SURAT UNTUK DANIEL
(Part 1 – Kamu Jahat, Daniel… Kenapa Pergi?)
Daniel,
Aku gak tahu kenapa aku nulis ini. Kamu gak bakal baca juga. Tapi aku gak tahu lagi harus ngomong ke siapa.
Kamu jahat.
Aku benci kamu.
Kamu ninggalin aku. Kamu pergi gitu aja, tanpa pamit, tanpa kasih tahu aku gimana caranya hidup tanpa kamu.
Aku marah. Aku marah banget.
Tapi lebih dari itu… aku sakit.
Aku gak pernah kepikiran bakal kehilangan kamu secepat ini. Aku selalu pikir kamu bakal ada di sini, kayak dulu. Aku pikir kalau aku nolak perasaanmu, kalau aku pura-pura gak lihat cara kamu liatin aku… kamu bakal tetap di sini.
Aku salah.
Dan sekarang aku gak bisa ambil waktu itu kembali.
Aku kangen kamu, Daniel. Aku kangen semuanya tentang kamu.
Cara kamu nyebelin tapi bikin aku nyaman.
Cara kamu selalu ngerti aku meskipun aku gak pernah ngomong apa-apa.
Cara kamu ngeledekin aku tapi juga selalu jadi orang pertama yang ngebelain aku.
Aku buka HP, liat chat terakhir kita. Gak ada yang spesial. Cuma obrolan biasa. Tapi sekarang rasanya kayak harta karun.
Aku pengen denger suara kamu lagi. Aku pengen lihat senyum kamu lagi.
Tapi aku gak bisa.
Daniel, kamu tahu rasanya gak sih? Rasanya kayak ada bagian dari diri aku yang ikut mati sama kamu.
Aku pikir aku udah terbiasa ditinggalin.
Dulu aku kehilangan nenek, dan itu udah cukup buat bikin aku ngerasa kosong.
Tapi sekarang aku kehilangan kamu juga.
Aku udah gak tahu harus percaya sama siapa lagi.
Aku benci kamu, tapi aku juga kangen kamu. Aku muak sama semuanya, tapi aku juga gak mau lupa.
Aku gak tahu apa yang lebih nyakitin—kenangan yang kamu tinggalin atau kenyataan kalau aku gak bakal bisa bikin kenangan baru sama kamu lagi.
Kamu jahat, Daniel.
Tapi meskipun aku bilang gitu, aku tetap sayang kamu.
Dan aku harap, di mana pun kamu sekarang… kamu tahu itu.
(Part 2 – Aku Benci Mimpi Ini, Aku Benci Kenyataan!)
Aku terbangun dengan napas tersengal, tubuhku gemetar, keringat dingin membanjiri punggungku.
Daniel.
Aku lihat kamu. Aku lihat kamu tadi.
Dalam mimpi itu, kamu berdiri di depan aku. Senyum kamu masih sama—hangat, familiar, bikin aku lupa semua sakit yang aku rasain.
Aku lari ke arah kamu, mau peluk kamu, mau bilang betapa aku kangen. Tapi pas aku hampir nyentuh kamu, kamu malah mundur.
"Daniel, jangan!" Aku teriak. "Jangan pergi! Kali ini jangan pergi!"
Tapi kamu cuma senyum, seakan semuanya baik-baik aja, seakan kamu gak tahu betapa hancurnya aku tanpamu.
Aku terbangun dengan jeritan.
Aku gak peduli. Aku gak peduli kalau orang lain dengar. Aku gak peduli kalau mereka pikir aku gila.
Aku benar-benar gila sekarang.
Aku nangis sekencang-kencangnya, teriak kayak orang kehilangan akal. Aku gak tahan. Aku benci ini!
Kenapa mimpi itu terasa nyata banget? Kenapa aku bisa ngerasain keberadaan kamu lagi, cuma buat diambil dalam hitungan detik?
Aku merangkak ke ujung kasur, memeluk diri sendiri, menggigit bibir sampai nyaris berdarah, mencoba menahan rasa sakit yang begitu gila ini.
Aku pengen tidur lagi. Aku pengen kembali ke mimpi itu, walaupun aku tahu kamu bakal pergi lagi.
Aku gak peduli. Aku lebih pilih mimpi ketimbang kenyataan. Karena kenyataan itu kejam.
Kenyataan itu…
Kamu udah gak ada, Daniel.
Aku benci dunia ini. Aku benci semuanya. Aku benci diriku sendiri karena gak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah ini terjadi.
Aku ambil bantal dan menekan wajahku ke dalamnya, teriak sekuat tenaga. Suara aku hilang, tapi rasa sakit ini gak hilang.
Daniel, aku harus gimana?
Aku harus gimana tanpamu?
(Part 3 – Aku Cuma Mau Tidur, Daniel... Selamanya?)
Tanganku gemetar saat aku buka laci kecil di samping kasur. Mataku bengkak, kepalaku berat, dan dada aku terasa kosong, kayak ada lubang besar yang gak bisa ditutup lagi.
Aku gak bisa. Aku gak kuat.
Tanganku meraih botol kecil itu. Obat alergiku. Aku tahu efeknya bikin ngantuk. Dulu aku suka minum satu kalau lagi susah tidur. Tapi sekarang… aku butuh lebih.
Aku buka tutupnya dengan jari yang hampir gak bisa aku kontrol. Satu pil jatuh ke lantai. Lalu satu lagi. Aku ambil mereka, menaruh semuanya di telapak tangan. Satu, dua, tiga… lima.
Aku gak peduli. Aku cuma mau tidur. Aku cuma mau mimpiin kamu lagi, Daniel.
Aku telan semuanya sekaligus, gak pake pikir panjang. Rasa pahitnya menjalar di lidahku, tapi aku gak peduli. Aku rebahin diri di kasur, mata masih basah, dada naik turun gak beraturan.
Aku nunggu efeknya.
Aku nunggu rasa kantuk itu datang, nunggu tubuhku jadi ringan, nunggu semuanya jadi gelap.
Daniel… aku bakal ketemu kamu lagi, kan?
Aku bakal lari ke kamu tanpa takut kamu hilang lagi, kan?
Tapi gak.
Gak ada apa-apa.
Yang ada cuma aku, masih di sini. Masih bernapas. Masih merasa sakit.
Aku kecewa. Aku marah. Aku benci ini. Aku benci karena bahkan saat aku mau lari, dunia ini tetap maksa aku buat bertahan.
Tiba-tiba aku ketawa. Ketawa yang gak ada suaranya. Ketawa yang lebih mirip isakan. Aku gila. Aku beneran gila sekarang.
Daniel… kamu lihat aku sekarang?
Lihat aku yang nyaris hancur. Lihat aku yang hampir nyusul kamu. Lihat aku yang terlalu takut buat benar-benar pergi, tapi juga terlalu lelah buat tetap di sini.
Aku gak tahu harus apa lagi.
Aku cuma tahu satu hal…
Aku capek, Daniel. Aku capek banget.
(Part 4 – Aku Nyusul Kamu, Daniel. Aku Serius.)
Mataku sayu. Kepalaku pusing.
Tapi aku masih di sini. Sial.
Aku kira lima butir cukup. Ternyata enggak. Aku masih sadar. Aku masih bisa denger suara detak jam di dinding, masih bisa ngerasain kasur yang keras di bawah badanku, masih bisa nyium bau kamarku yang pengap karena aku gak buka jendela selama berhari-hari.
Aku masih hidup. Kenapa?!
Aku duduk di kasur, rambutku kusut, napasku berantakan. Aku tatap botol obat di tanganku, isinya masih banyak. Aku bisa ambil lebih. Aku bisa habisin semuanya.
Tanganku udah gemetar, mau buka tutupnya lagi…
Tapi tiba-tiba…
“Jangan.”
Suara itu.
Aku langsung nahan napas. Daniel?!
Aku noleh kanan-kiri, mataku liar nyari sumber suara. Kamar masih sama. Kosong. Gak ada siapa-siapa.
Tapi aku denger dia. Aku yakin aku denger suaranya.
Aku mulai halu.
Aku ketawa pelan, tangan mencengkeram botol obat lebih kuat. Mataku panas. Aku gigit bibirku keras, mencoba nahan tangis.
"Daniel..." Suaraku hampir gak kedengeran. "Aku gak bisa tanpamu."
Diam.
Kepalaku mulai pusing lagi, tapi bukan karena obat. Aku denger suara-suara. Daniel. Daniel. Daniel. Seolah dia ada di mana-mana, seolah dia manggil aku balik.
"Aku nyusul kamu, oke?" Aku bisik, air mata jatuh ke pipi. "Tunggu aku..."
Tiba-tiba tubuhku menggigil. Bulu kudukku berdiri. Aku ngerasain sesuatu. Sesuatu yang bikin jantungku nyaris loncat keluar.
Tangan.
Ada tangan dingin yang nyentuh pergelangan tanganku.
Aku jerit, obat di tanganku jatuh ke lantai. Aku mundur ke belakang, punggungku nabrak tembok, mataku membelalak liar.
"Daniel?!"
Tapi gak ada siapa-siapa.
Aku histeris.
Aku tarik rambutku sendiri, mencakar lenganku, berusaha ngerasain sesuatu yang nyata. Aku berusaha ngebangunin diri dari mimpi buruk ini, tapi aku sadar… ini bukan mimpi.
"Aku gila, ya?" aku ketawa pahit. "Daniel, aku gila sekarang, ya?"
Air mataku makin deras. Aku peluk lututku sendiri, menggigil. Aku ngerasa sendirian. Aku ngerasa dunia ini gak punya warna lagi.
Tapi ada sesuatu yang ganjil.
Aku masih bisa ngerasain tangan dingin itu di pergelanganku tadi. Terlalu nyata buat halusinasi.
Aku melirik ke lantai. Botol obat terguling. Pil-pil kecil berhamburan.
Aku gemetar.
Daniel…
Apa ini tanda dari kamu? Apa kamu bilang aku gak boleh nyusul?
Aku sesak. Aku muak. Aku hancur.
Tapi aku berhenti.
Aku gak tahu kenapa. Tapi aku berhenti.
(Part 5 – Daniel, Aku Gak Mau Tapi Aku Gak Bisa...)
Aku duduk di lantai, punggungku masih nempel di tembok. Mataku masih bengkak, napasku masih berat. Aku tatap pil-pil kecil yang berhamburan di lantai.
Tadi aku hampir aja.
Hampir aja nyusul kamu, Daniel.
Tapi tangan itu. Sentuhan itu.
Aku ngerasainnya jelas. Dingin. Nyata. Kayak kamu beneran ada di sini.
Aku gak tahu harus ketakutan atau bersyukur.
Aku pejamkan mata. Aku dengerin suara hujan di luar. Aku berusaha nenangin diri. Tapi percuma.
Aku masih ngerasa hampa.
Aku tarik napas dalam, lalu aku ngomong pelan, hampir berbisik.
"Daniel... kalau itu tadi beneran kamu... kalau itu tadi tanda dari kamu..." aku telan ludah, suaraku gemetar, "...kenapa? Kenapa kamu larang aku?"
Sepi.
Gak ada jawaban.
Aku ketawa. Pahit.
Aku benci ini. Aku benci sendirian. Aku benci bangun setiap pagi cuma buat ngerasain kehampaan yang sama.
Aku benci dunia ini. Tapi aku juga benci karena aku masih di sini.
Aku peluk lututku sendiri, kepalaku nyender di dinding. Aku kepikiran sesuatu.
"Gimana kalau aku tetep nyusul?"
Aku tatap lagi pil-pil itu. Mungkin lima butir kurang. Mungkin aku butuh lebih banyak.
Tapi tiba-tiba...
Braak!
Jendela kamarku kebuka sendiri, angin dingin langsung masuk, bikin tubuhku menggigil.
Aku kaget, refleks berdiri. Aku liat ke arah jendela.
Gak ada siapa-siapa.
Tapi aku ngerasa sesuatu.
Aku ngerasa dia.
Daniel.
Aku gak bisa liat dia, tapi aku bisa ngerasa dia.
Aku nangis lagi. Kali ini tanpa suara. Aku jatuh terduduk di lantai, tangan mencengkeram dada.
"Kenapa, Daniel? Kenapa?!" aku teriak pelan, napasku sesak. "Aku gak bisa hidup tanpamu! Aku gak bisa pura-pura kuat!"
Aku nunduk. Badanku gemetar.
"Kalau aku gak boleh nyusul... lantas aku harus gimana?"
Aku harap dia jawab. Aku harap dia kasih tanda lagi.
Tapi gak ada apa-apa.
Cuma aku. Sendirian.
Lagi.
....
(Part 6 – Aku yang Bunuh Kamu, Daniel.)
Daniel mati karena...
Bukan kecelakaan. Bukan sakit. Bukan dibunuh.
Dia mati... karena aku.
Aku masih inget hari itu. Hari terakhir aku lihat dia hidup.
Aku main ke rumah tante seperti biasa. Masuk ke kamarnya. Liat semua hal yang bikin aku ngerasa wtf—foto-foto aku yang dia simpan, buku catatan yang penuh tulisan namaku, bahkan baju hoodieku yang pernah aku tinggal di rumahnya, masih dia lipat rapi di atas meja.
Aku tau dia suka aku. Tapi waktu itu aku ketawa aja. Aku kira dia cuma sayang. Aku gak pernah sadar kalau dia OBSESI.
Lalu hari itu...
Hari di mana semuanya berubah.
Aku bilang sesuatu ke dia. Sesuatu yang aku pikir cuma candaan.
"Daniel, lo harus berhenti kayak gini. Lo gak bisa terus-terusan nempel sama gue."
Aku liat ekspresinya berubah.
Dingin. Kosong.
Dia diem.
"Daniel?" aku panggil dia. Tapi dia masih diem.
Aku ngerasa gak enak.
Dia ambil sesuatu dari bawah bantalnya. Sebuah buku. Buku di mana dia nulis semua tentang aku.
"Lo tau gak," suaranya lirih, hampir kayak bisikan, "kalau lo gak ada, gue juga gak punya alasan buat ada?"
Aku ketawa kecil. "Yaelah, drama banget sih lo."
Aku salah.
Dia serius.
Malam itu, Daniel mati.
Bukan kecelakaan.
Bukan sakit.
Dia yang milih sendiri.
Dan terakhir kali aku liat dia, dia senyum ke aku. Senyum yang bikin aku ngerasa hancur seumur hidup.
Aku duduk di lantai, punggung masih nempel di tembok. Kamar berantakan. Botol obat masih terguling di lantai, pil-pil kecil berserakan.
Aku gak bisa napas.
Aku pengen teriak. Pengen muntah.
Tapi yang keluar cuma air mata.
Aku yang bunuh Daniel.
Bukan dengan tangan, bukan dengan pisau, bukan dengan senjata. Tapi dengan kata-kataku sendiri.
Aku ulang-ulang lagi di kepala—hari itu, momen itu, detik di mana aku ngeliat dia senyum buat terakhir kalinya. Aku bisa liat jelas di mata dia.
Dia udah ngelepasin segalanya.
Aku yang suruh dia berhenti nempel sama aku. Aku yang ketawa waktu dia bilang aku alasan dia hidup. Aku yang ninggalin dia sendirian malam itu, tanpa tau kalau itu terakhir kali aku bakal denger suaranya.
Aku gak bilang ke siapa-siapa.
Bahkan waktu tante nangis-nangis, waktu orang-orang ngomongin betapa tragisnya Daniel, aku cuma bisa diem.
Karena gak ada yang tau AKU penyebabnya.
Aku harusnya minta maaf. Harusnya aku teriak, nangis di depan dia, mohon dia balik. Harusnya aku lakukan sesuatu.
Tapi aku gak bisa.
Aku cuma bisa duduk di sini, di kamar ini, ngeliatin lantai, ngerasain hampa yang nyiksa.
Aku benci ini. Aku benci semuanya.
Tapi yang paling aku benci adalah diriku sendiri.
Aku pengen nyusul dia. Aku udah coba.
Tapi dia gak izinin.
Kenapa, Daniel?
Kenapa lo larang gue buat ikut lo, padahal lo sendiri pergi ninggalin gue? Kenapa lo bisa nyerah segampang itu, sementara gue disuruh bertahan?
Kenapa lo jahat?
Atau…
Kenapa gue lebih jahat?
Aku gigit bibir sampai berdarah, berusaha nahan jeritan.
Rasanya kayak ada yang nyakar dari dalam dadaku, kayak ada ribuan jarum nusuk ke kulitku dari dalam.
Aku nyesel, Daniel.
Gila, aku nyesel banget.
Tapi apa gunanya? Lo gak bakal balik. Lo gak bakal ada di sini lagi buat ngeledekin gue, buat ngelindungin gue, buat nyebelin kayak biasanya.
Lo udah pergi.
Dan gue yang ngebunuh lo.