Stay with me (Bagian 1)
“Duh? Apa dia mau nagih utang ku ya… duh gimana ni?”Langit senja berwarna jingga keemasan ketika Ara duduk di bangku taman sekolah, menggenggam erat ponselnya. Jari-jarinya gemetar saat ia menatap layar, membaca pesan dari Rey berulang kali.
*"Ara, kita harus bicara. Ketemu di taman sekolah setelah pulang, ya?"*
Jantung Ara berdebar tak karuan. Rey, sahabat sekaligus cinta pertamanya, tiba-tiba ingin bicara serius. Ada sesuatu dalam pesannya yang membuat perutnya terasa aneh, seolah firasat buruk sedang mengintainya.
Beberapa menit kemudian, Rey datang dengan langkah pelan. Senyum yang biasanya hangat kini terasa hambar. Ara menelan ludah, berusaha menenangkan hatinya yang mulai diliputi kecemasan.
"Rey, ada apa?" tanya Ara, suaranya sedikit bergetar.
Rey menghela napas, menunduk sesaat sebelum akhirnya menatap mata Ara dengan penuh kesedihan. "Aku... bakal pindah ke luar negeri minggu depan."
Dunia Ara seakan berhenti berputar. "Apa?" "Papa dipindah tugas ke London. Aku harus ikut," jelas Rey lirih.
Ara menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kenapa baru bilang sekarang?"
"Aku takut. Takut lihat kamu sedih, takut nggak bisa jaga kamu lagi," jawab Rey dengan suara serak.
Hening menyelimuti mereka. Hanya suara angin dan daun-daun yang berguguran menemani. "Kamu janji, kan?" suara Ara pecah. "Janji bakal selalu ada buat aku..."
Rey tersenyum getir, mengangkat kelingkingnya. "Aku tetap ada buat kamu, Ara. Walaupun jauh, aku nggak bakal lupa." Ara mengaitkan kelingkingnya pada Rey, menahan sesak di dadanya. "Jangan lupain aku, Rey..."
Angin kembali berembus, membawa pergi daun-daun yang jatuh. Sore itu, mereka hanya bisa saling menatap, menyimpan rindu yang belum sempat terucap.
**Stay With Me (Bagian 2)**
Sejak hari itu, waktu terasa berjalan terlalu cepat. Ara dan Rey masih berusaha menikmati setiap detik kebersamaan mereka, tapi bayang-bayang perpisahan selalu menghantui.
Di hari terakhir sebelum keberangkatan Rey, mereka bertemu di tempat favorit mereka—sebuah bukit kecil di belakang sekolah yang menghadap langsung ke matahari terbenam.
Ara duduk di atas rerumputan, memeluk lututnya erat. Rey duduk di sebelahnya, menggenggam tangan Ara tanpa berkata apa-apa. Keheningan mereka berbicara lebih banyak dari ribuan kata.
"Aku masih nggak percaya kamu bakal pergi," kata Ara akhirnya, suaranya lirih.
Rey menatapnya dengan mata yang penuh luka. "Kalau aku bisa milih, aku nggak akan pergi."
Ara menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Terus aku harus gimana tanpa kamu?"
Rey menghela napas, lalu merogoh sesuatu dari sakunya. Ia mengeluarkan sebuah gelang kulit yang sudah sedikit usang.
"Kamu ingat ini?" tanyanya.
Ara menatap gelang itu. "Ini... gelang yang kita beli waktu kita kelas satu SMA, kan? Di festival sekolah?"
Rey mengangguk. "Kita janji waktu itu, kalau kita bakal selalu ada buat satu sama lain."
Ara menatap gelang itu dengan perasaan campur aduk. Rey mengambil tangan Ara dan melingkarkan gelang itu di pergelangan tangannya.
"Aku pergi jauh, tapi bukan berarti aku pergi dari hati kamu," kata Rey pelan. "Setiap kali kamu lihat gelang ini, ingat kalau aku masih di sini... di samping kamu, dalam hati kamu."
Ara tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis dalam diam, sementara Rey menggenggam tangannya lebih erat.
"Aku takut, Rey," bisik Ara. "Takut kamu lupa, takut semua berubah..."
Rey tersenyum, meski matanya juga terlihat berkaca-kaca. "Nggak akan ada yang berubah. Stay with me, Ara... at least in your heart."
Angin sore berembus lembut, seolah ikut merasakan perih yang mereka rasakan. Senja itu menjadi saksi janji yang mereka buat—janji untuk tetap bersama, meski jarak memisahkan.
**Stay With Me (Bagian 3)**
Hari-hari berlalu tanpa Rey. Pada awalnya, Ara merasa hampa. Bangku kosong di sebelahnya di kelas, tidak ada lagi sosok yang menemaninya makan di kantin, dan perjalanan pulang terasa sunyi tanpa suara Rey yang selalu bercerita tentang hal-hal random.
Setiap malam, Ara masih menggenggam gelang kulit yang diberikan Rey. Ia membaca ulang chat mereka, mendengar ulang voice note Rey, seakan itu bisa mengurangi rasa rindunya. Tapi pada akhirnya, ia tahu bahwa Rey tidak akan kembali dalam waktu dekat.
Waktu berlalu, dan perlahan Ara mulai terbiasa. Ia tetap tersenyum, tetap tertawa dengan teman-temannya, meskipun ada bagian kecil di hatinya yang selalu kosong. Hingga suatu hari, seorang cowok baru di kelasnya mulai menarik perhatiannya.
Namanya Dika. Ia anak pindahan yang duduk di bangku belakang, terkenal santai dan sering bercanda. Awalnya, Ara tidak terlalu memperhatikan Dika. Tapi suatu ketika, saat ia kesulitan memahami pelajaran matematika, Dika menolongnya tanpa diminta.
"Ini simpel kok, lihat aja kayak gini..." ujar Dika sambil menggambar diagram di buku Ara.
Ara mengernyit, mencoba memahami, lalu akhirnya mengangguk. "Oh... ternyata gampang ya. Kok aku nggak kepikiran?"
Dika tertawa kecil. "Kadang kita cuma butuh cara pandang yang beda."
Dari hari itu, Dika dan Ara mulai sering menghabiskan waktu bersama. Dika tidak seperti Rey—ia lebih santai, tidak terlalu banyak bicara soal masa depan, tapi selalu bisa membuat Ara tertawa.
Suatu sore, saat mereka duduk di taman sekolah, Dika menatap Ara dengan ekspresi serius.
"Ara, boleh nanya sesuatu?"
Ara mengangguk. "Apa?"
"Kenapa kamu masih pake gelang itu?"
Ara terdiam. Ia menunduk, menatap gelang kulit Rey yang masih melingkar di pergelangan tangannya.
Dika tersenyum tipis. "Aku nggak maksa kamu buat lepasin. Aku cuma penasaran... kamu masih nunggu dia?"
Ara menghela napas. "Aku nggak tahu. Aku cuma takut kalau aku ngelepasin ini, aku bakal lupa sama dia."
Dika menatapnya dalam-dalam. "Kamu nggak akan lupa. Orang yang pernah kita sayang nggak akan hilang begitu aja, meskipun kita udah melangkah ke depan."
Ara menggigit bibirnya, merasa hatinya mulai goyah. Ia sadar, selama ini ia masih menggenggam masa lalu, takut untuk bergerak maju.
Dika meraih tangannya, menggenggamnya pelan. "Aku nggak bilang kamu harus lupa. Tapi kalau suatu hari kamu siap buat melepaskan... aku ada di sini."
Ara menatap Dika, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada kehangatan baru di hatinya.
Mungkin, perlahan, ia bisa melangkah ke depan.
**Stay With Me (Bagian 4)**
Waktu terus berjalan. Ara masih sering memikirkan Rey, tapi perlahan, kehadiran Dika mulai mengisi ruang kosong yang dulu hanya diisi oleh kenangan.
Dika tidak pernah memaksa Ara untuk melupakan Rey. Dia hanya ada di sana—menghiburnya saat hari terasa berat, membantunya saat ia kesulitan, dan yang paling penting, dia membuat Ara tertawa lagi.
Suatu sore, di kantin sekolah, Dika datang membawa dua es teh manis dan duduk di depan Ara.
"Kamu sadar nggak sih, sekarang kamu lebih sering senyum?" kata Dika tiba-tiba.
Ara menatapnya bingung. "Maksudnya?"
Dika menyeruput minumannya santai. "Dulu waktu pertama kali kita kenal, kamu sering melamun. Kayak ada sesuatu yang selalu kamu pikirin."
Ara terdiam sejenak. Ia sadar Dika benar. Dulu, setiap sudut sekolah ini mengingatkannya pada Rey, tapi sekarang... tidak lagi sekuat itu.
"Mungkin... aku mulai terbiasa," kata Ara akhirnya.
Dika tersenyum kecil. "Aku seneng denger itu."
Hari-hari terus berlalu, dan tanpa Ara sadari, Dika mulai menjadi bagian yang penting dalam hidupnya.
Hingga suatu malam, saat Ara sedang menatap gelang Rey di kamarnya, sebuah pesan masuk di ponselnya.
Dika: *Lagi apa?*
Ara tersenyum tipis dan membalas: *Cuma diem di kamar, lagi mikirin sesuatu.*
Dika: *Boleh tau?*
Ara: *Tentang masa lalu. Tentang seseorang.*
Dika tidak langsung membalas, tapi beberapa menit kemudian, pesan lain masuk.
Dika: *Ara, aku nggak akan pernah gantiin dia di hati kamu. Aku cuma pengen jadi seseorang yang bisa ada buat kamu... sekarang dan ke depan.*
Hati Ara bergetar. Ia menatap gelang di tangannya, lalu perlahan, dengan napas berat, ia melepasnya dan meletakkannya di dalam kotak kecil di atas mejanya.
Bukan karena ia ingin melupakan Rey. Tapi karena ia siap melangkah maju.
Ara membalas pesan Dika: *Terima kasih, Ka. Aku rasa... aku siap buat mulai lagi.*
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Ara merasa hatinya benar-benar tenang.
**Stay With Me (Bagian 5)**
Sudah tiga bulan sejak Ara dan Dika resmi berpacaran. Awalnya, Ara takut hubungan ini hanya akan menjadi pelarian, tapi seiring waktu, ia menyadari betapa tulusnya Dika.
Dika bukan tipe yang romantis berlebihan, tapi ia selalu tahu bagaimana membuat Ara nyaman. Ia tidak keberatan menunggu Ara benar-benar siap, dan itu yang membuat Ara semakin yakin dengan perasaannya.
Sampai suatu hari, kejutan datang dalam hidupnya.
Saat itu, Ara sedang berjalan menuju gerbang sekolah bersama Dika, tangan mereka saling menggenggam santai. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sosok yang berdiri di depan gerbang.
Rey Ia berdiri di sana dengan ransel di punggungnya, mengenakan jaket favoritnya yang masih sama seperti dulu. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, semua kenangan yang sudah Ara coba simpan rapat-rapat kembali menyeruak.
Dika menyadari perubahan ekspresi Ara dan mengikuti pandangannya. Ia mengernyit begitu melihat laki-laki asing yang kini berjalan mendekat.
"Ara..." suara Rey terdengar serak, seolah ia sendiri masih tidak percaya melihat Ara di depannya.
Ara masih terdiam, lidahnya kelu.
Dika, yang sejak tadi diam, akhirnya bertanya pelan, "Ara, ini...?"
Rey menatap Dika, lalu menatap tangan mereka yang masih saling menggenggam. Ada ekspresi aneh yang sulit ditebak di wajahnya.
"Aku Rey," katanya, memperkenalkan diri sambil menatap Dika. "Dan kamu...?"
Dika menggenggam tangan Ara lebih erat, seolah ingin meyakinkan Ara bahwa ia ada di sana. "Dika. Pacarnya Ara."
Hening.
Ara merasakan jantungnya berdegup kencang. Rey mengalihkan pandangannya ke Ara, raut wajahnya sulit diartikan. Ada keterkejutan, kekecewaan, dan entah apa lagi.
"Kita bisa bicara sebentar?" tanya Rey akhirnya.
Dika menatap Ara, seolah memberi isyarat bahwa ia akan mendukung apa pun keputusan Ara.
Ara menelan ludah, lalu perlahan mengangguk. "Iya..."
Dika melepas genggaman tangannya, dan Ara berjalan mendekati Rey.
Di dalam hatinya, ia tahu, pertemuan ini akan mengubah banyak hal.*
*Stay With Me (Bagian 6)**
Mereka duduk di bangku taman sekolah, tempat yang dulu penuh kenangan bagi Ara dan Rey.
"Aku balik, Ara," kata Rey akhirnya, suaranya pelan. "Aku nggak bisa lama-lama di London. Rasanya... ada yang hilang."
Ara menatap Rey, mencoba mencari jawaban di matanya. "Kenapa kamu nggak kasih tahu aku lebih awal?"
Rey menghela napas. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku takut... semuanya udah berubah."
Ara menggigit bibirnya. "Memang udah berubah, Rey."
Rey terdiam. Ia menunduk, lalu berkata, "Aku kira... kamu masih nungguin aku."
Ara menatap Rey lama. "Aku juga kira aku bakal nungguin kamu selamanya. Tapi hidup terus berjalan."
Hening.
Rey tersenyum kecil, tapi matanya menunjukkan sesuatu yang lain. "Dan sekarang, kamu sama Dika."
Ara mengangguk pelan.
Rey mengusap wajahnya, lalu menatap Ara dengan penuh ketulusan. "Kalau aku bilang aku masih sayang kamu, kamu bakal berubah pikiran?"
Jantung Ara berdetak lebih cepat. Ia tidak bisa berbohong—perasaan untuk Rey belum benar-benar hilang. Tapi di saat yang sama, ada Dika.
Dika yang selalu ada. Dika yang menerima Ara dengan segala luka yang belum sembuh.
**Tapi semua berubah keesokan harinya.**
Saat Ara tiba di sekolah, ia mencari Dika. Tapi Dika tidak ada. Tidak di kantin, tidak di kelas, tidak di mana pun.
Ia baru tahu alasannya ketika menemukan sepucuk surat di dalam laci mejanya.
*Ara, aku nggak pernah nyesel sayang sama kamu. Tapi aku juga tahu, ada bagian dari hati kamu yang masih milik Rey. Dan aku nggak bisa memaksa kamu buat benar-benar memilih aku kalau ada seseorang di masa lalu yang masih mengisi ruang itu.*
***Jadi aku pergi. Aku nggak mau bikin ini lebih sulit. Aku mau kamu bahagia, Ara. Dengan siapa pun itu.***
Ara merasa dunianya berputar. Tangannya gemetar saat ia menutup surat itu.
Dika pergi.
Dika mengalah.
Dan sekarang, Ara harus menghadapi kenyataan—tanpa Dika di sisinya
**Stay With Me (Bagian 7)**
Setelah Dika pergi, Ara merasa kehilangan. Tapi ada Rey—cinta pertamanya, yang kini kembali.
Pelan-pelan, mereka mencoba membangun ulang apa yang dulu pernah ada. Rey masih seperti yang Ara ingat—hangat, penuh perhatian, dan selalu tahu cara membuatnya tersenyum.
Hanya saja, ada sesuatu yang berbeda.
Kadang, Rey sering menghilang tanpa kabar. Kadang, ia membalas chat Ara lama sekali. Dan kadang, saat mereka jalan berdua, Ara merasa Rey tidak sepenuhnya ada di sana.
Awalnya, Ara mengabaikan perasaan itu. Mungkin Rey masih menyesuaikan diri setelah kembali dari London. Tapi semuanya berubah saat Ara melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.
Suatu sore, Ara berniat memberi kejutan dengan datang ke cafe milik Rey tempat nya nongkrong. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Rey duduk,
bersama seorang cewek.
Dan yang lebih menyakitkan—mereka berciuman. Dunia Ara runtuh seketika. Jantungnya berdegup kencang, tapi bukan karena bahagia. Dadanya sesak, tangannya gemetar.
Rey, yang selama ini ia pertahankan. Rey, yang membuatnya meninggalkan Dika. Rey, yang ia pikir adalah rumahnya—mengkhianatinya.
Ara berbalik, berjalan pergi sebelum air matanya jatuh. Tapi baru beberapa langkah, suara Rey menghentikannya.
"Ara?"
Ara menggigit bibir, menguatkan diri sebelum menoleh. Rey menatapnya dengan ekspresi panik, sementara cewek di sebelahnya tampak kaget.
"Aku bisa jelasin," kata Rey cepat.
Ara tertawa kecil—tawa yang lebih mirip tangisan tertahan. "Jelasin apa? Kalau aku cuma cadangan buat kamu?"
Rey melangkah mendekat. "Ara, please, dengerin aku dulu."
Tapi Ara mundur. Untuk pertama kalinya, ia tidak ingin mendengar apa pun dari Rey lagi. “Jujur aja Rey! Aku udah cape sama semua ini.”
"Oke fine,aku ngaku. Dia Rania,aku sayang sama dia and yeaah kamu gak usah ngerasa yang paling tersakiti kamu bahkan jalan sama Dika toh waktu aku gak indo.” Ujar Rey sambil memeluk Rania.
“Rey? Aku baru tau ada cowok sebajingan kamu! Dika itu cuma sahabat buat aku, dia bahkan gak pernah minta aku buat lupain kamu! Aku nyesel ketemu sama kamu Rey! Aku gak nyangka kamu kayak gini” Ujar Ara, kemudian menampar pipi Rey
Rania mendorong Ara menjauh dari Rey
“Lo gak usah.
Dan kali ini, ia benar-benar melepaskan Rey.
**Stay With Me (Bagian 8)**
Malam itu, Ara duduk di kamarnya, menatap gelang kulit yang dulu diberikan Rey. Tangannya gemetar saat ia menggenggamnya, mencoba memahami perasaannya sendiri.
Dulu, gelang ini adalah pengingat bahwa Rey selalu ada untuknya. Tapi sekarang, gelang itu terasa kosong.
Rey telah mengkhianatinya.
Air mata menggenang di matanya. Bukan hanya karena sakit hati, tapi juga karena sebuah kesadaran pahit—ia telah melepas seseorang yang tulus mencintainya demi seseorang yang justru menyakitinya.
Dika. Nama itu kembali muncul dalam pikirannya. Dan bersamaan dengan itu, sebuah kenangan juga muncul.
“Ara, aku nggak akan pernah gantiin dia di hati kamu. Aku cuma pengen jadi seseorang yang bisa ada buat kamu... sekarang dan ke depan.”
“Aku nggak bilang kamu harus lupa. Tapi kalau suatu hari kamu siap buat melepaskan... aku ada di sini.”
Dan yang paling menyesakkan—suara Dika yang paling terakhir ia ingat sebelum pergi:
“Stay with me, and me stay with you.”
Ara memejamkan mata. Ia tidak tahu sejak kapan air matanya jatuh.
Dika pernah mengatakan itu dengan penuh ketulusan. Dan Ara, bodohnya, malah melepaskan seseorang yang benar-benar ingin tetap bersamanya.
Tangannya meraih ponsel di atas meja. Dengan jantung yang berdetak cepat, ia mencari kontak Dika.
Namun saat ia membuka chat mereka, hanya ada layar kosong.
Dika sudah menghapus kontaknya.
Ara menggigit bibir. Dadanya terasa sesak. Ia ingin menghubungi Dika, ingin mengatakan betapa menyesalnya ia telah melepaskan orang yang seharusnya ia pertahankan.
Tapi apakah Dika masih ingin mendengarnya?
Atau semuanya sudah terlambat?
**Stay With Me (Bagian 9)**
Ara tidak bisa tidur semalaman. Bayangan Dika terus menghantuinya, bersamaan dengan suara hatinya yang penuh penyesalan.
Keesokan paginya, ia pergi ke sekolah dengan satu tujuan—mencari Dika. Tapi begitu sampai, teman-temannya memberi kabar yang membuatnya semakin hancur.
"Dika udah pindah sekolah, Ra. Kemarin dia ngurus administrasi terakhirnya," kata Rina, teman sekelasnya.
Ara terdiam. Dunia seakan berhenti berputar.
Dika benar-benar pergi.
Tanpa sadar, Ara berlari keluar kelas. Napasnya memburu saat ia merogoh ponsel di sakunya, mencoba mencari jejak terakhir Dika di media sosial, tapi tidak ada. Semua akunnya menghilang.
Ia benar-benar menghilang dari hidup Ara.
Tapi Ara tidak mau menyerah. Jika Dika sudah berusaha sebegitu keras untuk menghilang, maka Ara juga harus berusaha lebih keras untuk menemukannya.
***—Stay with me, and me stay with you.***
Kalimat itu terus terngiang di benaknya. Dika pernah bilang itu dengan sepenuh hati. Ara yakin, di lubuk hati Dika yang paling dalam, ia pasti masih mengingatnya.
Ara tidak tahu harus mencari ke mana, tapi satu hal yang ia tahu—ia tidak akan berhenti sampai ia menemukannya.
(Bagian 10)
Dika duduk di bangku taman dekat sekolah barunya, menatap kosong ke langit senja. Tangannya meremas ponsel, jemarinya ragu-ragu untuk membuka chat terakhirnya dengan Ara.
Ia sudah mencoba menghapus segalanya—nomor Ara, akun media sosialnya, bahkan semua foto mereka. Tapi satu hal yang tidak bisa ia hapus adalah perasaannya.
Dika menutup mata. Di kepalanya, suara Ara masih terngiang. Tawanya, caranya menyebut namanya, dan—yang paling menyakitkan—bagaimana Ara dulu menggenggam tangannya begitu erat, seolah tidak ingin melepaskan.
Tapi pada akhirnya, Ara memang melepaskannya. Untuk Rey.
Dika menghela napas panjang. Ia pergi bukan karena ia ingin, tapi karena ia tahu Ara masih belum sepenuhnya memilihnya.
Tapi sekarang, setelah beberapa minggu, kenapa rasanya lebih sulit daripada yang ia kira? Kenapa setiap kali ia mencoba melupakan, bayangan Ara justru semakin kuat?
Ia membuka ponselnya, jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat satu pesan di folder arsipnya.
Pesan terakhir dari Ara sebelum ia menghilang:
**"Terima kasih, Ka. Aku rasa... aku siap buat mulai lagi."**
Dika tersenyum miris. Saat itu, ia percaya. Ia benar-benar percaya Ara sudah memilihnya.
Tapi akhirnya? Ara kembali ke Rey.
Dika menatap langit yang mulai gelap. Lalu, tanpa sadar, bibirnya berbisik pelan:
*"Ara... kamu masih nyari aku nggak?"*
**Stay With Me (Bagian 11)**
Dika baru saja keluar dari kelas saat seorang teman lamanya, Fajar, tiba-tiba menghubunginya.
"Bro, lo udah tahu kabar Ara?"
Dika menghentikan langkahnya, hatinya berdebar aneh. "Kenapa Ara?"
Hening sebentar, lalu Fajar berkata, "Rey selingkuh."
Dika terdiam. Ia menggenggam ponselnya lebih erat, mencoba mencerna informasi itu.
"Ara lihat sendiri," lanjut Fajar. "Gue dengar dia ninggalin Rey di tempat latihan basket. Setelah itu... dia berubah. Murung banget, jarang ngomong sama siapa-siapa. Kayak kehilangan arah."
Dika menelan ludah. Bagian dalam dirinya ingin merasa puas—ini konsekuensi dari keputusan Ara sendiri, bukan? Tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang lain.
Khawatir.
"Ara gimana sekarang?" tanya Dika, suaranya lebih pelan.
"Gue nggak tahu. Dia nggak masuk sekolah dua hari ini. Kayaknya dia benar-benar hancur, Ka."
Dika menghembuskan napas panjang. Pikirannya kacau. Ara telah memilih Rey dan mengabaikannya. Seharusnya dia tidak peduli lagi.
Tapi kenapa sekarang dadanya terasa sesak?
Kenapa bayangan Ara menangis justru membuatnya ingin lari kembali ke sisinya?
Dika menatap langit senja yang mulai meredup. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya—apakah Ara masih mengingat kata-kata mereka dulu?
*"Stay with me, and me stay with you."*
Dan jika Ara benar-benar masih mengingatnya… apakah Dika harus kembali?
**Epilog – Stay With Me**
Beberapa bulan telah berlalu sejak malam itu. Ara dan Dika tidak langsung kembali menjadi sepasang kekasih, tapi mereka tetap ada untuk satu sama lain.
Hubungan mereka tidak terburu-buru. Tidak penuh janji manis yang terlalu muluk. Mereka hanya berjalan beriringan, memperbaiki luka-luka yang pernah ada, sedikit demi sedikit.
Ara belajar bahwa cinta bukan hanya soal memiliki, tapi juga tentang menghargai. Tentang memahami bahwa tidak semua hal bisa dipaksa, dan bahwa kesalahan di masa lalu bukan berarti akhir dari segalanya.
Dika belajar bahwa terkadang, melepaskan bukan berarti menyerah. Terkadang, pergi sementara adalah satu-satunya cara untuk menemukan jalan kembali. Suatu sore, mereka duduk di bangku taman sekolah, tempat di mana semuanya bermula.
"Kamu nyesel nggak, Ka?" tanya Ara tiba-tiba.
Dika menatapnya, tersenyum kecil. "Nyesel kenapa?"
"Karena balik lagi ke aku."
Dika terdiam sejenak, lalu menggeleng. "Kalau hati aku masih tetap milih kamu, berarti dari awal aku nggak pernah benar-benar pergi, Ra." Ara tersenyum, menatap langit senja di atas mereka. Kali ini, tidak ada keraguan di hatinya.
Mereka masih belum tahu ke mana takdir akan membawa mereka. Tapi untuk saat ini, mereka ada di sini, bersama.
Dan itu sudah cukup.Stay with me, and me stay with you.
_TAMAT__