatan ini.
Gue melepas hipnotisnya. Seketika, cewek itu kembali sadar, dan dia keliatan kebingungan sendiri, kayak orang lupa sesuatu. Gue bayar minuman gue, lalu keluar dari kafe dengan perasaan puas.
Gue bisa mengendalikan orang.
Dan sekarang… waktunya nyari target utama gue.
---
Target Pertama – Vina
Gue mulai dari orang yang paling gampang dulu. Celine adalah target utama gue, tapi dia populer, selalu dikelilingi banyak orang. Gue butuh waktu untuk nyari celah.
Tapi Vina? Dia lebih gampang.
Gue dapet info dari media sosialnya kalau dia suka nge-gym tiap sore di tempat deket apartemennya. Itu sempurna. Dia pasti bakal sendirian di sana.
Sore itu, gue datang ke gym yang dimaksud. Tempatnya cukup besar, tapi nggak terlalu rame. Gue masuk, pura-pura jadi orang biasa yang mau olahraga. Gue nyari Vina, dan langsung nemuin dia di area treadmill.
Dia masih secantik dulu. Rambutnya dikuncir tinggi, pake sport bra ketat yang ngegambar jelas lekuk tubuhnya. Dia lari di treadmill dengan fokus, kupingnya ketutup headset.
Gue jalan pelan ke arahnya. Jantung gue mulai deg-degan, tapi bukan karena gugup—karena semangat.
Gue berdiri di sampingnya, lalu gue mulai ngeaktifin kekuatan gue.
"Lihat ke arah gue, Vina."
Perlahan, dia melambatkan larinya. Matanya beralih ke gue. Dan saat tatapan kami bertemu… boom. Kontak terjadi.
Gue senyum tipis. "Dengar suara gue baik-baik."
Ekspresinya berubah. Matanya sedikit kosong, dan napasnya melambat.
"Lo bakal ngikutin semua yang gue bilang."
"Iya…" suaranya lirih, kayak orang setengah sadar.
Gue ngerasa otak gue mulai panas. Ini lebih dalam dari yang gue lakuin ke barista tadi. Kali ini, gue benar-benar masuk ke pikirannya.
"Matikan treadmillnya."
Dia nurut. Gue ngeliat badannya sedikit berkeringat, dadanya naik turun pelan karena habis olahraga. Gue senyum lebar.
"Ikut gue ke ruang loker."
Vina langsung turun dari treadmill dan jalan di belakang gue kayak robot. Orang-orang lain nggak ngeh sama sekali. Ini lebih gampang dari yang gue kira.
Kami masuk ke ruang loker cewek. Beruntung, lagi sepi. Gue nutup pintunya, lalu nyuruh dia duduk di bangku panjang di tengah ruangan.
Gue jongkok di depannya, tatap matanya lebih dalam lagi.
"Ingat gue, Vina?" tanya gue pelan.
Dia diam sebentar. Matanya masih kosong. "Iya…"
"Siapa gue?"
"Nor…" suaranya hampir nggak kedengeran.
Gue ketawa kecil. "Bagus. Lo inget apa yang lo lakuin ke gue?"
Vina berkedip beberapa kali, kayak lagi berusaha mikir. "Gue… gue nggak tahu…"
Gue nyentuh dahinya pakai dua jari. "Lo bakal inget semuanya sekarang."
Mata Vina melebar, dan napasnya tersentak. Detik itu juga, dia kayak baru sadar.
"Lo?! Lo nggak mungkin… Lo udah mati!" suaranya bergetar.
Gue ketawa pelan. "Gue hidup lagi, Vin. Dan sekarang, gue bakal pastiin lo ngerasain apa yang gue rasain."
Vina mau bangun, tapi sebelum dia sempet ngapa-ngapain, gue ngomong, "Jangan bergerak."
Tubuhnya langsung kaku di tempat. Dia megap-megap, matanya penuh ketakutan.
Gue menyeringai puas. Ini baru awal. Gue belum selesai.
"Mulai sekarang, lo bakal jadi mainan gue. Lo nggak bakal bisa ngelawan. Lo bakal nurut apapun yang gue bilang."
Vina menggigit bibirnya sendiri, matanya berkaca-kaca. "Tolong… Nor, gue minta maaf…"
Gue mencengkeram dagunya pelan, nyuruh dia menatap gue lebih dalam lagi.
"Maaf?" Gue ketawa sinis. "Maaf lo nggak ada artinya. Lo bakal bayar semua yang lo lakuin ke gue."
Gue mendekatkan wajah gue ke kupingnya, lalu berbisik.
"Dan lo bakal menikmati setiap detiknya."
---
Bagian 3 – Meningkatkan Kekuatan dan Target Baru
Gue keluar dari gym dengan senyum tipis di wajah. Napas gue masih stabil, tapi jantung gue berdebar cepat. Bukan karena takut—karena puas.
Vina udah jadi uji coba pertama yang sukses. Dia sepenuhnya ada di bawah kendali gue. Gue bisa ngontrol dia kayak boneka, bisa bikin dia nurut apapun yang gue mau.
Tapi ini baru awal.
Gue masih harus nguji batas kekuatan gue lebih jauh. Seberapa kuat gue bisa ngontrol seseorang? Berapa lama efeknya bertahan? Bisa nggak gue ngubah kepribadian seseorang secara permanen?
Gue butuh lebih banyak percobaan. Dan gue tahu target berikutnya.
Celine.
---
Menyiapkan Perangkap
Gue balik ke kamar dan mulai riset. Celine adalah cewek paling populer di kampus. Dia punya segalanya—kecantikan, uang, dan pengaruh sosial. Dia bukan sekadar orang yang suka ngebully gue dulu. Dia adalah dalang di balik semuanya.
Kalau ada orang yang paling pantas kena balas dendam, itu dia.
Tapi dia juga yang paling sulit dijebak. Dia selalu dikelilingi orang, selalu ada di tempat ramai. Kalau gue mau ngejerat dia, gue butuh strategi.
Gue mulai dengan sesuatu yang simpel—mengawasi.
Gue pake akun fake buat ngikutin media sosialnya. Gue baca postingannya, lihat kebiasaannya. Dari sana, gue nemu pola. Setiap minggu, dia dan gengnya selalu nongkrong di lounge eksklusif di pusat kota. Tempat itu nggak sembarang orang bisa masuk, tapi gue punya cara.
---
Mencoba Hipnotis Jarak Jauh
Sebelum gue lanjut ke rencana utama, gue kepikiran satu hal. Selama ini gue selalu perlu tatap muka buat ngehipnotis seseorang. Tapi gimana kalau gue bisa ngontrol orang dari jauh?
Gue butuh seseorang buat uji coba ini.
Gue buka kontak lama gue dan nemu satu nama—Lisa.
Dulu dia termasuk cewek yang sering ketawa kalau gue dibully, meskipun dia nggak pernah ikut langsung. Tapi tetep aja, dia nggak pernah nolong gue.
Gue cari tahu keberadaannya. Nggak susah, karena dia sering update lokasi di media sosial. Gue nemuin dia lagi nongkrong di kafe.
Gue tutup mata, fokus, dan coba sesuatu yang baru.
"Lisa, lihat ke layar HP lo dan baca pesanku."
Gue kirim pesan lewat akun fake gue: "Pergi ke kamar mandi sekarang."
Gue buka mata, lalu mantau lewat CCTV kafe yang bisa gue akses dari dark web. Lisa tiba-tiba berhenti ngobrol sama temen-temennya, ngambil HP-nya, dan baca pesan gue. Detik berikutnya, dia berdiri dan jalan ke kamar mandi.
Gue merinding. Berhasil.
Hipnotis gue bisa bekerja lewat teks juga.
Ini membuka kemungkinan baru. Sekarang gue bisa ngejerat Celine tanpa perlu ketemu langsung.
---
Eksekusi Rencana – Menjerat Celine
Malam itu, gue pergi ke lounge tempat Celine biasa nongkrong. Gue pake jas rapi, bawa kartu VIP yang gue dapet dengan cara yang nggak perlu lo tahu.
Gue masuk tanpa masalah. Musik elektronik berdentum, lampu redup berwarna ungu dan biru, orang-orang kaya sibuk pesta dan ngobrol.
Gue nemuin Celine di area VIP, duduk di sofa mewah bareng beberapa cowok kaya yang jelas-jelas nyari perhatian dia.
Gue duduk di meja sebelah, pesen minuman, lalu mulai bekerja.
Gue buka HP gue dan kirim pesan ke dia.
"Pergi ke balkon sekarang."
Gue fokus, kirim sugesti lewat pikiran gue.
Gue mantau dari jauh. Celine tiba-tiba berhenti ngobrol, mukanya sedikit bingung. Dia ngelihat HP-nya, lalu berdiri dan jalan ke balkon tanpa bilang apa-apa ke temen-temennya.
Gue senyum.
Gue berdiri, jalan santai ke arah balkon, lalu nutup pintunya begitu gue masuk. Sekarang cuma ada gue dan dia.
Dia menatap gue dengan mata kosong. Dia masih dalam pengaruh hipnotis.
"Celine," panggil gue pelan.
Dia menoleh. "Hah…?"
"Lihat mata gue."
Dia diam sejenak, lalu matanya menatap langsung ke gue.
Boom. Sambungan terjadi.
Detik itu juga, tubuhnya melemas, tatapannya kehilangan fokus.
"Lo inget gue?" tanya gue.
Celine nggak langsung jawab. Butuh beberapa detik sebelum dia bicara. "Nor…?"
Gue tersenyum puas.
"Bagus. Sekarang, lo bakal dengerin gue baik-baik."
Celine berdiri diam, napasnya pelan.
"Lo selalu nganggep gue nggak berharga, kan? Gue nggak lebih dari serangga buat lo. Tapi sekarang… lo bakal sadar sesuatu."
Gue deketin dia, berbisik di telinganya. "Mulai sekarang, lo bakal percaya kalau gue adalah orang paling penting dalam hidup lo."
Gue masukkan sugesti lebih dalam. Ini bukan sekadar perintah sederhana. Gue menanamkan ide di otaknya, membentuk ulang pikirannya.
Mata Celine sedikit berkedip. Dia kelihatan bingung, lalu menatap gue lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda di matanya.
Ada kekaguman.
Ada ketergantungan.
Gue ketawa kecil.
"Besok, lo bakal ngehubungin gue duluan. Lo bakal ngajak gue ketemu. Lo bakal mulai jatuh ke dalam perangkap gue, pelan-pelan."
Celine mengangguk pelan, seakan itu adalah ide yang datang dari pikirannya sendiri.
Gue melepas kontrol gue, lalu mundur selangkah. Celine terlihat sedikit bingung, seperti orang yang baru bangun tidur.
"Nor…?" tanyanya pelan, nada suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Gue hanya tersenyum. "Kita ketemu besok, oke?"
Celine mengangguk tanpa sadar.
Gue berbalik, meninggalkan balkon, meninggalkan dia berdiri di sana dengan pikirannya yang mulai gue kendalikan.
Ini baru permulaan. Gue bakal merobohkan hidupnya dari dalam. Perlahan. Tanpa dia sadari.
Dan dia bakal jatuh ke dalam kehancuran yang gue rencanakan.
---
Bagian 4 – Jatuh ke Dalam Perangkap
Pagi itu, gue bangun dengan perasaan puas. Semalam adalah langkah besar. Celine, cewek paling berpengaruh di kampus, udah mulai jatuh ke dalam perangkap gue.
Gue cek HP gue.
Satu pesan masuk dari nomor yang nggak gue simpan.
Celine: “Nor… lo lagi di mana?”
Gue nyengir.
Gue bales santai. “Kenapa?”
Beberapa detik kemudian, dia langsung bales. “Gue pengen ketemu lo.”
Sempurna.
---
Memperkuat Kendali
Gue ngajak dia ketemu di kafe yang cukup sepi. Ketika gue sampai, dia udah di sana, duduk dengan ekspresi yang agak… bingung.
Gue duduk di depannya, senyum tipis. "Ada apa?"
Dia menatap gue dengan mata yang berbeda dari sebelumnya. Biasanya, dia selalu arogan, merasa lebih tinggi dari orang lain. Tapi sekarang, ada ketidakpastian di matanya.
"Gue nggak ngerti," katanya pelan. "Kenapa gue jadi kepikiran lo terus?"
Gue bersandar, menahan tawa. Ini menarik. Hipnotis gue bukan cuma ngasih sugesti sementara. Itu benar-benar mengubah cara dia berpikir.
"Mungkin karena lo sadar sesuatu yang selama ini lo abaikan," kata gue, menanamkan sugesti lebih dalam.
Dia mengerutkan kening. "Sadar apa?"
Gue menatap matanya dalam-dalam. "Kalau gue lebih penting daripada yang lo pikir."
Mata Celine sedikit berkedip, napasnya tertahan. Sekarang, saatnya gue ngeuji sesuatu.
Gue mencondongkan badan sedikit, menurunkan suara gue. "Celine, lo percaya sama gue, kan?"
Dia menelan ludah. "Iya."
"Lo bakal dengerin semua yang gue bilang?"
Dia ragu sebentar, tapi akhirnya mengangguk. "Iya."
Boom.
Ini dia. Gue baru aja ngunci kendali penuh atas pikirannya.
Sekarang, Celine bukan lagi si ratu kampus yang dulu ngebully gue. Sekarang, dia adalah pion gue.
Tapi ini baru awal. Gue nggak cuma mau ngejatuhin dia. Gue mau ngebangun sesuatu yang lebih besar.
---
Membentuk Jaringan Kekuasaan
Gue mulai pelan-pelan.
Celine adalah gerbang ke lingkaran sosial kelas atas. Dari dia, gue bisa menjangkau orang-orang lain—cewek-cewek lain yang dulu ikut ngebully gue.
Gue manfaatin posisi dia buat ngeatur pertemuan dengan mereka, satu per satu.
Setiap kali ada pertemuan, gue ngelakuin hal yang sama: sugesti halus, hipnotis ringan, sampai akhirnya mereka mulai tunduk pada gue tanpa mereka sadari.
Dalam waktu sebulan, gue udah punya jaringan.
Cewek-cewek yang dulu ngerendahin gue, sekarang tanpa sadar selalu nurut sama gue. Mereka ngerasa ada sesuatu dalam diri gue yang bikin mereka nggak bisa nolak.
Gue bukan lagi Nor yang dulu.
Sekarang, gue yang pegang kendali.
Dan ini baru permulaan.
---
Menarik Perhatian yang Salah
Gue pikir semuanya berjalan lancar. Tapi ternyata, ada satu masalah yang nggak gue prediksi.
Suatu malam, saat gue lagi nyusun rencana buat langkah selanjutnya, HP gue bergetar.
Nomor nggak dikenal.
Gue angkat. "Halo?"
Suara di seberang sana berat dan serius. "Kita perlu bicara."
Gue menyipitkan mata. "Siapa ini?"
"Ada hal aneh terjadi di kampus akhir-akhir ini. Dan semua jejaknya mengarah ke lo."
Jantung gue berdegup cepat. Siapa orang ini? Dan gimana dia bisa nyadar?
"Besok malam, gudang tua di belakang kampus. Datang sendirian," lanjut suara itu. "Atau lo bakal nyesel."
Telepon terputus.
Gue menatap layar HP dengan ekspresi dingin.
Ada seseorang yang mulai curiga.
Dan kalau gue nggak hati-hati, seluruh rencana gue bisa runtuh dalam sekejap.
---
Bagian 5 – Musuh yang Tak Terduga
Gue duduk di kamar, mata masih terpaku di layar HP. Telepon tadi masih terngiang di kepala gue.
"Besok malam, gudang tua di belakang kampus. Datang sendirian, atau lo bakal nyesel."
Siapa dia? Gimana dia bisa tahu?
Gue udah ngerasa di atas angin selama ini. Celine dan gengnya sekarang tunduk sama gue. Semua yang dulu ngebully gue, sekarang ada di bawah kendali gue. Gue udah ngerasa jadi penguasa di kampus ini.
Tapi kalau ada seseorang yang mulai curiga, itu artinya gue masih punya celah.
Dan gue benci ada celah.
---
Pertemuan di Gudang Tua
Besok malam, gue jalan ke belakang kampus. Gudang tua yang dia maksud udah kelihatan dari jauh, bangunannya udah setengah rubuh, jarang ada orang ke sini.
Begitu masuk, gue lihat seseorang berdiri di tengah ruangan, pakai hoodie hitam.
"Lo beneran dateng," katanya.
Suaranya… cewek.
Gue melangkah lebih dekat, nyoba lihat wajahnya, tapi lampu redup bikin susah. "Siapa lo?"
Dia tertawa kecil. "Lo nggak kenal gue? Aneh. Padahal gue tahu banyak tentang lo, Nor."
Oke, ini mulai nggak enak. "Mau apa lo?"
Dia ngelangkah ke depan, dan akhirnya cahaya lampu mengenai wajahnya.
Gue kaget.
Itu Nadine.
Dulu, dia bukan bagian dari geng Celine, tapi dia juga nggak pernah ngebully gue. Gue nggak pernah anggap dia musuh. Jadi, kenapa dia tiba-tiba muncul kayak gini?
"Gue udah lama ngeliatin lo, Nor," katanya pelan. "Gue tahu ada yang aneh sejak lo berubah. Gue tahu lo udah ngelakuin sesuatu ke Celine dan yang lainnya."
Jantung gue mulai berdetak lebih cepat. "Lo nggak punya bukti."
Dia menyeringai. "Oh, gue punya. Dan kalau lo pikir gue bakal diem aja, lo salah besar."
Sial.
Gue harus ngelakuin sesuatu.
---
Strategi Baru
Gue menarik napas, menenangkan diri. "Dengerin gue, Nadine," gue berkata dengan suara tenang. "Lo nggak ngerti apa yang terjadi sebenarnya."
Dia menyipitkan mata. "Jelasin."
Bagus, dia mau dengerin. Ini kesempatan gue buat ngehipnotis dia.
Gue menatap matanya dalam-dalam, mulai memperlambat suara gue, ngebentuk pola yang bisa masuk ke alam bawah sadarnya.
"Lo penasaran sama gue, kan?"
Dia mengerutkan kening. "Apa?"
"Lo selalu merhatiin gue. Selalu kepikiran tentang gue."
Matanya sedikit berkedip, napasnya mulai berubah.
"Lo suka sama gue, Nadine. Lo nggak bisa berhenti mikirin gue."
Dia mulai goyah.
Hampir kena.
Tapi tiba-tiba, dia mengangkat sesuatu dari saku jaketnya.
Sebuah rekaman suara.
"Gue udah siap sama trik lo, Nor."
Damn!
---
Perang yang Sesungguhnya Dimulai
Gue mundur selangkah. Nadine bukan orang biasa. Dia tahu tentang gue, dan dia udah nyiapin rencana buat ngejebak gue.
"Gue nggak bakal laporin lo ke polisi," katanya. "Belum."
Gue menyipitkan mata. "Maksud lo?"
Dia tersenyum. "Gue punya syarat."
Gue nggak suka arah pembicaraan ini. "Syarat apa?"
Dia melangkah lebih dekat, suaranya berbisik. "Sekarang, lo kerja buat gue."
Gue membeku.
"Mulai sekarang, kita main di level yang lebih tinggi, Nor," katanya sambil tersenyum sinis. "Lo bukan penguasa di sini. Gue yang pegang kendali."
Darah gue berdesir.
Gue pikir gue udah menang.
Tapi ternyata, ini baru awal dari perang yang sesungguhnya.
---
Bagian 6 – Perang Manipulasi
Gue berdiri diam, mencerna kata-kata Nadine.
"Lo kerja buat gue."
Kata-kata itu bergema di kepala gue. Selama ini, gue yang mengendalikan keadaan, tapi sekarang ada seseorang yang bisa membalikkan permainan.
Gue mengepalkan tangan. "Kenapa gue harus tunduk sama lo?"
Nadine tersenyum sinis. "Karena gue punya bukti. Lo tahu betul kalau rekaman ini cukup buat ngancurin lo."
Gue menatapnya tajam. Kalau gue nekat nyoba ngehipnotis dia sekarang, besar kemungkinan dia udah punya rencana cadangan.
Gue harus lebih pintar.
"Oke," kata gue akhirnya. "Gue bakal main sesuai aturan lo. Tapi lo harus jelasin dulu apa maunya."
Dia nyengir. "Bagus. Lo cepat belajar."
Dia memasukkan rekaman itu ke sakunya dan menatap gue dengan ekspresi penuh kemenangan. "Gue mau lo pakai kemampuan lo buat bantu gue dapetin sesuatu."
"Apa?"
"Kekuasaan."
Gue mengernyit. "Lo serius?"
Nadine melipat tangan. "Selama ini lo cuma pakai kekuatan lo buat balas dendam. Itu kecil. Gue punya visi lebih besar. Lo bisa kendaliin orang, kan? Kenapa nggak sekalian kendaliin semuanya?"
Darah gue berdesir.
Cewek ini… gila.
---
Aliansi yang Berbahaya
Gue masih nggak sepenuhnya percaya sama dia, tapi untuk sekarang, gue pura-pura setuju.
"Lo mau mulai dari mana?" tanya gue.
Dia menyeringai. "Dari kampus ini dulu. Kita kuasai semua orang yang punya pengaruh. Presiden mahasiswa, dosen, bahkan kepala kampus."
Gue mulai ngerti pola pikirnya. Dia nggak mau sekadar balas dendam kayak gue. Dia mau nguasain sistem.
Dan itu… menarik.
Gue bisa lihat potensi dalam idenya. Kalau gue gabung sama dia, mungkin kekuatan gue bisa berkembang lebih jauh.
Tapi gue juga tahu satu hal.
Gue nggak bisa percaya dia.
---
Langkah Pertama: Menaklukkan Pemimpin Kampus
Target pertama Nadine adalah presiden mahasiswa, Reza. Cowok itu punya koneksi luas, kalau dia jatuh di bawah kendali kita, jalan buat nguasain kampus bakal lebih gampang.
Kita mulai gerak. Gue dan Nadine mulai mengamati kebiasaan Reza, mencari celah buat ngehipnotis dia.
Sampai akhirnya, kesempatan datang.
Gue sengaja bikin skenario di mana gue dan Reza ketemu di perpustakaan. Gue ngajak dia ngobrol santai, masukin sugesti halus, dan perlahan mulai ngehipnotis dia.
"Reza, lo percaya sama gue, kan?"
Dia mengerutkan kening, tapi nggak sadar kalau pikirannya mulai goyah. "Hmm… iya…"
"Lo mau bantu gue dalam segala hal, kan?"
"Iya…"
Boom.
Reza sekarang milik gue.
Nadine yang ngeliatin dari kejauhan tersenyum puas. "Bagus, Nor. Kita baru aja ngeklaim langkah pertama kita."
---
Tapi… Ada Pengkhianatan
Malamnya, gue duduk di kamar, mikirin apa yang baru aja terjadi.
Gue berhasil ngehipnotis Reza, tapi ada satu hal yang mengganggu gue.
Kenapa Nadine tiba-tiba muncul di hidup gue?
Kenapa dia tahu banyak tentang gue?
Gue mulai menyusun teori.
Dan akhirnya, satu kesimpulan muncul di kepala gue.
Nadine udah ngawas gue sejak lama.
Mungkin bahkan sebelum gue punya kekuatan ini.
Gue nggak bisa percaya dia.
Kalau gitu, gue harus nyusun rencana buat ngehancurin dia duluan.
---
Bagian 7 – Akhir dari Segalanya
Malam itu gue nggak bisa tidur. Pikiran gue penuh dengan satu hal: Nadine.
Dia muncul tiba-tiba, tahu terlalu banyak, dan sekarang mau pakai gue buat ambisinya sendiri. Gue nggak suka dikendalikan. Sejak pertama gue dapet kekuatan ini, gue janji sama diri sendiri kalau gue yang bakal jadi penguasa.
Bukan dia.
Jadi, kalau Nadine mau main perang otak sama gue… gue bakal pastiin dia kalah.
---
Rencana Penghancuran
Gue mulai dengan satu langkah simpel: mengintai Nadine.
Gue pura-pura kerja sama dengannya, bantu dia ngehipnotis beberapa orang lain, termasuk beberapa dosen yang bisa bikin hidup kita makin gampang di kampus.
Tapi di balik layar, gue nyari tahu lebih banyak soal dia.
Dan akhirnya, gue nemuin sesuatu yang menarik.
Nadine bukan orang biasa.
Dia ternyata punya koneksi dengan seseorang yang lebih besar. Ada orang di balik layar yang mungkin lebih kuat dari kita berdua.
Gue tahu ini bukan lagi soal siapa yang bisa ngehipnotis siapa. Ini soal siapa yang lebih licik.
Dan gue nggak punya pilihan lain selain menyingkirkan Nadine duluan.
---
Menjebak Sang Ratu
Gue menyiapkan perangkap buat dia.
Gue pura-pura ngajak dia ketemuan di tempat yang sepi, sebuah ruangan kosong di lantai tiga gedung lama kampus yang jarang dipakai.
Begitu dia masuk, gue langsung kunci pintunya.
Dia menoleh ke gue, senyumnya tetap ada. "Oh? Jadi sekarang lo mulai main kasar?"
Gue melangkah mendekat, mata gue langsung nyari kontak dengan matanya.
"Nadine, lo mulai capek. Lo mulai kehilangan fokus."
Dia mengerutkan kening, tapi napasnya mulai berubah. "Nor, lo pikir gue nggak siap sama ini?"
Sial.
Tiba-tiba, dia menarik sesuatu dari saku jaketnya.
Sebuah kaca kecil.
"Lo tahu apa kelemahan lo, Nor?" katanya sambil mengangkat kaca itu. "Lo terlalu percaya diri."
Gue nggak ngerti maksudnya, sampai akhirnya gue lihat refleksi gue sendiri di kaca itu.
Dan dalam sepersekian detik…
Gue terjebak dalam hipnosis gue sendiri.
---
Permainan Berbalik
Gue jatuh berlutut, kepala gue pusing. Nadine masih berdiri di depan gue, menatap dengan tatapan penuh kemenangan.
"Gue udah tahu dari awal, Nor," katanya pelan. "Gue udah tahu cara lo main, dan gue tahu cara ngalahin lo."
Sial.
Gue nggak nyangka dia bakal pakai trik ini.
Gue kena perangkap gue sendiri.
Dia berjongkok di depan gue, menepuk pipi gue pelan. "Gue suka sama lo, Nor. Lo itu berbakat. Tapi lo terlalu gampang ditebak."
Gue menggigit bibir, mencoba melawan efek hipnosis. "Lo… nggak bakal menang… Nadine…"
Dia tersenyum. "Oh, gue nggak perlu menang. Gue cuma perlu pastiin lo nggak bisa ngelawan gue lagi."
---
Akhir dari Segalanya
Dalam keadaan setengah sadar, gue bisa ngerasain Nadine ngebisikin sesuatu ke telinga gue.
"Mulai sekarang, lo bukan siapa-siapa lagi."
"Lo bakal lupa semua kekuatan lo."
"Dan lo bakal kembali jadi pecundang seperti dulu."
"Selamat tinggal, Nor."
Setelah itu, semuanya gelap.
---
Epilog
Gue bangun keesokan paginya dengan kepala berat. Gue ada di kamar gue, tapi ada sesuatu yang aneh.
Gue mencoba mengingat apa yang terjadi kemarin malam…
Tapi nggak ada apa-apa di kepala gue.
Kosong.
Gue melihat ke cermin dan entah kenapa, gue ngerasa ada sesuatu yang hilang dari diri gue.
Tapi gue nggak tahu apa.
Di luar sana, Nadine masih berjalan dengan senyum kemenangannya.
Dan gue?
Gue cuma anak biasa yang nggak tahu apa-apa.
---
TAMAT.