Bagian 1:permulaan
Udara pagi di Bukit Cendana terasa menusuk kulit. Kabut tebal menyelimuti seluruh area, membuat pepohonan tampak samar-samar seperti bayangan di kejauhan. Di antara putihnya kabut yang bergelayut di udara, seorang gadis berdiri di pinggir tebing, memeluk jaketnya erat-erat.
Namanya Anya. Ia selalu datang ke bukit ini setiap pagi sebelum sekolah, berharap bisa melihat matahari terbit. Tapi pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, kabut terlalu tebal.
Dia mendesah pelan, menggigit bibir bawahnya dengan sedikit kecewa. Entah mengapa, meski selalu tahu bahwa kabut akan menyelimuti bukit ini, ia tetap datang setiap pagi. Mungkin, jauh di lubuk hatinya, ia berharap suatu hari langit akan lebih cerah.
“Hei, kamu masih berharap bisa lihat matahari di tengah kabut begini?”
Suara itu datang dari seorang cowok yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. Anya menoleh, mendapati seorang anak laki-laki seusianya berdiri dengan tangan di saku jaketnya. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya terlihat familiar.
“Kamu siapa?” tanya Anya, sedikit berjaga-jaga.
Cowok itu tersenyum tipis. “Rey. Kita satu sekolah, satu kelas.”
Anya mengernyit, mencoba mengingat, tapi nama itu tidak terasa asing. Mungkin karena selama ini ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri, tidak memperhatikan orang di sekitarnya.
“Kamu sering ke sini?” tanya Anya akhirnya.
“Cukup sering,” jawab Rey. “Aku suka kabut. Ada sesuatu yang menenangkan di dalamnya.”
Anya tersenyum kecil. “Aku sebaliknya. Aku lebih suka langit cerah. Rasanya seperti harapan.”
Rey tertawa kecil. “Lucu. Kita ada di tempat yang sama, tapi punya alasan berbeda untuk menikmatinya.”
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan angin dingin menyapa wajah masing-masing.
“Aku sering lihat kamu di kelas, tapi kamu selalu menyendiri,” kata Rey akhirnya.
Anya menunduk, memainkan ujung jaketnya. “Aku lebih nyaman sendiri.”
“Atau kamu hanya takut terluka?”
Anya terkejut. Kata-kata itu terasa menohok. Ia tidak menjawab, hanya memandang kabut di depannya, membiarkan pikirannya melayang.
Rey mendekat, berdiri di sampingnya. “Aku juga begitu dulu. Berpikir lebih baik sendirian daripada dikecewakan.”
Anya menoleh, menatap wajah Rey yang terlihat serius.
“Tapi kemudian aku sadar,” lanjut Rey, “kesendirian tidak selalu menyelamatkan kita. Kadang, justru dengan membiarkan orang lain masuk, kita bisa melihat sesuatu yang lebih indah dari kabut ini.”
Anya menghela napas pelan. Kata-kata Rey entah bagaimana terasa menghangatkan.
Kabut dan Masa Lalu
Mereka tetap berdiri di sana, membiarkan angin pagi membawa keheningan yang terasa nyaman. Anya tidak pernah menyangka akan berbicara sedekat ini dengan Rey.
“Apa yang membuatmu suka kabut?” tanya Anya, mencoba menggali lebih dalam.
Rey tersenyum tipis. “Kabut itu seperti perasaan manusia. Kadang menutupi sesuatu yang ada di dalamnya, membuatnya samar. Tapi, kalau kamu cukup sabar, lama-lama kabut itu akan hilang dan kamu bisa melihat segalanya dengan lebih jelas.”
Anya menggigit bibirnya, mencerna kata-kata itu. Ia tidak tahu mengapa, tapi rasanya seperti Rey sedang berbicara tentang dirinya.
“Dulu aku juga suka langit cerah,” lanjut Rey, “tapi setelah kehilangan seseorang, aku mulai suka kabut.”
Anya menoleh cepat. “Kehilangan siapa?”
Rey menatap ke depan, ekspresinya sedikit berubah. “Ibuku. Dia meninggal tiga tahun lalu.”
Anya merasakan ada sesuatu yang mencubit hatinya. Ia tidak pernah tahu tentang ini. Rey selalu terlihat seperti anak biasa di kelas, tidak ada tanda-tanda kesedihan yang kentara.
“Aku… maaf.”
Rey menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Aku sudah terbiasa.”
Anya meremas jemarinya sendiri. Ia paham perasaan itu—perasaan kehilangan seseorang dan mencoba terlihat baik-baik saja.
Matahari yang Mulai Muncul
Beberapa menit berlalu dalam diam, hingga akhirnya sinar matahari mulai menerobos tipis di balik kabut.
Rey tersenyum kecil. “Lihat? Kabutnya mulai hilang.”
Anya mendongak, melihat bagaimana cahaya keemasan perlahan menyelinap di antara putihnya kabut. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sesuatu yang hangat di hatinya.
“Mungkin… aku memang harus mulai membiarkan orang lain masuk,” gumamnya pelan.
Rey menoleh, menatapnya dengan ekspresi lembut. “Kamu nggak sendirian, Anya.”
Anya menatap mata Rey, dan untuk pertama kalinya, ia merasa langit tidak seburuk yang ia kira—bahkan ketika masih ada kabut di dalamnya.
Nekt bagian 2 (ditunggu ya)