"Aku tak mengerti apa itu cinta… apa itu menjadi dewasa, atau hal semacam itu."
Aku pertama kali merasakan hal ini di kelas 10 SMA. Terjebak dalam delusi yang selama ini menghantuiku. Dia duduk di barisan meja jauh di sana, sendirian, hanya ditemani secarik kertas dan pensil di tangannya.
Namanya Tiara. Saat yang lain sibuk dengan urusan mereka, dia terperangkap dalam dunianya sendiri. Gadis berperawakan kecil dengan rambut pendek itu tersenyum sendiri, menatap goresan pensil di kertasnya.
"Mungkin dia sama sepertiku…"
Aku mengetuk-ngetukkan pensil di meja, memandangnya dari jauh.
Sebelum lanjut, perkenalkan, aku Setiawan Anugrah Putra. Aku jarang keluar kelas, sibuk dengan pelajaran, berusaha memenuhi ekspektasi orang tua dan orang-orang di sekitarku. Aneh? Mungkin. Tapi semakin lama, aku merasa hidupku penuh kepalsuan. Aku tidak pernah benar-benar jujur pada diriku sendiri.
Saat melihat Tiara, aku merasa seperti melihat diriku. Ketika masih di kelas 7 SMP. Aku juga jarang bergaul, lebih suka menyendiri, dan tidak peduli dengan pandangan orang lain. Aku merasa dunia ini bukan tempatku, seolah aku berbeda dari mereka dan yang kuingat hanyalah cacian mereka.
"GAMBAR MULU, KAYAK ANAK KECIL!" ujar salah satu teman dengan senyum sinis.
"MEMANGNYA KENAPA? APA SALAHNYA?! SETIDAKNYA GUA PUNYA HOBI DARIPADA LUH!" balasku dalam ingatan itu, penuh amarah.
Sejak saat itu, aku sadar dunia ini tidak selalu menerima orang yang jujur pada dirinya sendiri. Maka di SMA, aku berubah. Aku mengikuti arus, berpikir tentang masa depan seperti yang diharapkan orang lain. Aku menekan keinginanku, berdiri di balik tembok kapitalisme yang memaksa setiap orang untuk mengejar uang dan kebahagiaan semu.
"Apa gunanya uang dan harta jika tak ada kebebasan di dalamnya?"
Kadang aku berpikir tentang surga dan neraka. Jika memang ada, untuk apa semua ini? Kenapa orang-orang tetap hidup dalam kepalsuan dan pengkhianatan, seakan ‘taubat bisa nanti’ karena Tuhan Maha Pengampun? Aku hanya ingin keluar dari sangkar ini dan menikmati dunia dengan caraku sendiri.
Lamunanku terhenti saat aku meraba-raba bawah meja, mencari sesuatu.
"Eh, Fis, lu liat gambar gua nggak? Tadi ada di bawah meja." tanyaku.
"Gak ada, kayaknya dibawa Bela." jawab Barfis.
Aku berjalan ke meja Bela, seorang siswi dengan seragam berantakan.
"Bel, tadi gambar gua mana?"
"Ini, Wan. Tadi gua cuma nunjukin ke temen-temen." katanya sambil menyerahkan kertas itu.
Aku mengucapkan terima kasih, lalu berbalik, dan saat itulah aku melihatnya, Tiara. Dia sedang menggambar sendiri. Saat mataku bertemu dengannya, dia langsung menutupi gambarnya dan menatapku dengan ekspresi cemas.
Merasa canggung, aku memilih pergi. Aku tidak paham maksud dari sikapnya itu. Tapi aku merasa… aku pernah berada di posisinya.
"Anak aneh! Padahal cuma mau diajak gambar bareng, kenapa jutek banget?" gerutuku sambil menaruh kepala di atas meja.
Barfis menoleh.
"Lu ngomongin siapa, Wan?" Tanya barfis dengan bingung
"Itu, anak yang duduk di belakang Bela. Lu tau dia siapa?" Jawab ku
"Oh, si Tiara. Emang dia pendiem dari dulu. Pas SMP juga gitu."
"Lu dulu sekelas sama dia?" tanyaku heran.
"Iya, pernah."
Aku termenung. Seakan ada tembok besar yang memisahkan dia dari dunia luar.
Beberapa hari berlalu, Saat setelah tugas kelompok, tanpa sadar kami mulai berbagi banyak hal. Tiara melihat dan ternyata suka dengan karakter yang kugambar.
"Ini kamu yang buat? Keren banget!" katanya antusias.
"Seriusan? Padahal gua ngerasa ini biasa aja."
"Enggak, aku serius! Boleh aku redraw?"
"Boleh banget!"
Dalam hati ku berkata "nih bocah kenapa dah?,tumben ngajak ngobrol duluan".
Masih mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba dia melanjutkan pembicaraan sambil mengeluarkan pensil.
"Kalau gitu,...aku mau nyoba doodle dulu. Tapi, asli aku ngebayangin gimna kalau aku jadiin karakter komik aku yah.. "
"Boleh tuh tia!!. Gua malah Pengen ikutan kalau bisa mah.. " jawabku sambil tersenyum.
Hari-hari berikutnya, aku mulai menantikan pagi. Bisa melihat Tiara datang dengan sketchbook di tangannya, tersenyum kecil saat duduk di sampingku. Kami menggambar dalam diam, tanpa perlu banyak bicara.
Aku pikir aku menemukan sesuatu yang membuatku bahagia. Tapi… aku sadar bahwa pada akhirnya aku hanya mengarsir sendiri dalam pikiran ku.
Sampai saat angin dingin bulan Mei berhembus, aku dan Tiara berdiri di koridor atas kelas. Langit terlihat hijau padi, angin membuat dadaku bergetar. Tanpa sadar, kata-kata itu keluar dari mulutku.
"Gua kayaknya suka sama lu, Tiara!"
Tiara terdiam. Lalu tersenyum kecil.
"Maaf, Wan… Aku nggak tahu harus ngomong apa. Tapi aku udah anggap kamu kayak saudara sendiri."
Aku menelan ludah.
"Gak apa-apa kok, gua cuma mau ngungkapin biar lega."
Dia mengangguk. "Aku harap kita tetap bisa berteman, ya?"
Aku tersenyum kecil, menggaruk kepala. "Santai aja, gua nggak bakal jadi awkward."
Tapi malam itu, aku pulang dengan hati berat.
Di rumah, suara piring beradu dan pertengkaran orang tuaku menjadi latar belakang penderitaanku. Ibu selalu menuntutku masuk kedokteran, sementara Ayah, seorang seniman gagal, hanya bisa pasrah.
"Dari mana aja kamu?" suara ibu terdengar tajam.
"Jualan lukisan," jawab ayah dengan nada lelah.
Ibu mendengus kesal. "Sampai kapan kamu terus begini? Kamu tau kan Setiawan mau kuliah?"
"Aku tau, tapi ini satu-satunya yang bisa aku lakukan sekarang."
Pertengkaran mereka berlanjut, saling menyalahkan, saling mengungkit penyesalan. Aku hanya duduk diam di pojok kamar, menatap dinding yang penuh coretan gambarku.
Aku mencoba menggambar lagi, tapi yang terasa cuma sakit. Tanganku gemetar, otakku penuh suara ibu yang selalu berkata bahwa menjadi seniman itu sia-sia.
Ayah masuk ke kamar, suaranya lembut. "Jangan dengarkan ibumu, nak. Lakukan apa yang kamu mau."
Aku mendengus pelan. "Udah lah, Yah. Ibu benar. Aku nggak pantas jadi seniman."
Belum sempat ayah menjawab, ibu masuk dengan ekspresi marah.
"Apa ini? Kamu gambar lagi?! Udah gede masih aja begini!"
Tanpa peringatan, dia merobek gambarku. Aku terdiam, menatap lembaran-lembaran kertas yang hancur di tangannya. Nafasku berat, dada sesak.
"Berapa kali ibu bilang? Fokus belajar! Kamu nggak kasihan sama ibu?! Kita ini miskin! Satu-satunya harapan ibu cuma kamu!"
Aku mengepalkan tangan, tapi akhirnya hanya bisa berkata lirih, "Iya, Bu… Setiawan akan belajar lebih giat lagi. Setiawan janji akan jadi dokter dan membanggakan ibu!!." senyum ku dengan paksa
Ibu akhirnya pergi setelah menyuruhku makan. Aku melangkah ke dapur dengan langkah kosong, sedikit meyakinkan diri dengan pisau didepan sana. Namun, aku tetap meyakinkan diriku ini demi masa depanku.
Seketika itulah aku merasa jauh dari diriku, dan bertanya
...
"Benarkah ini yang aku inginkan?"
.....
...
Beberapa bulan kemudian....
Hujan turun di akhir Desember. Sekolah sudah sepi, hanya lorong kelas yang basah diterpa angin. Aku bersandar di jendela, menatap tanah jauh di bawah sana.
"Aku harus mengatakannya."
Aku merogoh ponsel, membuka kontak yang jarang kuhubungi.
"Tia, bisa ketemu sebentar sebelum pulang? Aku mau kasih sesuatu."
Pesan terkirim. Hening sejenak sebelum akhirnya muncul balasan.
"Bo-boleh."
Aku menarik napas panjang. Entah kenapa, dadaku terasa kosong.
Langit senja menemani langkahku melewati lorong yang sunyi. Saat aku sampai di kelas, mataku langsung tertuju pada sosok Tiara—tertidur di pojok ruangan. Wajahnya terlihat damai, seolah dunia luar tak pernah menyentuhnya.
Aku tersenyum kecil, lalu menepuk bahunya.
"Bangun, Tiara. Kok Luh bisa ketiduran di sini?" ucapku pelan.
Dia menggeliat, matanya mengerjap sebelum akhirnya menatapku dengan ekspresi terkejut.
"Se-Setiawan?"
Aku tertawa kecil. "Luh masih suka ketiduran disini. Lihat tuh yang lain dah pada pulang wkwkw."
Dia mengusap matanya, tampak masih kebingungan.
Aku mengeluarkan sketchbook yang sudah lusuh dan menyerahkannya padanya.
"Nih buat Luh."
Dia mengambilnya dengan ragu. "Buat aku? Kenapa?"
Aku mengangkat bahu. "Cuma ingin ngasih aja. Selama ini gua ngerasa kurang effort ke luh. Takut nya Luh ngerasa cuma sekadar penasaran doang."
Tiara membuka sketchbook itu perlahan. Di dalamnya, ada banyak gambar sketsa yang kubuat selama ini. Sketsa dirinya.
Dia terdiam lama sebelum akhirnya tersenyum kecil.
"Aku menghargai ini, Wan. Ini pertama kalinya ada yang ngasih aku kaya gini!!"
Aku balas tersenyum. "Gua cuma pengen Luh tahu kalau Luh itu orang berharga bagi gua."
Tiara menggigit bibirnya, terlihat bimbang.
"Aku udah bilang sama kamu… aku gak tertarik sama percintaan. Tapi entah kenapa, aku…"
Aku menatapnya. "Kamu apa?"
Dia menghela napas, suaranya gemetar. "Aku gak bisa jelasin… tapi aku selalu ngerasa…"
Aku mengangguk pelan. "Gak apa-apa tia, gua cuman pengen Luh tau jangan pernah ngerasa hidup Luh sendiri. Karena masih banyak orang yang peduli sama Luh, termasuk gua."
Mata Tiara berkaca-kaca. "Jujur kamu orang yang selalu bikin aku ada. Saat orang lain gak menganggap aku wan..."
"Sama kok, kita gak jauh berbeda. Malah gua gak mikirin apa soal mereka. Karena bagi gua dunia ini penuh kepalsuan." Jawab ku
"Tapi bisa tertawa bareng aja sama Luh, bisa bikin gua bahagia dan jadi diri gua sendiri. " Lanjut ku
Serentak kilau cahaya menyinari tubuhku, aroma angin seakan memudar disekeliling. Mata Tiara yang berbinar menatap ke arah ku
"Intinya, terima kasih karena udah jadi ornag yang gua suka selama ini.!! " Jawab ku
"GAK..,GAK MUNGKIN INI PASTI SALAH!!"
"Tapi maaf yah aku gak banyak effort ke kamu. Aku ornag canggungan. Gak jelas, gak ngerti cara nge handle cwek, tapi satu hal. Kamu adalah ornag pertama membuatku seperti ini." Ucap ku sambil tersenyum
Air mata Tiara akhirnya jatuh. Dia menunduk, bahunya bergetar. Aku bisa merasakan getaran perasaannya sesuatu yang terlambat untuk diungkapkan.
Lalu tiba-tiba, dia berlari ke arahku, mendekapku erat.
"Kamu curang…!" isaknya. "Aku seharusnya menyadari sejak dulu!"
Aku terdiam. "Jangan gitu, Tia… aku jadi gak enak ninggalinnya."
Pelukannya semakin erat. "Aku suka kamu, Setiawan! Aku gak mau sendiri lagi! Kumohon… jangan pergi…"
Aku menatapnya, tangan terangkat untuk menyentuh wajahnya yang basah. Aku mengangkat dagunya perlahan, memandang matanya yang penuh luka.
"Makasih ya, Tia…" bisikku.
Dia menggeleng keras. "Enggak, ini pasti bukan mimpi… Setiawan, jangan…"
Perlahan tubuhku terurai bagai niskala.
Pada akhirnya bunga yang tumbuh berbeda tak selalu menemukan tanahnya sendiri. Ada yang dipetik sebelum sempat mekar, ada yang dibiarkan layu tanpa sempat melihat cahaya. Dan ada yang memilih mencabut akarnya sendiri.
Aku adalah bunga itu. Terlahir di luar jalur, berusaha bertahan di tanah yang menolak keberadaanku. Aku mencoba mekar, tapi dunia tak pernah mengizinkanku. Kini aku sadar tempatku memang bukan di sini.
Kisah ini ku tutup oleh sang jiwa yang takkan pernah tenang. Hanya bisa berandai jika aku diberi kesempatan kedua untuk bertemu dirimu di kehidupan selanjutnya.
Pelukan yang perlahan memudar, perkarangan rerumputan hijau terhempas luas dalam pandangku. Disamping jurang hampa yang akan membawaku pada penderitaan absolut.
Tamat....
"Makasih yah udah mau baca, btw ini cerita pribadi 🙏. Cuman sedikit di tambahin dikit buat keperluan cerpen wkwkwkw semoga suka yah"