Malam yang membisu menyelimuti desa itu, langit seperti kanvas hitam yang robek, bintang-bintang hanya tampak sebagai luka kecil di kegelapan. Maya duduk di sudut kamar, membisu. Di luar, suara gaduh keluarganya beradu seperti palu menghantam baja. Ia tak lagi mendengar kata-kata mereka, hanya dentuman kosong yang mengisi kepalanya. Dunia terasa seperti penjara, dan gunung yang menjulang di kejauhan adalah pintu keluar.
Ia mengambil tas kecil berisi selembar pakaian dan sebuah buku usang. Di dalam buku itu, terselip surat: "Aku pergi mencari kedamaian. Jangan cari aku." Maya melangkah keluar rumah tanpa suara, hanya bayangan tubuhnya yang tertinggal di dinding kamar.
Namun, saat ia mulai mendaki, suara-suara aneh mulai terdengar. Angin berbisik seperti ada seseorang memanggil namanya. "Maya..." Suara itu lembut tapi dingin, seperti es yang menyentuh kulit. Ia berhenti sejenak, memandang ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
Tetapi langkahnya semakin berat. Semakin tinggi ia mendaki, semakin nyata suara-suara itu. Bayangannya sendiri tampak bergerak lebih cepat dari tubuhnya, seolah-olah ada sesuatu yang mengejar.
Di tengah perjalanan, Maya berhenti di sebuah dataran sempit. Nafasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar karena dingin. Dari kejauhan, ia melihat sesuatu bergerak di antara pepohonan—bayangan hitam dengan mata merah menyala.
"Iblis penunggu," gumamnya lirih.
Sosok itu mendekat perlahan, langkahnya nyaris tak terdengar. "Kenapa kau datang ke sini?" tanyanya dengan suara serak yang menggema.
Maya mundur beberapa langkah. "Aku ingin pergi... aku ingin mati."
Iblis itu tertawa pelan, suaranya seperti pisau yang mengiris udara. "Tidak ada kematian tanpa harga," katanya sambil mendekatkan wajahnya ke Maya. "Setiap jiwa harus membayar."
Dengan rasa takut yang semakin menyelimuti dirinya, Maya berlari tanpa arah, melewati pepohonan dan batu-batu besar yang tampak seperti wajah-wajah menatapnya dengan dingin. Iblis itu mengejarnya tanpa tergesa-gesa, seolah tahu bahwa pelarian Maya hanyalah permainan sia-sia.
"Kenapa kau mengejarku?" teriak Maya sambil terus berlari.
"Karena kau memilih tempatku untuk mati," jawab iblis itu dengan nada penuh ejekan. "Gunung ini adalah milikku."
Langkah Maya semakin cepat, tapi tubuhnya semakin lemah. Ia tahu bahwa ia tidak bisa melarikan diri dari sosok itu—seperti ia tidak bisa melarikan diri dari rasa sakit dalam hidupnya.
Dalam sebuah tebing kecil, Maya berhenti untuk mengatur nafasnya. Sosok iblis itu berdiri beberapa meter darinya, diam tapi mengancam. Maya menatap jurang di depannya; angin dingin menyapu wajahnya seperti tangan-tangan tak terlihat.
Dalam kepanikan dan ketakutannya, kenangan masa lalu mulai muncul di benaknya—wajah ibunya yang menangis saat mereka bertengkar terakhir kali; ayahnya yang selalu sibuk bekerja tanpa pernah mendengar keluhannya; teman-teman sekolah yang menjauh karena rumor tentang keluarganya.
"Aku tidak punya apa-apa lagi," bisiknya sambil menatap jurang.
Iblis itu mendekat lagi. "Kau punya pilihan," katanya dengan suara lembut tapi penuh tipu daya. "Melompat atau kembali."
Maya menutup matanya dan merasakan air mata hangat mengalir di pipinya.
Dengan langkah terakhir yang berat, Maya melangkah ke tepi jurang dan melompat ke dalam kegelapan. Dunia terasa hening saat tubuhnya jatuh bebas; angin menerpa kulitnya seperti jarum tajam.
Namun sebelum tubuhnya menghantam dasar jurang, ia melihat sesuatu—bayangan dirinya sendiri berdiri di tepi jurang sambil tersenyum dingin.
Beberapa minggu kemudian, penduduk desa menemukan mayat Maya di dasar jurang. Tubuhnya hancur tak berbentuk; hanya sisa-sisa pakaian dan buku usang yang menjadi identitasnya.
Namun bagi mereka yang percaya pada legenda gunung itu, kematian Maya bukanlah akhir cerita—melainkan awal dari sesuatu yang lebih gelap.
Di malam-malam berikutnya, orang-orang mulai mendengar suara-suara aneh dari gunung tersebut—bisikan lembut yang memanggil nama mereka satu per satu.