Dering bel sekolah berbunyi nyaring tiga kali, mengingatkan seluruh siswa siswi dan guru-gurunya bahwa ulangan tengah semester yang tengah berlangsung minggu ini akan segera dimulai. Kursi-kursi kosong yang dibuat berjarak satu sama lain dan tas-tas yang berkumpul di samping papan tulis menjadi ciri khas tersendiri. Murid-murid duduk dengan tenang, sedang beberapanya berbicara dengan suara rendah dengan temannya sembari menunggu bapak atau ibu pengawas memasuki kelas.
Dua orang bapak guru memasuki kelas, salah satu diantara mereka tidak memiliki rambut, badannya sedikit berisi dan tidak terlalu tinggi, mungkin usianya sekitar 40 tahun. Sedangkan satu yang lain terlihat cukup tampan dengan rambut hitamnya yang terpotong rapih, wanginya menyeruak kesudut-sudut kelas.
"Dia mandi parfum atau bagaimana?" Anes, siswi berparas manis dari kelas XI bersuara didalam hatinya, nampak terheran dengan laki-laki yang menurutnya sangat menawan.
"Baik anak-anak, silakan untuk meletakkan tas kalian di depan, setelah itu kembali duduk dengan tenang. Bapak akan membagikan QR untuk kalian scan supaya bisa mengakses soal ulangannya." bapak botak itu berkata demikian, nampak bijaksana dan berwibawa, suaranya pun mendukung seolah ia tokoh utama dalam ruangan ini. Namun, laki-laki berambut hitam dengan wangi badainya lebih terlihat menarik bagi Anes dan mungkin semua murid di kelas.
"Bagaimana dengan siswa siswi yang membawa dua handphone, pak? Apakah tidak ditarik sementara?" salah seorang siswi mengangkat tangan, teman kelas Anes. Tatapan matanya tajam, raut wajahnya yang datar seperti menggambarkan ia muak dengan kekonyolan beberapa guru.
"Tidak perlu, saya akan berkeliling, jadi saya dapat pastikan bahwa tidak ada yang bisa menyontek." guru botak itu menjawab, Anes mendapat gelagat bahwa guru muda disampingnya mulai tidak berfikir satu jalur.
"Itu tidak adil, pak. Apakah bapak akan berjalan mengelilingi kelas selama satu jam tiga puluh menit penuh? bukankah nantinya ada kemungkinan bapak diam dan berfokus ke arah lain?"
"Pak Nendra akan membantu saya memantau, kamu tenang saja."
Anes mengernyit, ia menatap teman sekelasnya itu. Namanya Indiana, ia adalah sosok yang dikenal begitu menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila, meskipun ia lahir dari campuran darah Jepang. Namun, besar di negara sang ibu, yakni Indonesia, menjadikannya lebih condong pada nilai-nilai di Indonesia.
"Saya sudah muak mengatakan ini kepada bapak atau ibu pengawas, mohon maaf jika saya lancang atau ucapan saya menyakiti. Namun, di kelas ini banyak sekali yang membawa dua handphone, mereka akan menggunakannya untuk mencari jawaban apabila menemukan soal yang susah, mereka juga berbisik satu sama lain untuk berbagi jawaban. Sedangkan kami berusaha sendiri, meskipun susah, tapi menjunjung nilai kejujuran. Apa bapak tidak mengerti itu? " Indiana berseru lantang. Memangkas lima menit pertama ujian, tentu saja yang lain mulai berdecak kesal, kelas XII dan sebagian kecil teman Indiana. Ya, pada dasarnya setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda.
"Saya akan memastikan mereka tidak menggunakan handphone keduanya saat ulangan. "
"Pemerintah juga berkata banyak hal, namun dalam tindakannya terkadang tidak sesuai. "
"Teman-teman, katakanlah bahwa banyak yang menyontek saat ulangan dimulai, jangan membuat waktu ulangan kita semakin menipis karena keadilan yang tidak diterapkan. Jika kalian tidak mau mengakui, berarti secara sadar kalian telah melunturkan nilai-nilai sila ke satu dan ke lima pancasila. Pada dasarnya sila kelima memang entahlah. "
"Benar, pak. Beberapa guru yang lain saat menjadi pengawas di kelas kami juga mengatakan seperti apa yang bapak katakan, tapi tertidur saat ulangan berjalan di menit empat puluh. " Anes berseru, sudah saatnya ia bersuara setelah sedari tadi memantau percakapan temannya.
"Iya, pak, betul. Kami berjuang sendiri, hasilnya tidak baik pun kami terima yang penting kami jujur, tapi siswa siswi yang berbuat nakal itu mendapatkan hasil bagus."
"Iya, pak. Tarik dulu handphone-nya!"
"Betul, pak!"
Beberapa teman Anes bersuara, mengeluarkan pendapat dan keluh kesah sebagai pihak yang mendapat ketidakadilan. Keadilan, kian terdengar jarang dan asing di telinga, padahal sudah jelas di dada sang Garuda terdapat perisai yang berisi lambang-lambang nilai yang menjadi pandangan hidup.
"Jika bapak tidak melakukan peraturan yang seharusnya, maka bapak secara sadar juga telah melunturkan nilai sila kelima pancasila. Tidak peduli dengan background hidup bapak, ketika bapak menginjakkan kaki di tanah NKRI, maka bapak secara wajib mengikuti, menaati dan menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. "
Anes melirik guru muda itu, nampak tersenyum bangga melihat Indiana. Ya, gadis muda dengan jiwa nasionalisme yang tinggi, menjunjung nilai-nilai dengan keberanian, meski ia tahu bahwa pihak-pihak yang merasa terusik akan melakukan berbagai cara untuk menjatuhkannya.
"Sudah, cukup. Waktu kalian sudah terpangkas delapan menit, sekarang semua siswa siswi yang membawa dua handphone, silakan salah satunya untuk ditaruh di depan. Apabila ada yang berbohong, saya pastikan kalian akan mendapatkan hukuman yang setimpal." guru muda itu berujar dengan suaranya yang merdu, nyatanya semerdu itu hingga membuat Anes tersenyum malu-malu. Ada apa dengannya?
"Saya apresiasi untuk kamu, dan siswa siswi yang berani menjunjung nilai-nilai pancasila, menegakkan kembali tiang yang sudah atau hampir roboh." guru itu menatap Indiana dan siswa siswi yang sepaham dengannya.
Ulangan pun berjalan setelah penarikan handphone. Indiana mengerjakan soal matematika dengan tenang meski mendapat tatapan tajam dari banyak teman dan kakak kelasnya. Sekolah tersebut memang selalu mengupayakan keadilan, namun banyak oknum yang tidak mematuhi setiap aturannya, rela jantungnya berdebar karena was-was apabila kecurangannya diketahui. Rela menunduk sampai lehernya keram demi mencari jawaban di kolong meja.
Saat istirahat tiba, seorang siswa menghampiri Indiana dan menggebrak mejanya dengan keras.
"Gausah sok-sok an lo, Jepang! Lo aja ga murni darah Indonesia, tapi kelakuan setinggi langit. Mending lo juga ikut nyonto kayak kita daripada sok-sok an ngomong ini itu sama guru, najis lo." siswa yang merupakan kakak kelas itu menggeram marah, menatap Indiana seolah akan menelannya kapan saja.
"Katakan hal yang baik atau tutup mulutmu." Indiana menatap mata siswa itu dengan tajam.
"Jangan sentuh saya atau saya pastikan kamu masuk ke rumah sakit!" Indiana berteriak cepat sebelum tangan siswa itu menarik rambutnya. Siswa itu menggeram marah dan bergerak cepat menarik rambut Indiana, beberapa helainya terlepas karena tarikan yang amat kuat. Dengan gerakan cepat, Indiana menarik lengan siswa itu dan menjadikan posisinya berhadapan meski rambutnya ditarik, ia menendang perut siswa itu hingga ia tersungkur.
"Sudah saya peringatkan." Indiana berlalu, meninggalkan ruang kelas menuju kamar mandi, kepalanya terasa sakit, kebas, dan perih karena tarikan yang terlampau kuat.
"Tidak ada salahnya untuk menegakkan nilai-nilai pancasila, karena memang seharusnya begitu. " Indiana bergumam sembari menatap cerminan dirinya, nampak cantik dengan wajah campuran dua negara.