Sabtu 14 Desember 2024. Saat itu cuaca panas, aku berniat untuk diam sejenak disebuah minimarket dekat sekolah. Hanya bermodalkan membeli minuman dingin sebotol, tapi rencana hanya jadi angan belaka. Uang yang dipersiapkan lenyap begitu saja. Dasar Alke si pelupa, tadi kan sudah dipakai untuk membeli sebungkus cilok di depan.
Dengan gugup aku melihat ke arah sekitar untuk mencari bantuan, bukan apa tapi masalahnya minuman ini sudah diminum seteguk.
'Dasar bodoh' gumamku dalam hati.
Dari ujung mata aku melihat seorang gadis dengan seragam sama.
"Hai" sapaku begitu sampai setelah berjalan cepat dengan gugup kearahnya.
"Ya?" Katanya tersenyum ramah.
Dengan hati hati aku menjawab
"Aku tahu ini baru pertama kali bertemu, tapi boleh tidak aku pinjam uang mu untuk bayar minuman ini, namaku Alke, sekolah kita sama, aku janji besok dikembalikan langsung ke kelasmu atau aku tunggu saja digerbang."
Sesaat setelah omongan panjang itu keluar, gadis dengan nama bertuliskan bryle itu tertawa geli dan mengangguk, dengan santai dia menarik tanganku ke arah kasir dan membayar.
Setelah berada di luar minimarket dia berkata
"Aku bryle kelas 11 6, tidak usah dibayar itu cuma 6000 kok. Sebagai gantinya bisakah kita berteman?" Tersenyum sambil mengulurkan tangan.
Dengan wajah cengo aku menjabat tangannya. Kami lanjut mengobrol dengan asik di sore itu.
Pertemanan itu berlanjut berbulan bulan hingga kini setelah 4 bulan lamanya kami dekat. Aku jadi tau banyak tentangnya. Bryle bilang dia depresi. Beberapa kali dia menunjukan sayatan ditangan dan minta ditemani. Aku tidak begitu mengerti tapi hanya ingin menemani dan berguna sebagai teman. Dia baik akan kubalas begitu juga.
Rabu 16 juli 2025 dengan tergesa aku melajukan motor ke arah rumahnya. Dia mengirim pesan yang tidak mengenakan.
'Aku cape dan ingin pulang' lengkap dengan foto tangannya yang tersayat. Bagaimana tidak panik?
Setelah memarkirkan motor dengan cepat aku mengetuk pintunya. Dengan sedikir terkejut aku menyalami ayahnya bryle, baru kali ini kami bertemu.
"Maaf pa, saya temannya Bryle, apa dia baik baik aja?" Ucapku dengan gugup dan cemas. Dengan santai ayahnya membuka kan pintu dan bilang
"Masuk aja." Heran, aku pikir Bryle sudah diobati dan sedang istirahat. Tapi yang terlihat lukanya masih terbuka, dia duduk di tengah kasur sambil menangis dengan cepat aku mengobati tangannya dan memeluknya seperti biasa. Lagipula orang tuanya itu tidak masuk akal, masa dibiarkan. Setelah Bryle tidur aku memutuskan untuk keluar meminta ijin menginap, karena orang tuanya di rumah, maka harus minta ijin dulu. Kutemukan ayahnya Bryle sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan laptop dimeja kecil.
"Pak," aku menyapa pelan dibalas dengan tatapan datarnya padaku.
"Saya mau minta ijin nginep disini gapapa? Buat nemenin Bryle." Ucapku sambil tersenyum canggung.
"Kamu udah kenal dia berapa lama?" Ucapnya.
"Sekitar 4 bulanan yg lalu pak.","Kamu harus bijak ya, tinggal sama orang tua?"
"Iya, ngekos pa" jawabku ragu dan dihawab anggukan singkat olehnya.
Bangkit dan berjalan ke arah kamar Bryle sambil berpikir, maksud perkataan ayah Bryle tentang bijak apa?
Rabu 14 Maret Bryle kembali mengajak pergi ke suatu tempat, dia bilang bertemu temannya yang lain supaya dia bisa tenang, aku mengikutinya.
Sebuah apartemen yang sangat luas dengan 2 kamar, ada banyak orang disana, 3 laki laki dan 2 perempuan kurasa termasuk Bryle. Aku santai santai saja, kami bermain, makan bersama. Aku merasa hari itu hari terbebas ku, hari paling membahagiakan.
Setelah hari itu setiap seminggu sekali kami main bersama ke berbagai tempat, untuk pertama kalinya aku peegi ke tempat karokean, tidak buruk juga. Malam itu kami lanjutkan di apartemen makan minum dan menginap disana. Tapi entah kenapa badan ku merasa sakit pagi itu. Aku berpikir mungkin karena aku terlalu bersemangat.
2 bulan berlalu, hari ini aku benar benar merasa khawatir dan was was, aku tidak mendapatkan menstruasi selama 2 bulan ini. Tapi perutku terasa sakit dua bulanan ini.
Memaksakan diri ke dokter aku malah mendapati kalau aku hamil, dan sakit yg kurasakan akibat dari kegiatan yg dilakukan. Kapan? Kenapa bisa? Pikiran terus berkecamuk.
Sesampainya di kosan aku hanya terduduk menatap ke arah perut dan menyentuhnya. Telpon genggang yang diabaikan aku angkat mencoba melakukan panggilan kepada mama. Tapi dalam hitungan ketiga hatiku meragu dan mematikannya. Apa katanya nanti? Bagaimana kalau mereka malah membenciku, tatapan kecewa mama papa, hal yang tidak bisa kulihat sama sekali. Harus apa? Dijambak kuat rambutku dengan frustasi rambutku. Tidak lama dari situ muncul panggilan dari Bryle yang langsung ku angkat tanpa pikir panjang. Hanya dia yang selalu menemani dan pasti mau membantu.
"Dimana Alke? Katanya mau makan diluar bareng? Aku sudah sampai" Bryle nyerocos, kujawab dengan nada tercekat
"Bryle aku hamil? Tapi aku ga pernah ngelakuin hubungan sama siapapun" sambol menjabak rambut ku dengan tatapan kosong dan air mata yang menetes tanpa bisa ditahan.
"Tenang, kita ketemu di apartemen" satu kalimat yang dia keluarkan. Aku langsung beranjak.
Tidak lama dari itu mama menelpon.
'Kenapa Alke? Tadi nelpon mama ya?' Aku melamun, lalu menjawab
'Kepencet mah, Alke kangen mama'
'Kalau kangen pulang sayang, mama tunggu ya nanti mama masakin makanan kesukaan Alke'
'Iya mah, Alke tutup dulu ya mah'
'Iya sayang'
Berangkatlah aku ke apartemen, sesampainya disana hal yang pertama yang Bryle lakukan adalah memberi sebuah obat. Aku tidak mengerti.
"Coba ini semua" Katanya sambil menunjuk meja. Aku menatapnya kosong.
"Buat apa?" Bisiku.
"Keluarin lah, mau gmn lagi, bilang sama orang tua kamu? Sanggup memang?" Dia bertanya dengan tatapan entah kenapa bahagia. Aku menatap semua itu dengan tatapan bingung. Kepalaku berdengung sakit. Bingung. Bagaimana aku bisa hamil? Kapan? Kenapa harus dikeluarkan, dia tidak bersalah? Tapi bagaimana dengan papa mama? Apa aku sanggup?
Dengan ragu aku meminumnya. Perutku terasa melilit kram benar benar sakit. Nafasku sesak saking sakitnya. Darah keluar dari sela kakiku.
"Tunggu sebentar hanya 15 menit. Nanti kita ke rumah sakit ya" Bryle mengusap kepalaku. Aku hanya menunduk menahan sakit. Perlahan kesadaran ku memudar.
Entah berapa lama, aku tidak tahu itu pukul berapa. Tapi ini rumah sakit. Sendirian dingin. Infus dan kantong darah yang kulihat. Tidak lama suster datang.
"Ibu udah sadar, sebentar ya saya cek dulu. Yang sabar ya, nanti juga pasti diganti lagi. Saudaranya sedang keluar dulu." Aku hanya diam membiarkannya mengecek lalu keluar.
Saat Bryle masuk, satu kalimat langsung terlempar begitu saja. "Bagaimana? Yang diganti apa?" Bryle menghampiriku. "Kamu sudah gausah pusing lagi, masalahnya sudah selesai." Telinga ku rasa nya berdenging kepalaku berat tatapan kosong kulayangkan padanya.
Setelah keluar dari rumah sakit aku langsung menuju rumah orang tua. Menginap disana selama seminggu penuh, bermanja dengan ibu. Tapi pikiran itu terus berkecamuk. Ibu selalu bertanya 'Kenapa? Kamu ada masalah, cerita ya kalau kamu mau, mama pasti dengerin' kalimat itu makin membuat hatiku makin berat dan memutuskan untuk pulang.
Di hari selanjutnya Bryle menemuiku. Dia mengajaku untuk bersantai. Baru kali ini aku melihat dia meroko dan minum cairan kuning dari botol besar. Apa itu? Dia menyodorkannya padaku.
"Coba, biar ga terlalu penuh itu pikiran" Aku menerimanya. Pertama aku batuk saat menghisap asap rokoknya. Tapi setelah itu aku merasa plong. Lanjut meminum cairan kuning itu. Pait, kepalaku pusing berputar, pikiranku kacau tidak menentu. Tapi rasanya lumayan juga.
Bulan demi bulan berlalu pikiran dan rassa bersalah itu terus menghantuiku yang kulakukan hanya mengikuti saran Bryle. Aku tidak peduli berapa uang yang keluar dan berapa uang yang ku pinjam dari Bryle untuk membeli barang itu. Karena hanya itu yang membuat ku tenang.
Sampai suatu ketika Bryle tidak mau meminjamkan uangnya.
"Uangku di kamu sudah banyak. Kalau mau aku punya pekerjaan." Katanya.
Aku setuju. Dia membawaku ke teman temannya. Duduk menemani mereka minum dan tentu saja mendapatkan setidaknya sedikit juga untuku. Aku selalu tidak sadar setelahnya dan pulang pagi pagi. Aku tidak peduli yang penting pikiranku tenang.
Di bulan agustus tepat di hari ulang tahunku. Sialnya. Mama dan papa datang ke kost, melihatku dalam keadaan mabuk berat bersama laki laki. Mereka menatapku terluka. Mama menangis. Aku diam dengan pikiran kosong dan kepala berat, lalu tertidur perlahan.
Pagi harinya saat terbangun yang kulihat wajah mama yang sembab dan mata yang masih menangis dan papa yang menatap kosong ke arah televisi.
"Alke kenapa gini sayang. Mama ada salah sama Alke atau ada yang jahatin kamu?" Tanya mamaku lirih.
Aku diam menatapnya kosong tidak lama aku menangis sejadi jadinya. Ku ceritakan bahwa aku pernah hamil dan menggurkannya. Aku stress tidak berani bilang pada mereka. Merasa bersalah dan mencari pelarian ke sana. Aku pikir aku sudah rusak, tidak peduli lagi apapun demi pikiran yang tenang.
"Hamil dengan siapa?" Tanya papaku dengan nada bergetar. Aku diam sejenak.
"Aku ga pernah pacaran papa, aku juga gatau, tiba-tiba hamil." Papaku tertawa getir.
"Kamu ga mungkin hamil kalau ga ngelakuin hubungan. Memang kamu ga cari tahu kenapa bisa hamil?" Aku menatapnya dalam dan takut.
"Aku ga bisa mikir, gatau dan ga nyari tau. Tapi aku berani sumpah aku ga pernah pacaran papa. Aku berteman pun cuma sama Bryle." Sedetik setelah nama itu terlintas aku diam. Memutar semua kejadian yang terjadi.
Aku hamil 2 bulan setelah dari apartemen untuk pertama kalinya, menggugurkannya, pelarian yang didapat, cara menghasilkan uang dan mendapat minuman serta rokok secara gratis. Bryle. Aku langsung menangis histeris menjambak rambut ku kuat. Mama memeluku erat ikut menangis. Papa mencoba menenangkanku. Ternyata itu maksud Ayah Bryle. Alke tolol, kenapa harus percaya pada orang lain.
Setelah lelah aku hanya diam dengan tatapan kosong di peluk erat oleh papa dan mama. Aku lebih merasa sakit ketika mereka ikut menangis. Apalagi melihat papa. Dia tidak pernah menangis.
Setelah aku tenang papa berbisik "Kejadian yang udah lalu ditinggal aja jangan diingat berlarut jadiin pelajaran. Alke pindah ya? Gausah ngekost sekolah nya juga pindah. Nurut sama papa ya? Handphone alke papa ambil, alke juga pergi ke psikolog sayang ya? Berobat sama papa." Ucapnya dengan nada sayang.
"Mama dan papa bakal selalu sama Alke. Apa yang papa bilang buat kebaikan Alke. Bukan berarti papa nganggap Alke anak yang sakit makannya harus ke psikolog. Itu dilakuin supaya Alke sembuh dari trauma, bisa lepas juga dari alkohol dan rokok ya sayang. Kamu jangan salah paham ya." Aku menangis lagi dengan derasnya. Kenapa aku begitu tolol, mengira orang lain akan mencari solusi atas masalahku, menemani dengan sukarela dan mengabaikan orang tuaku yang jelas jelas sangat mengerti aku. Kalau dari awal aku bilang pasa mereka dan betrsikap waspada pada Bryle. Menuruti kata mereka untuk tidak terlalu percaya dan menginap di rumah orang lain, mungkin ini tidak akan terjadi.
Setelah hari itu aku benar benar menuruti kata papa dan berusaha berenti merokok minum. Awalnya berat tapi perlahan membaik. Mama dengan sabar menemani dan membing aku. Rasa bersalah pada anak itu tidak akan bisa terobati dan akan terus menghantui yang aku bisa lakukan hanya meminta ampun pada allah dan meminta maaf atas segala kesalahan yang kuperbuat