Yuuto baru saja pulang dari pekerjaannya di sebuah bar di distrik hiburan. Dengan langkah lelah, ia menguap sambil berpikir, "Mencari pekerjaan normal memang sulit, sampai-sampai aku harus bekerja di tempat seperti ini. Tapi, tidak terlalu buruk juga... Kadang-kadang ada wanita patah hati, dan aku ‘terpaksa’ menemani mereka malam itu."
Saat hampir sampai di rumah, Yuuto bertemu dengan Misaki, ibu dari temannya, Haruto. Wajah wanita itu tampak sedikit bermasalah.
"Yuuto, kamu baru pulang kerja?" tanya Misaki.
"Eh, iya, Bibi. Bagaimana keadaan Haruto sekarang?" balas Yuuto.
Misaki menghela napas panjang. "Anak itu belum mendapatkan pekerjaan sama sekali sejak lulus. Dia lebih sering menghabiskan waktu bermain dengan wanita." Suaranya terdengar kesal.
Yuuto tertawa kecil. "Hahaha... Begitu ya. Aku pulang dulu, Bibi."
Setelah mengucapkan salam, Yuuto melanjutkan langkahnya. Ia teringat masa SMA-nya bersama Haruto. Dulu, Haruto sering mengajaknya bermain dengan banyak wanita, tetapi Yuuto selalu menolak. Yang paling ia ingat adalah saat Haruto merebut gadis yang sempat ia sukai. Namun, sekarang, hal itu tidak lagi mengganggunya.
"Wanita itu biasa saja dibandingkan dengan para wanita yang sering aku temani saat bekerja." Yuuto tersenyum kecil, lalu membuka pintu rumahnya. Ia tinggal sendiri sejak masuk SMA, tanpa ada orang tua yang mengurusnya. Begitu sampai di rumah, ia langsung tidur karena kelelahan.
---
Yuuto terbangun dengan terkejut. "Ahh, aku telat!" gumamnya saat melihat jam yang sudah menunjukkan tengah malam. Ia segera bersiap dan bergegas menuju bar tempatnya bekerja.
Begitu sampai, ia langsung dimarahi oleh pemilik bar. Namun, karena Yuuto adalah pegawai yang mampu menarik banyak pelanggan wanita, pemilik bar segera menyuruhnya kembali bekerja.
Saat sedang melayani pelanggan, ia tanpa sengaja melihat sosok yang familiar—Misaki, yang sedang minum di bar itu.
"Yuuto? Kamu bekerja di sini?" tanya Misaki dengan kaget.
Yuuto tersenyum canggung. "Ahaha... Iya, Bibi. Mencari pekerjaan itu sulit, bukan?" ujarnya sambil duduk menemani Misaki minum.
Malam itu, Misaki mencurahkan segala keluh kesahnya. Tentang suaminya yang sering marah-marah, tentang anaknya yang malas dan enggan bekerja.
Yuuto mendengarkan dengan tenang. "Hidupmu cukup sulit ya, Bibi."
Misaki menatapnya, lalu berkata dengan suara pelan, "Jangan panggil aku Bibi."
Yuuto terdiam sesaat. "Eh? Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Panggil aku dengan namaku."
Sebelum Yuuto sempat menjawab, manajer bar datang menghampiri mereka. "Yuuto, apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada tajam. Namun, begitu melihat Yuuto sedang mengobrol dengan seorang wanita, ekspresi manajer itu berubah. Ia langsung mempromosikan jasa menemani yang hanya dilakukan oleh Yuuto di tempat itu.
Yuuto langsung panik. "Eh, bos! Apa yang kau katakan?! Dia ibunya temanku!"
Namun, tanpa ragu, Misaki mengeluarkan sejumlah uang dan membayarnya. Manajer bar yang melihat itu langsung menyuruh Yuuto untuk mengantar Misaki ke kamar khusus yang biasa digunakan untuk pelanggan layanan itu.
Yuuto tidak bisa menolak. Akhirnya, ia membawa Misaki ke kamar tersebut.
Setelah masuk ke dalam, Misaki menatapnya dengan ragu. "Jadi, pekerjaanmu seperti ini?"
Yuuto tersenyum miring. "Hahaha... Iya. Maaf kalau kau mengira aku anak baik. Tapi sebenarnya, aku lebih buruk dari anakmu."
Misaki menggeleng pelan. "Kau tidak buruk. Kau melakukan ini demi bertahan hidup. Itu tidak salah."
Perlahan, ia mendekat ke arah Yuuto.
Yuuto menelan ludah. "Ah, sebentar... Aku ingin mengambil pengaman dulu."
Namun, Misaki menahannya, lalu berbisik dengan suara lembut, "Tidak perlu... Keluarkan saja semuanya di dalam."
Yuuto terkejut. "Kau yakin?" tanyanya.
Misaki hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya Yuuto mendekat dan mencium bibirnya.
Malam itu pun berlangsung panas dan penuh gairah.
Setelah malam itu, Misaki semakin sering menghampiri Yuuto untuk menjalin hubungan sex Baik di bar maupun di rumahnya, mereka terus bersama setiap hari selama seminggu penuh.
"Sudah seminggu aku menjalani hubungan terlarang dengan ibunya temanku sendiri," pikir Yuuto dengan perasaan campur aduk antara kebingungan dan kesenangan.
Tak hanya itu, wanita itu juga selalu menolak jika Yuuto ingin menggunakan pengaman. "Bagaimana jika dia hamil?" pikirnya dalam-dalam.
Merasa pikirannya semakin kacau, Yuuto memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan-jalan di taman demi menjernihkan pikirannya. Saat sedang duduk di bangku taman, matanya menangkap sosok wanita yang terlihat familiar.
"Eh, bukankah itu Kaori? Gadis terpopuler di SMA?" gumamnya dalam hati dengan sedikit terkejut.
Dengan langkah cepat, ia menghampiri gadis itu.
"Hei, kau Kaori, kan?" tanyanya dengan penuh keyakinan.
Gadis itu menoleh dengan ekspresi sedikit malu. "Eh...? Siapa kau?" tanyanya bingung.
Yuuto tersenyum. "Ah, kau lupa denganku ya? Aku Yuuto. Kita teman sekelas dulu. Kau juga pernah menolakku saat aku menyatakan cinta padamu," ujarnya sambil terkekeh.
Kaori membelalakkan mata, seolah tak percaya. "Hah?! Kau... Yuuto si culun itu? Bagaimana mungkin kau berubah drastis seperti ini? Padahal baru beberapa bulan sejak kita lulus!"
Yuuto tertawa ringan. "Hahaha, maaf kalau aku membuatmu bingung. Oh iya, bukankah kau berpacaran dengan Haruto?" tanyanya dengan nada menggoda.
Kaori menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak berpacaran dengannya. Kami hanya pergi menonton beberapa kali, tapi tidak ada hubungan lebih dari itu," ujarnya dengan dingin.
"Oh? Tapi Haruto bilang kalau kalian berpacaran," ucap Yuuto sambil tertawa kecil. "Mungkin dia ingin membuatku iri karena dulu aku mengejarmu, tapi kau menolakku."
Kaori menunduk, wajahnya perlahan memerah.
"Hei, Kaori, apa kau sakit?" tanya Yuuto, menyadari perubahan wajahnya.
Kaori menggeleng lagi. "Tidak... Kau tidak perlu membahas masa lalu..." katanya dengan suara pelan.
Yuuto tersenyum. "Baiklah, maaf. Aku pergi dulu, ya."
Namun, saat Yuuto hendak melangkah pergi, Kaori memanggilnya dengan suara lirih.
"Yuuto... Bisakah aku ikut denganmu?" tanyanya dengan ragu-ragu.
Yuuto mengangkat alis. "Eh? Kenapa? Kau ingin main? Kalau begitu, ayo ke rumahku," ajaknya tanpa berpikir panjang.
Tanpa banyak kata, Kaori mengangguk dan mengikuti Yuuto menuju rumahnya.
---
Di rumah Yuuto...
Yuuto banyak bertanya kepada Kaori tentang kehidupannya setelah lulus. Termasuk tentang pacar dan hubungan asmaranya. Kaori menjawab semuanya dengan jujur dan mengungkapkan bahwa dia masih belum memiliki pacar.
Yuuto menatapnya dengan serius. "Ah, maaf, aku tidak bermaksud bertanya seperti itu. Tapi kalau aku menembakmu sekarang, apakah kau akan menerimaku?" tanyanya tiba-tiba.
Kaori terdiam sejenak, lalu dengan suara pelan ia menjawab, "Jika kau serius... tentu aku tidak akan menolak."
Yuuto tersenyum tipis. "Aku serius. Kaori, maukah kau menjadi pacarku?"
Kaori menatapnya dengan sedikit gugup, lalu mengangguk. "Iya... Aku mau."
Yuuto mendekat, lalu mengecup bibirnya.
Kaori tersentak, wajahnya semakin memerah. "Yuuto... ini terlalu cepat..." desahnya dengan suara gemetar.
Yuuto menatapnya lembut. "Kau tidak mau?"
Kaori menggigit bibirnya ragu-ragu, lalu menggeleng pelan. "Aku... Aku tidak akan menolak jika itu keinginan pacarku... Tapi... ini pertama kalinya bagiku. Jadi... tolong, perlakukan aku dengan lembut."
Malam itu, hubungan mereka semakin panas dan penuh intensitas hingga pagi menjelang.
---
Keesokan paginya...
Yuuto terbangun lebih awal. Saat menoleh ke samping, ia melihat Kaori masih tertidur dengan wajah damai dan tidak memakai pakaian sama sekali.
Ia menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.
"Bukan hanya ibunya Haruto yang kutiduri… tapi sekarang, gadis yang dicintai Haruto pun kini berada di sisiku," pikirnya dengan sedikit kebahagiaan.