Bagian 3: Akhir yang Tak Terduga
Aku pikir setelah semuanya terbongkar, rasa sakit yang kupikul akan sedikit berkurang. Tapi nyatanya, ini justru awal dari penderitaan yang lebih besar.
Sejak malam itu, rumah yang dulu terasa hangat kini berubah menjadi neraka. Ayah tidak mau berbicara padaku. Setiap kali bertemu denganku, dia hanya menatap dengan tatapan kecewa yang membuatku ingin menghilang.
Ibu menangis hampir setiap hari. Aku sering mendengar isakannya dari dalam kamar saat malam tiba. Tapi aku tahu, dia tidak hanya menangisi nasibku—dia juga menangisi kehancuran keluarganya.
Dan Arfan… Dia pergi.
Setelah menerima kemarahan dari ayah, dia menghilang begitu saja. Tidak ada pesan, tidak ada perpisahan. Aku tidak tahu ke mana dia pergi, dan tidak ada yang mau mencarinya.
"Ayah tidak ingin melihat wajahnya lagi," kata ayah dingin suatu malam saat ibu mencoba membahas tentang Arfan.
Aku ingin membencinya karena meninggalkanku. Tapi di lubuk hatiku yang terdalam, aku tahu dia juga tersiksa.
Namun, tidak ada yang lebih tersiksa dibandingkan aku.
Dibuang oleh Keluarga Sendiri
Saat perutku mulai membesar, ayah mengambil keputusan yang mengubah hidupku selamanya.
"Kamu akan pindah ke luar kota," katanya suatu malam saat kami duduk di meja makan. "Aku sudah menyiapkan tempat untukmu di rumah nenek."
Aku menatapnya dengan mata membelalak. "Apa? Tidak, Ayah… Aku tidak bisa…"
"Kamu tidak punya pilihan," jawabnya tegas. "Aku tidak akan membiarkan orang-orang tahu tentang aib ini. Kamu akan tinggal di sana sampai bayi itu lahir."
Aku menoleh ke ibu, berharap dia akan membelaku. Tapi ibu hanya menundukkan kepala, tidak berani menatapku.
Hatiku hancur.
"Ayah…" suaraku bergetar. "Aku ini anak Ayah…"
"Anakku tidak akan melakukan perbuatan sehina ini!" bentaknya.
Aku menggigit bibir, menahan air mata agar tidak jatuh. Aku ingin berteriak bahwa ini bukan salahku. Bahwa aku tidak pernah menginginkan semua ini. Tapi aku tahu tidak ada gunanya.
Dalam pandangan ayah, aku adalah dosa yang harus disembunyikan.
Dan akhirnya, aku menyerah.
Aku pergi meninggalkan rumah yang telah menjadi neraka bagiku.
Melahirkan Sendiri
Hidup di rumah nenek tidak lebih baik. Meskipun dia tidak pernah memperlakukanku dengan kasar, aku bisa merasakan bagaimana dia malu memiliki cucu sepertiku.
Tetangga sering bertanya mengapa aku tinggal di sana, dan nenek hanya menjawab dengan alasan-alasan yang terdengar lemah. Aku tahu mereka berbisik-bisik di belakangku, mencoba menebak siapa ayah dari anak yang kukandung.
Saat hari kelahiranku tiba, aku sendirian di rumah sakit. Tidak ada ayah, tidak ada ibu, tidak ada Arfan. Hanya nenek yang menemani, dan bahkan dia pun terlihat enggan berada di sana.
Proses melahirkan itu menyakitkan, baik secara fisik maupun mental. Tapi ketika aku mendengar tangisan pertama bayiku, air mataku mengalir deras.
Anak laki-laki.
Seorang bayi laki-laki yang tidak bersalah, yang lahir ke dunia ini tanpa tahu betapa kelamnya asal-usulnya.
Aku menatap wajahnya yang mungil dan bertanya-tanya… apakah aku bisa mencintainya?
Surat dari Arfan
Beberapa bulan setelah melahirkan, aku menerima surat tanpa nama pengirim.
Saat aku membuka dan membaca isinya, hatiku terasa sesak.
"Lisa, aku tahu aku tidak pantas menulis surat ini. Aku bahkan tidak pantas menyebut diriku sebagai kakakmu. Tapi aku ingin kau tahu… aku menyesal. Sejak malam itu, aku tidak pernah berhenti menyalahkan diriku sendiri. Aku tahu aku telah menghancurkanmu, dan aku tidak akan pernah bisa memperbaikinya. Aku tidak meminta maaf, karena aku tahu maaf saja tidak cukup."
"Aku telah meninggalkan segalanya. Aku tidak akan kembali ke rumah itu. Aku tidak akan pernah mengganggumu lagi. Tapi jika suatu hari nanti anak kita ingin tahu siapa ayahnya, katakan padanya bahwa aku mencintainya, meskipun aku tidak pantas menjadi ayahnya."
Aku menggenggam surat itu erat-erat, air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan.
Arfan telah pergi.
Dan aku harus menerima kenyataan bahwa aku kini sendirian.
Bangkit dari Luka
Tahun-tahun berlalu, dan perlahan-lahan aku mulai bangkit. Aku bekerja keras untuk membesarkan anakku, memberinya kehidupan yang lebih baik. Aku tidak ingin dia tumbuh dalam kebencian.
Aku tidak pernah menceritakan kisah kelam di balik kelahirannya. Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia dicintai, bahwa dia tidak bersalah atas apa yang telah terjadi.
Dan akhirnya, aku menemukan kebahagiaanku sendiri.
Tanpa bayang-bayang masa lalu, tanpa dendam, hanya dengan cinta untuk anakku.
TAMAT.