Bagian 1: Awal Legenda & Perjalanan Dimulai
Malam itu, di sudut sebuah kedai kecil di pinggiran kota, seorang lelaki tua duduk di bawah cahaya temaram. Tangannya menggenggam cangkir teh panas, sementara matanya menatap lurus ke arah Raka, seakan menilai apakah ia cukup layak untuk mendengar kisahnya.
“Kau pernah dengar tentang Desa Para Bidadari?” tanyanya pelan, suaranya serak seolah menyimpan banyak rahasia.
Raka menyesap kopinya, lalu mengangkat alis. “Desa yang dihuni wanita-wanita cantik itu? Itu cuma mitos, bukan?”
Lelaki tua itu tersenyum tipis. “Begitulah yang mereka bilang. Tapi aku tahu desa itu bukan sekadar legenda.”
Raka, seorang aktor yang kariernya mulai meredup, awalnya menganggap ini hanya omong kosong. Namun, ada sesuatu dalam tatapan lelaki tua itu yang membuatnya ragu.
"Tak ada yang pernah kembali setelah menemukannya," lanjut lelaki tua itu. "Tapi bagi mereka yang cukup berani, desa itu bisa membawa keberuntungan besar... atau justru kehancuran."
Raka mulai tertarik. Jika benar desa itu ada, mungkin ini adalah kisah yang bisa mengubah hidupnya. Ia bisa mengangkat kembali namanya di dunia hiburan, menjadi pusat perhatian, dan membuktikan bahwa legenda itu nyata.
Lelaki tua itu merogoh sakunya dan mengeluarkan secarik peta lusuh. “Ini petunjuk yang kudapat bertahun-tahun lalu. Tapi ingat, anak muda... jika kau pergi, pastikan kau siap menerima konsekuensinya.”
Raka menatap peta itu dengan penuh rasa ingin tahu. Hutan, pegunungan, dan tanda-tanda aneh memenuhi kertas itu. Seakan ada perjalanan panjang dan berbahaya yang menantinya.
Namun, di sudut peta, ada sebuah kalimat yang membuatnya merinding.
"Hanya mereka yang dipilih yang bisa menemukan jalan pulang."
Oke, kita lanjut ke Bagian 2: Petunjuk dan Keanehan yang Muncul!
Bagian 2: Petunjuk dan Keanehan yang Muncul
Pagi itu, Raka berdiri di tepi hutan yang disebut dalam peta. Hutan ini tak terlalu jauh dari kota, tapi anehnya, tak ada yang benar-benar mengenalnya. Warga sekitar hanya mengatakan bahwa tempat itu terkutuk—mereka yang masuk ke dalamnya sering kehilangan arah atau mengalami kejadian aneh.
Namun, bagi Raka, ini hanyalah cerita lama yang dilebih-lebihkan. Dengan langkah percaya diri, ia melangkah masuk, mengikuti tanda-tanda yang ada di peta.
Awalnya, semuanya tampak biasa. Cahaya matahari masih menembus dedaunan, dan suara burung masih terdengar. Namun, semakin jauh ia berjalan, udara mulai terasa lebih dingin, meskipun matahari masih tinggi.
Lalu, ia mulai mendengar sesuatu.
Nyanyian.
Lembut, mengalun di antara pepohonan, seperti suara perempuan yang menyanyikan lagu tanpa lirik. Suaranya merdu, tetapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Raka meremang.
Ia berhenti dan menoleh ke sekeliling. Tidak ada siapa pun.
“Cuma angin,” gumamnya, mencoba mengabaikan rasa gelisah yang tiba-tiba muncul.
Namun, semakin ia berjalan, suara itu semakin jelas. Dan lebih anehnya lagi—hutan ini terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara serangga. Hanya nyanyian itu.
Lalu, ia melihat sesuatu di tanah.
Jejak kaki.
Bukan jejaknya. Jejak kaki wanita. Kecil dan samar, seperti seseorang yang berjalan tanpa alas kaki.
Raka menghela napas panjang. “Jangan biarkan imajinasimu bermain, Rak.”
Namun, ketika ia melangkah lebih jauh, sesuatu membuatnya benar-benar berhenti.
Di depan sana, di antara pepohonan, ada seorang wanita berdiri.
Ia memakai gaun putih panjang, rambutnya terurai, dan wajahnya setengah tertutup bayangan. Ia hanya berdiri diam, menghadap ke arah Raka.
Jantung Raka berdebar kencang. “Siapa kau?” serunya.
Wanita itu tidak menjawab. Namun, perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah dalam hutan—seakan memberi isyarat agar Raka mengikuti.
Hatinya berkata jangan. Namun rasa penasarannya berkata ikuti.
Dengan napas tertahan, Raka melangkah maju.
Namun tepat saat ia berkedip—
Wanita itu menghilang.
Bagian 3: Jejak Menuju Desa Para Bidadari
Raka terpaku di tempatnya. Wanita itu menghilang begitu saja.
Jantungnya masih berdegup cepat. Sejenak, ia mempertimbangkan untuk berbalik—tapi kemudian matanya menangkap sesuatu di tanah tempat wanita itu tadi berdiri.
Setangkai bunga putih.
Bunga itu tampak segar, seolah baru saja dipetik. Padahal, sepanjang perjalanan, Raka tidak melihat satu pun bunga di hutan ini.
Ia berjongkok, mengambil bunga itu dengan hati-hati. Aroma lembut menyeruak ke hidungnya—aneh, ada sesuatu yang familiar dengan bau ini, tapi ia tidak bisa mengingat apa.
“Apakah ini semacam tanda?” gumamnya.
Saat ia mengangkat pandangan, hutan di depannya berubah.
Sebelumnya, ia hanya melihat pepohonan yang padat dan jalan setapak yang samar. Namun sekarang, ia melihat gerbang batu tua yang tertutup sulur-sulur hijau. Gerbang itu tinggi, penuh ukiran aneh yang seakan berkilauan di bawah sinar matahari.
Raka menelan ludah. Peta itu tidak menunjukkan gerbang ini.
Namun, ia merasa bahwa ini adalah jalannya. Bahwa ia semakin dekat dengan Desa Para Bidadari.
Dengan langkah hati-hati, ia mendekati gerbang itu dan menyentuh batu dinginnya. Seketika, suara samar terdengar di telinganya.
"Kau telah datang, seperti yang sudah ditakdirkan."
Sebuah tiupan angin kencang berhembus, dan sebelum Raka bisa bereaksi, gerbang itu terbuka dengan sendirinya.
Di baliknya, terbentang jalan setapak berbatu yang mengarah ke sebuah lembah. Dan di kejauhan—
Sebuah desa.
Rumah-rumah dengan atap jerami berjejer rapi, dikelilingi bunga-bunga yang bermekaran indah. Udara terasa lebih hangat, dan di sana—di tengah desa itu—ia melihat sosok-sosok wanita berpakaian putih, berjalan dengan anggun.
Mereka tampak damai, sempurna, dan tidak nyata.
Raka hampir tidak bisa mempercayai matanya. Desa Para Bidadari... benar-benar ada.
Namun, di balik keindahan itu, ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak. Ia tidak tahu apa, tapi instingnya berteriak—
"Ini bukan tempat biasa."
Dan ia baru saja melewati gerbang tanpa mengetahui apakah ia bisa keluar lagi atau tidak.
Bagian 4: Rahasia Kelam di Balik Keindahan
Raka melangkah perlahan ke dalam desa. Setiap langkah yang ia ambil, hatinya terasa semakin berat—seolah ada sesuatu yang tidak wajar di tempat ini.
Para wanita berbaju putih yang ia lihat dari kejauhan kini berjalan lebih dekat. Mereka semua cantik dengan cara yang tak biasa—wajah mereka tampak sempurna, terlalu sempurna. Tidak ada satu pun yang memiliki kerutan, bekas luka, atau tanda penuaan.
Salah satu dari mereka mendekati Raka. Wanita itu tersenyum, tetapi senyumnya terasa terlalu lebar, terlalu... kosong.
“Selamat datang,” katanya dengan suara lembut. “Kami telah menunggumu.”
Raka menelan ludah. “Menungguku?”
Wanita itu hanya mengangguk. “Setiap yang datang ke sini telah dipilih. Dan mereka yang terpilih... tidak akan pernah pergi lagi.”
Jantung Raka berdetak lebih cepat. Tidak akan pernah pergi lagi?
Ia melangkah mundur, mencoba mengendalikan pikirannya. “Aku hanya ingin tahu tentang desa ini. Aku tidak berencana untuk tinggal.”
Wanita itu tetap tersenyum. “Kau akan berubah pikiran.”
Sebelum Raka sempat bertanya lebih lanjut, suara nyanyian kembali terdengar. Kali ini lebih kuat, lebih menusuk ke dalam kepalanya. Ia melihat sekeliling—semua wanita di desa mulai bernyanyi dalam harmoni yang sempurna.
Dan saat itulah ia sadar—
Mata mereka semua kosong.
Tidak ada emosi. Tidak ada kehidupan. Seolah-olah mereka bukan manusia.
Raka berbalik, mencoba melangkah mundur menuju gerbang tempat ia masuk tadi. Namun, gerbang itu...
Sudah menghilang.
Tak ada jalan kembali.
Desa Para Bidadari telah menelannya.
Bagian 5: Pilihan Terakhir & Twist Ending
Raka berdiri membeku. Gerbang yang tadi ada di belakangnya telah menghilang, meninggalkannya di tengah desa yang terasa semakin aneh.
Para wanita berbaju putih itu masih bernyanyi, senyuman mereka tetap lekat di wajah, tetapi mata mereka kosong, tanpa jiwa.
Langkah Raka goyah. Udara di sekitarnya berubah—terasa lebih berat, lebih pekat. Ia mencoba berbicara, tetapi suaranya nyaris tak keluar.
“Apa... yang terjadi di sini?”
Salah satu wanita itu mendekat. Rambutnya panjang menjuntai, wajahnya terlalu sempurna, seakan bukan manusia biasa.
“Kau telah datang sejauh ini,” katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan. “Sekarang kau harus memilih.”
“Memilih apa?”
Wanita itu tersenyum tipis. “Tetap tinggal di sini... atau pergi dengan meninggalkan sesuatu yang paling berharga.”
Raka merasakan punggungnya dingin. “Aku ingin pergi.”
Wanita itu menggeleng pelan. “Kalau begitu, kau harus membayar harganya.”
Tiba-tiba, dunia di sekitarnya berputar. Raka merasa seakan ditarik ke dalam pusaran mimpi. Ia melihat bayangan dirinya sendiri—tapi bukan sebagai aktor yang dikenal orang.
Ia melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak pernah ada.
Tidak ada yang mengenalnya. Tidak ada yang mengingat namanya.
Raka menyadari apa yang harus dikorbankannya.
Identitasnya.
Jika ia keluar dari desa ini, maka dunia luar akan melupakannya sepenuhnya. Ia tak akan punya nama, tak akan punya masa lalu—seolah ia tak pernah ada.
Hatinya bergetar.
Tetap tinggal berarti menjadi bagian dari desa ini selamanya, hidup dalam kesempurnaan abadi tetapi tanpa jiwa. Pergi berarti kehilangan segalanya.
Dan ia harus memilih sekarang.
---
Ending 1 (Misteri Terbuka - Pilih Tetap Tinggal)
Raka akhirnya menyerah pada pesona desa itu. Ia merasa semakin sulit mengingat siapa dirinya di dunia luar. Seiring waktu, ia pun menjadi seperti mereka—tersenyum tanpa emosi, bernyanyi dalam harmoni, menjadi bagian dari Desa Para Bidadari.
Legenda itu terus berlanjut. Dan mereka yang datang setelahnya… akan menghadapi pilihan yang sama.
---
Ending 2 (Twist Mengejutkan - Pilih
Pergi)
Raka memilih keluar. Begitu ia melangkah meninggalkan desa, ia merasa ringan, seakan sesuatu di dalam dirinya telah terlepas.
Ketika ia kembali ke dunia luar, ia menyadari sesuatu yang mengerikan—tak ada yang mengenalnya lagi.
Orang-orang menatapnya dengan bingung saat ia menyebut namanya sendiri. Semua pencapaian yang pernah ia raih telah menghilang. Seakan-akan ia tidak pernah hidup di dunia ini sebelumnya.
Ia telah kembali. Tapi... apakah ia benar-benar ada?
---
Ending 3 (Mind-Blowing Twist - Semua Ini Hanya Ilusi)
Raka tersentak bangun. Ia berada di kamarnya, keringat membanjiri tubuhnya.
Apakah itu hanya mimpi?
Namun, saat ia menatap cermin di depannya, sesuatu membuatnya menggigil.
Di balik bayangannya sendiri, ia melihat sesosok wanita berbaju putih tersenyum kepadanya.
Dan nyanyian itu… masih terdengar di telinganya.
[TAMAT]