Lukisan itu kembali muncul di kanvasnya.
Alisha memiringkan kepalanya, menatap wajah samar yang mulai terbentuk dari sapuan kuasnya. Seorang anak laki-laki. Rambutnya sedikit berantakan, matanya teduh, dan bibirnya melengkung tipis, seperti seseorang yang sering tersenyum, tapi menyimpan sesuatu di balik tatapannya.
Alisha meletakkan kuasnya, mengerutkan dahi. Siapa dia?
Ini bukan pertama kalinya. Setiap kali dia melukis secara spontan, wajah itu selalu muncul. Kadang di sudut lukisan, kadang di latar belakang, kadang menjadi fokus utama.
"Aneh banget," gumamnya pelan.
Dia mencoba mengingat, tapi tidak ada satu pun sosok yang terlintas di pikirannya. Yang lebih aneh, setiap kali dia mencoba memikirkan wajah itu lebih dalam, kepalanya terasa sakit. Seperti ada sesuatu di dalam pikirannya yang berusaha dikubur, dihapus, dilupakan.
Tapi siapa?
Dan kenapa dia terus melukisnya?
_____
Saat kelas seni berlangsung, lagi-lagi Alisha melukis sosok laki-laki tersebut. Sejujurnya, dia muak. Mengapa hanya wajah itu yang selalu terlintas di benaknya?
“Alisha, kamu melukis siapa?” Pembina kelas seni menghampiri dan bertanya dengan lembut.
“Saya… saya tidak tahu, Bu,” jawab Alisha gugup.
“Loh, itu lukisan milik kamu, tapi kamu sendiri tidak tahu siapa yang kamu lukis?” ucap pembina dengan nada heran.
“Sepertinya… itu referensi yang saya ambil dari internet, Bu,” ucap Alisha pelan. Sejujurnya, dia sendiri juga tidak tahu alasannya.
Sang pembina hanya mengangguk dan tersenyum. “Ya sudah. Alisha, dua minggu lagi akan ada pameran seni. Ibu ingin kamu menyumbangkan tiga karya lukismu.”
Alisha terdiam sejenak. Dia lupa di mana meletakkan salah satu lukisannya. Mungkin masih ada di rumah?
“Baik, Bu,” jawabnya akhirnya.
_____
Di rumah, Alisha berhasil menemukan dua lukisan yang akan dia sumbangkan untuk pameran. Namun, dia masih kekurangan satu karya lagi.
Dia mencari di setiap sudut ruang lukisnya, tetapi tetap tidak menemukan apa yang dia cari.
“Mah, lihat lukisan Lisha, nggak?” teriak Alisha dari dalam ruangan.
“Coba kamu tanya papahmu. Kemarin dia bersih-bersih di ruangan itu,” sahut mamanya dari ruang tamu.
...
Sekarang dia berada di loteng, karena ternyata lukisannya diletakkan di sana oleh sang ayah.
“Oh wow, lukisan-lukisan lama aku ada di sini semua.”
Alisha menelusuri satu per satu tumpukan bingkai yang tersusun berantakan. Saat itulah dia melihat sebuah potret besar dengan wajah yang sama persis dengan sosok laki-laki yang belakangan ini selalu ia lukis secara spontan.
Dengan hati-hati, Alisha menghempaskan debu yang menempel di bingkai untuk melihatnya lebih jelas.
Apa yang sebenarnya terjadi?
“Dia siapa?” gumamnya pelan.
Ada sesuatu yang aneh. Secara kebetulan—atau mungkin bukan kebetulan—lukisan ini muncul dengan cara yang tidak masuk akal.
Banyak pertanyaan yang kini berputar di kepalanya.
Satu-satunya orang yang mungkin bisa memberinya jawaban hanyalah kedua orang tuanya.
...
Alisha menggenggam bingkai lukisan itu erat-erat, matanya terpaku pada sosok laki-laki yang begitu asing namun terasa akrab. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya—campuran rasa penasaran dan kegelisahan yang tidak bisa dia jelaskan.
Setelah membersihkan sisa-sisa debu yang menutupi kaca bingkai, dia membawa lukisan itu ke ruang tamu. Kedua orang tuanya sedang duduk di sofa, terlihat lelah setelah seharian beraktivitas.
“Mah… Pah…,” suara Alisha terdengar pelan, hampir ragu. “Siapa dia?”
Kedua orang tuanya menoleh, dan dalam sekejap, ekspresi mereka berubah. Ibunya menegang, sementara ayahnya menggigit bibir seolah sedang menahan sesuatu.
“Itu… Itu hanya lukisan lama,” jawab ayahnya cepat. “Gak usah dipikirin.”
“Tapi aku selalu melukis dia, Pa! Bahkan tanpa sadar!” Suara Alisha meninggi. “Kenapa aku gak ingat siapa dia?”
Ibunya meremas tangannya sendiri, lalu berbisik, “Alisha, kamu pasti capek. Udah, jangan dipikirin terlalu dalam.”
Alisha ingin memprotes, tetapi melihat bagaimana wajah ibunya mendadak muram, dia memilih diam.
Namun, malam itu, pertanyaan tentang sosok di lukisan terus menghantui pikirannya. Dia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar, mencoba mengingat sesuatu yang terasa menghilang dari pikirannya.
_____
Di dalam tidurnya, Alisha bermimpi berada di sebuah taman bermain. Matahari bersinar cerah, angin berhembus lembut, dan suara tawa anak-anak terdengar di sekitarnya.
Di tengah taman itu, ada seorang anak laki-laki berdiri membelakanginya. Dia mengenakan kaus putih polos dan celana pendek biru, rambutnya berantakan diterpa angin.
“Hey!” panggil Alisha dalam mimpi. “Kamu siapa?”
Anak itu tidak menjawab. Dia hanya menoleh perlahan, menatap Alisha dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam matanya—kesedihan yang mendalam.
Kemudian, dia tersenyum tipis dan berkata, “Alisha, jangan lupakan aku.”
Alisha terbangun dengan jantung berdebar kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Suara anak laki-laki itu masih terngiang di kepalanya.
Dia segera bangkit dari tempat tidur dan membuka album foto lama di lemari. Halaman demi halaman dia selesaikan dengan cepat, mencari petunjuk tentang anak itu.
Tapi… tidak ada.
Semua foto hanya berisi dirinya, ayah, ibu, dan beberapa saudara jauh. Tidak ada anak laki-laki di sampingnya.
Namun, ketika dia memperbesar salah satu foto yang diambil di taman bermain, matanya membelalak.
Di belakangnya, sedikit tertutup bayangan pohon, ada sosok anak laki-laki yang samar-samar terlihat.
Alisha menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa takut yang tiba-tiba muncul.
Siapa dia?
Dan kenapa dia bilang ‘jangan lupakan aku’?
_____
Minggu ini Alisha sedang berada dirumah sang nenek, karena orang tuanya sedang pergi jadi dia sedikit jenuh jika terus dirumah sendirian.
“Shasha, bantu nak,” ucap perempuan paruh baya yang sedang menjemur pakaian.
Shasha adalah nama panggilan Alisha dari sang nenek, nama tersebut telah hadir selama 18 tahun lamanya.
“Iya” sahutnya.
Saat Alisha melewati lorong untuk menghampiri sang nenek, dia tidak sengaja menginjak foto berukuran kecil yang tak sengaja jatuh dari rak kaca.
Dia mengambil foto tersebut dan mengamati dengan teliti.
Lagi lagi foto yang dia temukan diloteng rumahnya, foto sosok laki laki yang sedikit berantakan itu mulai menghantuinya kembali. Dia segera berlari ke arah sang nenek.
“Eyang, dia siapa sih?” tanyanya sambil menunjukkan foto yang dia genggam.
Sang nenek berdiam cukup lama, lalu setelah itu dia mengajak Alisha untuk masuk kedalam dan duduk bersamanya diruang tamu.
“Ada apa sih eyang? kenapa responnya gitu?,” ucapnya “sama kayak pas shasha nanya ke mamah papah” lanjutnya.
Sejujurnya Alisha merasa sangat kesal karena orang tuanya bahkan neneknya, mengapa mereka semua menyembunyikan sesuatu darinya?
“kakak laki lakimu.” Ucap jelas nenek mampu membuat Alisha diam.
Kakak? apa? siapa yang punya kakak? sejak kapan?, kepala Alisha sangat sibuk memikirkan semua pertanyaan yang berputar.
“Apasih eyang, Alisha kan anak tunggal!” sahutnya.
“Shasha! dengarkan eyang, itu kakak laki laki kamu, kamu punya kakak namanya Rayyan. Kakak kamu seorang anak dengan autisme.” Ucap jelas Sang nenek membuat Alisha dia seribu bahasa.
Alisha terdiam. Kata-kata neneknya menggantung di udara, mengisi ruang tamu dengan keheningan yang menyesakkan. Kakak? Autisme? Kenapa selama ini dia tidak pernah tahu?
“Tapi… kenapa mamah dan papah gak pernah cerita?” suaranya nyaris berbisik. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya, campuran antara terkejut, bingung, dan sedikit marah.
Sang nenek menatapnya dengan lembut, seolah memahami gejolak batinnya. “Mereka hanya ingin melindungimu, Shasha. Bukan berarti mereka tidak peduli pada Rayyan, tapi ada banyak hal yang sulit untuk dijelaskan.”
Alisha menggeleng, tidak puas dengan jawaban itu. Bagaimana bisa seseorang yang seharusnya menjadi bagian dari keluarganya sendiri malah disembunyikan darinya?
“Terus, sekarang kakak di mana?” tanyanya, berusaha menekan getaran dalam suaranya.
Nenek tidak langsung menjawab. Wajahnya tampak ragu, seakan ada beban yang sudah terlalu lama dipendam.
“Rayyan… sudah pergi, Nak,” suaranya melemah.
Jantung Alisha seakan berhenti berdetak sejenak. “Maksudnya…?”
Sang nenek menggenggam tangan Alisha dengan erat. “Rayyan sudah tiada.”
Alisha merasakan dunia seakan berputar. Pikirannya kosong, dadanya terasa sesak. Laki-laki yang selama ini muncul di lukisannya, wajah yang tanpa sadar selalu dia gambarkan… ternyata bukan sekadar kebetulan. Itu adalah bagian dari dirinya, bagian yang telah lama hilang.
Tapi mengapa dia bisa melukis wajah itu berulang kali, padahal dia bahkan tidak pernah mengingatnya?
_____
Alisha sedang membolak balikkan setiap lembar album foto yang neneknya berikan, air matanya tak dapat dia tahan, disana terdapat banyak foto masa kecil Alisha dengan Rayyan.
Dia tidak menyangka memiliki seorang kakak, betapa dekatnya dia dengan sang kakak dulu. Alisha tidak tahu jelas mengapa dia bisa kehilangan separuh memorinya tentang sang kakak, yang pasti ini ulah orang tuanya.
Dia mulai mengingat sedikit demi sedikit alasan mengapa disetiap lorong dinding rumah sang nenek selalu ada gambar bintang warna warni, dulu dia selalu menggambar bersama sang kakak.. Karena dia tahu Rayyan menyukai bintang. Dan bagaimana ketika Rayyan menggenggam tangan Alisha saat dirinya merasa takut serta bagaimana ketika Rayyan menangis saat orang tuanya memisahkan mereka berdua.
“Kakak..” lirihnya
“Padahal kakak orang baik, mamah papah jahat ke kakak?” ucapnya sambil memeluk salah satu foto saat Rayyan menenangkan dirinya yang menangis.
_____
Flashback.
“Kakak! kakak mau kemana?? kok licha ditinggal”
“Pergi”
Rayyan pernah pergi dari rumah karena mendengar orang tuanya akan membawanya ke tempat panti rehabilitasi, menurut Rayyan itu berarti orang tuanya sudah tak butuh dirinya lagi dan membuangnya.
Malam itu hujan deras, dan Rayyan ditemukan jatuh disungai dekat rumah. Memang kenyataannya bahwa orang tua mereka sedikit malu karena Rayyan terlahir berbeda.
Orang tuanya begitu terpukul, tapi alih-alih menerima kenyataan, mereka memilih menghapus semua kenangan tentang Rayyan—termasuk membuat Alisha melupakan kakaknya.
Mereka membakar semua foto, membuang barang-barang Rayyan, dan membuat seolah dia tak pernah ada.
_____
Alisha pulang dengan keadaan kesal dengan orang tuanya, mamah dan papah Alisha mulai bertanya tanya.
“Lisha! kenapa sih nak?!” ucap mamah menghentikan Alisha yang bergegas menuju kamar.
Dia tak kuasa menahan Isak tangisnya, lalu melepas tangan sang ibunda dari lengannya.
Mamah dan papah Alisha saling bertatapan, bingung dengan sikap putri mereka. Alisha menghapus air matanya dengan kasar, mencoba menahan luapan emosinya.
"Kenapa kalian gak pernah bilang? Kenapa harus eyang yang ngasih tau aku?!" suara Alisha bergetar, matanya memerah menatap kedua orang tuanya.
Mamah terdiam, sementara papah menghela napas panjang. "Lisha, kami bukan ingin menyembunyikan ini darimu…" ucap papah pelan.
"Tapi kalian memang menyembunyikannya!" potong Alisha cepat. "Aku punya kakak! Kakak kandung! Dan aku baru tau sekarang?!"
Mamah mulai menangis, tapi Alisha masih dikuasai amarah. "Apa kalian malu? Malu punya anak autis? Makanya kalian pura-pura dia gak pernah ada?!"
“Bukan begitu, Nak…” suara mamah melemah.
Papah menatap Alisha dengan tatapan penuh beban. "Rayyan… dia—”
“Aku gak mau dengar alasan lagi!" Alisha berteriak sebelum ayahnya sempat menyelesaikan kalimatnya.
Dia berbalik, menutup pintu kamarnya dengan keras. Isakan tangisnya menggema di ruangan yang sepi.
..
Didalam kamar, Alisha marah dan kecewa pada orang tuanya, tapi juga menyadari betapa mereka dulu ketakutan dan menyesal.
Dia memutuskan untuk melukis Rayyan sekali lagi, bukan untuk melupakannya, tapi untuk mengenangnya dengan penuh kasih sayang.
Lukisan itu adalah satu-satunya kenangan terakhir tentang kakaknya, lukisan yang tak akan pernah selesai, karena cintanya kepada Rayyan akan terus hidup.
___
Keesokannya Orang tuanya nekat untuk memasuki kamar Alisha, padahal mereka tahu bahwa Alisha masih merasa kesal dan butuh waktu. Tapi Mereka ingin meminta maaf dengan tulus dan mengakui bahwa benar seperti apa yang Neneknya ceritakan.
Siang ini Mereka akan mengajak Alisha untuk menemui Rayyan di makam.
Dimakam Rayyan, dia hanya menangis tersedu sedu, menatap makam yang sudah menua.
“Kak, maafin Lisha kak karena lupa sama kakak,” ucapnya lirih
“Nanti kita bikin bintang lagi yuk kak” ujar Alisha dengan suara lirih dan air mata yang tak henti henti membasahi pipi chubbynya.