Malam itu hujan turun deras di Desa Karangjati. Angin berdesir di antara pepohonan, membawa bau tanah basah yang menusuk hidung. Di ujung desa, seorang pemuda bernama Arman mengendarai motornya dengan tergesa. Jalanan licin, dan matanya terus melirik jam di pergelangan tangan—sudah hampir pukul 12 malam.
"Ah, sial. Kena lembur lagi," gerutunya pelan.
Jalan desa itu sepi. Hanya lampu-lampu redup di beberapa rumah tua yang masih menyala. Saat Arman berbelok ke gang kecil menuju rumahnya, perasaan tidak nyaman tiba-tiba menyelinap di dadanya. Entah kenapa, jalan yang biasanya terasa biasa saja kini terasa… salah.
Motornya terus melaju hingga berhenti di persimpangan kecil yang mengarah ke jalan buntu. Di ujung jalan itu, ada kebun kosong yang sudah lama dibiarkan terbengkalai. Orang-orang desa jarang melewati tempat itu—terutama saat malam. Ada cerita lama yang enggan diungkapkan, tapi selalu dibisikkan: jangan pernah lewat jalan buntu setelah tengah malam.
Namun, Arman bukan tipe orang yang percaya tahayul. Dengan santai, ia membelokkan motornya ke arah jalan buntu, memotong waktu tempuh menuju rumahnya. Hujan masih mengguyur, membuat pandangannya samar.
Di tengah perjalanan, mesin motornya tiba-tiba mati.
“Sial!” Arman memukul setang motornya. Ia mencoba menyalakan kembali, tapi mesinnya hanya menderu pelan tanpa tanda-tanda hidup.
Saat itulah ia menyadari sesuatu yang aneh. Suara hujan terdengar semakin jauh, seakan-akan meredam… digantikan oleh suara lain. Suara kain yang bergesekan dengan tanah. Srek… srek…
Arman menoleh. Di ujung jalan buntu yang gelap, ada sesuatu yang bergerak pelan.
Sosok itu tinggi, dibungkus kain kafan kotor dengan simpul yang belum sepenuhnya terlepas. Kepalanya sedikit miring, seolah-olah memperhatikan Arman dari kejauhan. Pocong.
Arman menelan ludah. Ia mencoba berpikir logis—mungkin hanya bayangan atau imajinasinya. Tapi suara kain yang diseret itu semakin jelas. Sosok itu mulai melompat-lompat, mendekat perlahan.
Jantungnya berdebar kencang. Dengan panik, ia mencoba menyalakan motornya lagi, tapi mesinnya tetap mati. Sosok itu kini hanya berjarak beberapa meter darinya. Di bawah sorot redup lampu motor, Arman bisa melihat wajahnya—kusam, membusuk, dengan mata kosong yang menatap tajam.
Tiba-tiba, pocong itu berhenti. Diam di tempat. Tapi dari balik kain kafannya, terdengar suara berbisik… pelan… menyebut namanya.
"Arman…"
Arman hampir menjatuhkan diri dari motor. Ia tidak pernah memberitahu siapa pun bahwa ia lewat jalan ini. Jadi… bagaimana bisa makhluk itu tahu namanya?
Tanpa berpikir panjang, Arman melompat dari motornya dan berlari sekuat tenaga. Tapi langkahnya terasa berat, seolah-olah tanah di bawahnya menariknya kembali.
Di belakangnya, suara srek… srek… kembali terdengar, lebih cepat kali ini. Arman tidak berani menoleh. Ia hanya terus berlari, menembus hujan, hingga akhirnya keluar dari jalan buntu itu dan mencapai rumahnya.
Sesampainya di rumah, Arman mengunci pintu rapat-rapat. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Ia duduk di lantai, mencoba menenangkan diri. Mungkin itu hanya halusinasi karena kelelahan, pikirnya.
Namun, ketika ia menoleh ke arah jendela.
Sosok itu ada di sana. Berdiri diam di bawah hujan, dengan mata kosong yang terus menatapnya.
Dan malam itu, Arman akhirnya mengerti mengapa orang desa selalu memperingatkan Jangan pernah lewat jalan buntu setelah tengah malam.