Langit malam menggantung berat di atas desa kecil tempat Dita tinggal. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah ada sesuatu yang mengintai di balik gelapnya malam. Jalan setapak menuju rumahnya sepi, hanya langkah kaki Dita yang terdengar menggema.
Ia baru pulang dari rumah temannya, sedikit lebih larut dari biasanya. Ibunya selalu berpesan, "Kalau kamu berjalan sendirian di malam hari, jangan pernah menoleh ke belakang, apa pun yang terjadi." Dita menganggapnya hanya mitos lama yang sering didengarnya sejak kecil.
Tapi malam ini terasa berbeda. Ada sesuatu di udara—sesuatu yang tidak terlihat, tapi terasa. Langkah kakinya semakin cepat, jantungnya berdetak tak karuan. Semakin ia mencoba bersikap tenang, semakin jelas ia mendengar suara itu.
"Tap... tap... tap..."
Suara langkah lain di belakangnya.
Awalnya pelan, lalu semakin jelas. Teratur. Seolah-olah ada yang mengikutinya.
Dita mencoba menepis pikirannya. Mungkin hanya gema langkahnya sendiri. Tapi suara itu terus ada—dan terasa semakin dekat.
"Tap... tap..."
Ia meremas tali tasnya erat-erat. Ia ingin berlari, tapi kakinya terasa berat. Jantungnya berdebar kencang, dan keringat dingin membasahi tengkuknya.
Lalu suara itu berhenti.
Senyap. Terlalu senyap.
Dita menelan ludah, mencoba mengatur napas. Rasa penasaran menguasai dirinya. Apakah benar ada seseorang di belakangnya? Atau hanya imajinasinya?
Ia hampir menoleh. Hampir.
Tapi tiba-tiba ia teringat pesan ibunya—"Jangan pernah menoleh ke belakang, apa pun yang terjadi."
Langkahnya goyah, tapi ia memaksakan diri untuk terus berjalan. Rumahnya sudah terlihat di ujung jalan. Hanya beberapa meter lagi.
Tiba-tiba, suara itu kembali.
"Tap... tap... tap..."
Tapi kali ini, suara itu bukan berasal dari belakang. Melainkan dari samping telinganya—begitu dekat, seolah ada yang berdiri di sebelahnya.
Suara napas berat terdengar samar. Dita memejamkan mata, melangkah lebih cepat. Hanya beberapa langkah lagi.
Saat tangannya menyentuh gerbang rumah, suara itu berbisik di telinganya.
"Andai tadi kau menoleh…"
Dita merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menghambur masuk ke rumah, membanting pintu di belakangnya. Napasnya tersengal-sengal, dadanya naik-turun cepat.
Ia memeriksa jendela—tak ada siapa pun di luar. Jalanan sepi. Hanya angin malam yang berdesir pelan.
Dita berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua itu hanya ilusi. Tapi, saat ia berbalik menuju kamar, matanya terpaku pada cermin di lorong.
Di sana, di dalam pantulan cermin, ada sosok pucat berdiri di belakangnya—membungkuk, dengan kepala miring tak wajar—tersenyum lebar, seolah menunggu… hanya untuk sekali saja… ia menoleh.