Bagian 2: Sebuah Langkah Kecil
Sejak pagi itu, Anya mulai menyadari sesuatu—Rey tidak hanya sekadar anak laki-laki yang kebetulan ada di tempat yang sama dengannya. Kata-katanya, cara bicaranya, dan kehadirannya membawa sesuatu yang lain dalam hidup Anya.
Di sekolah, mereka mulai sering berbicara. Awalnya hanya sapaan singkat, lalu bertukar candaan kecil, hingga akhirnya duduk berdua di kantin sambil membicarakan banyak hal. Anya yang dulu selalu menyendiri kini memiliki seseorang di sisinya.
Suatu hari, saat pulang sekolah, Rey mengajak Anya pergi ke Bukit Cendana lagi.
"Aku penasaran," kata Rey sambil berjalan di sampingnya. "Kenapa kamu selalu datang ke bukit itu tiap pagi?"
Anya terdiam sejenak. Mereka berjalan di jalur tanah yang sedikit berbatu, angin sore menyentuh wajah mereka dengan lembut.
"Aku punya kenangan di sana," kata Anya akhirnya. "Dulu, aku sering datang ke sana bersama seseorang yang sangat aku sayang."
Rey menatapnya dengan penuh perhatian. "Seseorang?"
Anya tersenyum tipis. "Kakakku."
Rey tidak menyela. Ia membiarkan Anya melanjutkan dengan caranya sendiri.
"Kakakku selalu bilang, kalau kita melihat matahari terbit, itu tanda kalau hari itu akan menjadi hari yang baik. Tapi... dua tahun lalu, dia pergi dalam kecelakaan. Sejak itu, aku terus datang ke sini, berharap bisa melihat matahari terbit seperti yang biasa kami lakukan bersama."
Rey mengangguk pelan. "Jadi, kamu menunggu matahari terbit bukan hanya karena ingin melihatnya, tapi karena itu caramu mengenang dia?"
Anya mengangguk. "Mungkin terdengar bodoh, ya?"
"Tidak," kata Rey mantap. "Setiap orang punya caranya sendiri untuk mengenang seseorang yang mereka sayangi."
Mereka berhenti di puncak bukit. Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan semburat jingga yang membelah langit.
Anya menarik napas panjang. "Tapi belakangan ini, aku mulai sadar. Aku tidak bisa terus terjebak di dalam kabut masa lalu."
Rey menoleh ke arahnya, tersenyum. "Itu langkah yang bagus."
Anya menatapnya. "Dan aku rasa, kamu adalah bagian dari alasan kenapa aku bisa mulai berpikir seperti ini."
Rey terdiam. Ada sesuatu dalam tatapannya—sesuatu yang dalam dan hangat.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan mereka semakin dalam. Anya mulai menyadari bahwa setiap kali dia merasa sendirian, Rey selalu ada. Setiap kali dia merasa tenggelam dalam kenangan, Rey membawanya kembali ke dunia nyata.
Suatu pagi, untuk pertama kalinya, Anya tidak pergi ke Bukit Cendana sendirian. Kali ini, Rey sudah menunggunya di bawah pohon besar dekat jalan setapak.
"Pagi," sapa Rey dengan senyum khasnya.
"Pagi," balas Anya.
Mereka berjalan bersama ke puncak bukit. Kabut pagi masih menyelimuti segalanya, tapi Anya tidak lagi merasa kesepian.
"Menurutmu, kita bisa melihat matahari hari ini?" tanya Anya.
Rey menatap langit yang masih tertutup kabut. "Entahlah. Tapi kalaupun tidak, bukan berarti harinya akan buruk, kan?"
Anya tersenyum. "Kamu benar."
Mereka berdiri berdampingan, menunggu. Lalu, perlahan-lahan, sinar keemasan mulai menembus kabut. Sedikit demi sedikit, warna oranye menyelimuti langit.
Anya menahan napas. "Akhirnya..."
Rey menoleh ke arahnya. "Anya?"
Anya menoleh, dan tanpa sadar, matanya bertemu dengan mata Rey. Detik itu, semuanya terasa berbeda. Hatinya berdebar.
"Aku senang kamu ada di sini," kata Anya pelan.
Rey tersenyum. "Aku juga."
Mereka berdiri dalam diam, membiarkan matahari perlahan muncul sepenuhnya. Bagi Anya, pagi itu bukan hanya sekadar melihat matahari terbit—itu adalah tanda bahwa ia siap untuk melangkah maju.
Hari-hari berlalu, dan Anya semakin yakin bahwa Rey adalah seseorang yang berharga dalam hidupnya. Tapi satu pertanyaan masih mengganjal di hatinya: apakah Rey merasakan hal yang sama?
Suatu sore, di tempat yang sama, Anya memberanikan diri untuk bertanya.
"Rey," panggilnya.
"Hmm?"
"Apa kamu pernah... jatuh cinta?"
Rey terdiam. Ia menatap langit sejenak sebelum menjawab. "Pernah. Dan mungkin... aku sedang mengalaminya sekarang."
Anya menahan napas. "Siapa?"
Rey menoleh dan menatapnya dalam-dalam. "Kamu."
Anya membelalakkan mata. Hatinya berdebar begitu kencang hingga ia bisa merasakannya di seluruh tubuhnya.
"Sejak kapan?" tanyanya pelan.
Rey tersenyum. "Sejak pertama kali aku melihatmu di bukit ini, sendirian dalam kabut. Aku ingin menjadi seseorang yang bisa menemanimu, agar kamu tidak merasa sendiri lagi."
Anya merasakan matanya sedikit panas. "Kamu bodoh," katanya, tertawa kecil.
"Kenapa?" Rey mengernyit.
"Karena aku juga merasakan hal yang sama," ujar Anya dengan suara pelan tapi pasti.
Rey terdiam, lalu tersenyum lebar. "Kalau begitu, mulai sekarang, aku akan selalu ada di sini bersamamu. Tidak peduli apakah langitnya cerah atau tertutup kabut."
Anya tersenyum, lalu meraih tangan Rey dan menggenggamnya erat.
Kabut mungkin masih ada, tapi kali ini, Anya tidak lagi merasa tersesat.
Sebab di dalam kabut itu, ia menemukan cinta.
TAMAT