Bagian 2: Rahasia yang Tak Bisa Disembunyikan
Aku pikir aku bisa melupakan malam itu. Aku pikir jika aku berpura-pura semuanya baik-baik saja, luka ini akan sembuh dengan sendirinya. Tapi aku salah.
Hari demi hari, rasa takut itu terus menghantuiku. Aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap kali aku menutup mata, aku kembali teringat bagaimana Arfan mencengkeramku, bagaimana suaranya yang berat berbisik di telingaku, bagaimana aku menangis dan memohon agar dia berhenti—tapi dia tidak peduli.
Setiap pagi, aku menatap wajahku di cermin dan bertanya-tanya apakah aku masih orang yang sama. Aku mencoba bersikap normal di depan ayah dan ibu, tapi setiap kali aku melihat mereka, rasa bersalah itu semakin menghimpit dadaku.
Arfan juga berubah. Dia lebih banyak menghindariku. Jika kami tidak sengaja bertemu di ruang makan atau ruang tamu, dia akan segera pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku tidak tahu apakah dia merasa bersalah atau justru ingin melupakan semuanya seperti aku.
Tapi ada satu hal yang tidak bisa kulupakan, tidak peduli sekeras apa pun aku mencoba: aku merasa semakin aneh dengan tubuhku.
Tanda-Tanda yang Mengkhawatirkan
Aku mulai sering merasa mual, terutama di pagi hari. Awalnya, aku mengira itu hanya karena stres. Tapi kemudian, aku mulai merasa lebih cepat lelah. Tubuhku terasa berbeda.
Dan yang paling membuatku panik—aku terlambat datang bulan.
Aku mencoba menyangkal kemungkinan terburuk. Aku berharap ini hanya efek dari trauma yang kualami. Tapi semakin lama aku menunggu, semakin aku merasa ketakutan.
Akhirnya, aku memberanikan diri membeli test pack. Aku pergi ke apotek yang jauh dari rumah agar tidak ada yang mengenaliku. Saat kasir memberikannya padaku, tanganku gemetar.
Setibanya di rumah, aku mengunci pintu kamar mandi dan duduk di lantai dengan lutut lemas. Aku bahkan takut membuka kotaknya.
"Aku pasti tidak hamil... Ini pasti cuma stres..." bisikku pada diri sendiri, mencoba meyakinkan diri.
Tapi saat aku akhirnya memberanikan diri untuk menggunakan test pack itu, dunia seakan runtuh di hadapanku.
Dua garis merah muncul dengan jelas.
Aku hamil.
Ketakutan dan Keputusasaan
Aku terjatuh di lantai kamar mandi, menggenggam test pack itu dengan tangan gemetar. Dadaku terasa sesak. Air mataku mengalir tanpa bisa kuhentikan.
"Tidak... Ini tidak mungkin..."
Tapi kenyataannya terpampang di depan mataku. Aku mengandung anak dari laki-laki yang seharusnya menjadi kakakku sendiri.
Aku ingin berteriak. Aku ingin menghilang. Aku ingin ini semua hanya mimpi buruk yang bisa segera berakhir. Tapi tidak peduli seberapa keras aku mencubit lenganku sendiri, aku tetap terjebak dalam kenyataan mengerikan ini.
Aku tidak bisa memberi tahu siapa pun. Bagaimana aku bisa mengatakan ini kepada ayah dan ibu? Mereka akan hancur. Mereka akan membunuhku.
Aku berpikir untuk menggugurkannya, tapi hanya membayangkan itu saja sudah membuatku semakin ketakutan.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis dalam diam, memeluk perutku yang belum terlihat membesar, merasa begitu sendirian di dunia ini.
Konfrontasi dengan Arfan
Setelah beberapa hari berusaha menghindari kenyataan, aku akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Arfan. Aku tidak bisa menyimpan ini sendiri.
Aku menunggu saat rumah sedang sepi, ketika ayah dan ibu pergi bekerja. Arfan sedang duduk di ruang tamu, menatap kosong ke layar TV yang bahkan tidak benar-benar dia tonton.
Dengan langkah berat, aku mendekatinya. "Kak..."
Arfan menoleh, terlihat terkejut mendengar suaraku. Sudah lama kami tidak berbicara satu sama lain.
"Ada apa?" tanyanya pelan.
Aku menggigit bibir, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku... aku hamil."
Mata Arfan melebar. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit diartikan—kaget, takut, atau mungkin marah pada dirinya sendiri.
"Apa... Apa kamu yakin?"
Aku mengangguk, menunjukkan test pack yang telah kusembunyikan di saku jaketku. "Dua garis merah. Aku sudah telat lebih dari sebulan..."
Arfan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Aku bisa melihat bagaimana napasnya mulai memburu. Dia berdiri, berjalan mondar-mandir seakan mencoba mencari solusi untuk masalah ini.
"Kita harus melakukan sesuatu," katanya akhirnya.
Aku menggenggam tanganku erat. "Apa yang harus kita lakukan?"
Arfan terdiam lama sebelum akhirnya menatapku dengan serius. "Kita harus bicara dengan orang tua."
Aku langsung menggeleng keras. "Tidak! Aku tidak bisa! Mereka akan membunuhku, Kak! Aku tidak sanggup melihat wajah mereka setelah ini..."
Arfan mendekat dan menggenggam bahuku. "Lisa, kita tidak bisa menyembunyikan ini selamanya. Cepat atau lambat, mereka akan tahu."
"Tapi—"
"Aku akan bertanggung jawab."
Aku terdiam. Kata-katanya terasa begitu berat.
"Bagaimana caranya?" suaraku terdengar hampir seperti bisikan.
"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku tidak akan lari dari ini. Aku yang sudah menghancurkanmu... dan aku akan menerima hukuman apa pun yang akan datang."
Aku menatapnya, mencoba mencari ketulusan dalam matanya. Aku ingin membencinya. Aku ingin meneriakinya, menyalahkannya atas semua penderitaanku. Tapi sekarang, aku hanya merasa kosong.
Rahasia yang Terbongkar
Kami tidak perlu repot-repot mencari cara untuk memberitahu orang tua kami. Karena pada akhirnya, mereka mengetahui semuanya dengan cara yang paling buruk.
Ibu menemukan test pack yang kusembunyikan di laci kamar. Aku lupa membuangnya, dan saat aku pulang dari luar, ibu sudah menungguku di ruang tamu dengan wajah yang dipenuhi kemarahan dan kesedihan.
"Apa ini, Lisa?" suaranya bergetar.
Aku membeku di tempat.
"Apa ini punyamu?" ia menekan suaranya, tapi aku bisa mendengar bagaimana ia berusaha menahan tangis.
Ayah duduk di sebelahnya, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Di sisi lain ruangan, Arfan berdiri dengan ekspresi penuh rasa bersalah.
Aku tahu aku tidak bisa berbohong lagi. Aku tahu bahwa rahasia ini akhirnya terbongkar.
Air mataku mengalir saat aku menganggukkan kepala. "Ibu... maaf..."
Ibu terisak, tangannya menutupi wajahnya. "Bagaimana bisa ini terjadi?! Siapa ayah dari bayi ini?!"
Aku tidak bisa menjawab. Aku takut.
Tapi Arfan melangkah maju, menatap ayah dan ibu dengan penuh keberanian.
"Itu anakku," katanya pelan, tapi cukup jelas untuk membuat ruangan menjadi sunyi seketika.
Ibu membeku. Ayah bangkit dari kursinya dengan mata melebar. "APA?!"
Arfan tidak mundur. "Aku... yang melakukan ini. Aku yang salah."
Suara tamparan menggema di ruangan. Ayah menampar wajah Arfan dengan keras.
"Kamu bukan anakku lagi!" bentaknya dengan kemarahan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
Ibu menangis histeris, sementara aku hanya bisa berdiri di tempat, merasa seperti tubuhku telah kehilangan seluruh energinya.
Arfan menunduk, menerima semua hukuman yang dilayangkan kepadanya.
Aku hanya bisa menangis, tidak tahu harus berbuat apa.
Aku berpikir malam itu adalah akhir dari penderitaanku. Tapi aku salah.
Ini hanyalah awal dari neraka yang lebih besar.