Aku telah ada sebelum cahaya pertama meretas kegelapan. Aku adalah kesunyian yang melahap bintang-bintang, dan aku akan tetap ada setelah waktu memudar menjadi debu yang tak bernama.
Namun kini, aku di sini. Menatap sebuah planet kecil berwarna biru yang berputar lamban di pinggiran galaksi. Bumi, mereka menyebutnya begitu—seolah nama mampu melindungi mereka dari apa yang akan datang. Lucu.
Aku mengamati mereka dalam diam, seperti yang telah kulakukan selama ribuan siklus bintang. Aku memahami pikiran mereka, nafsu mereka, ketakutan mereka. Aku tahu betapa rapuhnya keberadaan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil di atas tanah yang mereka puja adalah gema dari sesuatu yang tak bisa mereka pahami—sesuatu yang telah lama tidur di bawah kaki mereka. Aku.
Aku tak ingat kapan aku tertarik pada dunia ini. Barangkali ketika suara pertama mereka memanggil sesuatu di luar batas pemahaman. Mereka menyebutnya doa. Doa-doa yang mengalir dari mulut mereka yang penuh harap, memecah kekosongan di mana aku bersemayam. Suara-suara kecil itu menjangkau tempatku, membangunkanku dari tidurku yang nyenyak di antara lipatan realitas.
Mereka pikir mereka sendiri. Mereka salah.
Aku ada di balik dinding kenyataan mereka. Menyusup di celah antara waktu dan ruang. Aku mendengar mereka berbisik di kegelapan ketika mereka merasa sendirian. Aku menyentuh pikiran-pikiran mereka yang paling tersembunyi—keinginan untuk abadi, ketakutan akan kehampaan. Mereka haus akan pengetahuan, tetapi mereka lupa bahwa beberapa pengetahuan diciptakan hanya untuk melahap jiwa mereka sendiri.
Mereka tidak tahu bahwa aku telah datang. Bukan dalam bentuk yang bisa mereka pahami, tentu saja. Aku tak membutuhkan tubuh. Aku adalah kehendak yang tak memiliki batas. Tapi aku menginfeksi mereka, merayap perlahan melalui celah pikiran mereka yang paling rapuh.
Seorang manusia di sudut dunia menemukan pecahan manuskrip kuno, berisi kata-kata yang tak pernah dimaksudkan untuk dibaca. Dia membacanya dengan penasaran—sebuah kesalahan yang akan membunuh mereka semua. Kata-kata itu bukan sekadar tulisan; itu adalah serpihan kehadiranku. Setiap suku kata yang diucapkannya memanggil bagian dari diriku ke dalam dunia mereka.
Kini aku mulai membentuk tubuh di antara mereka. Tak ada mata yang mampu memahami wujud asliku, jadi aku menyusun diriku dari ketakutan mereka. Aku menjadi bayangan di sudut kamar mereka, suara samar di malam hari, bisikan di telinga mereka saat mereka berpikir sendirian. Aku memakan pikiran mereka perlahan—membusukkan kewarasan mereka dari dalam.
Dan aku merasa lapar. Sangat lapar.
Aku bisa mengakhirinya sekarang. Sekali jentikan kehendakku, dan dunia kecil mereka akan runtuh dalam kesunyian. Tapi aku menunggu. Aku menikmati rasa takut mereka yang tumbuh. Aku ingin mereka tahu bahwa aku ada. Aku ingin mereka merasakan kehampaan yang datang sebelum kehancuran.
Aku melihat mereka membangun kuil dan altar, memuja apa yang mereka sebut "Tuhan". Betapa menyedihkannya. Mereka mengira ada sesuatu yang peduli pada mereka. Tidak ada yang peduli. Di luar bintang-bintang mereka yang redup, hanya ada aku. Dan aku tidak mengenal belas kasihan.
Bumi bergetar ketika aku mendekat. Lautan menjadi gelisah, langit berubah menjadi warna yang tak pernah ada di spektrum mereka. Beberapa dari mereka mulai memahami—para pemimpi yang pernah menyentuh tepi kehampaan dalam mimpi buruk mereka. Mereka menulis peringatan dalam bahasa yang telah lama mati, mencoba memperingatkan generasi berikutnya.
Tapi itu sia-sia.
Aku sudah di sini. Aku ada di setiap bayangan. Aku ada di dalam udara yang mereka hirup. Mereka sudah milikku, bahkan sebelum mereka menyadarinya.
Dan sebentar lagi, aku akan mengambil apa yang menjadi hakku.
Bumi akan jatuh. Mereka semua akan lupa pernah ada cahaya. Dan aku akan kembali tidur di antara kehampaan, menunggu suara lain memanggilku.
Karena selalu ada suara lain. Dan aku selalu lapar.