Malam itu, langit di atas Jakarta tampak lebih gelap dari biasanya. Awan-awan hitam menggantung berat, menutupi cahaya bulan. Di kejauhan, suara dentuman samar terdengar berulang-ulang—seperti guntur yang tak pernah berhenti. Namun, ini bukan badai biasa.
Damar mematikan televisi yang hanya menampilkan siaran ulang. Semua saluran berita mendadak berhenti mengudara sejak sore tadi. Internet pun mati total. Tak ada lagi pesan masuk di ponselnya. Dunia terasa sunyi, tetapi di luar sana, sesuatu yang mengerikan tengah terjadi.
“Pak, ada apa, ya?” tanya Rina, istrinya, dengan suara gemetar.
Damar hanya menggeleng. Ia menatap kedua anak mereka yang tertidur di sofa, tak menyadari dunia di luar mulai runtuh perlahan.
Beberapa jam sebelumnya, listrik padam di seluruh kota. Sinyal telepon menghilang. Di jalanan, mobil-mobil berhenti mendadak, tak lagi bisa dinyalakan. Helikopter yang tadi siang melintas di langit tiba-tiba jatuh di tengah kota tanpa sebab yang jelas.
Damar mengintip dari balik jendela. Jalan di depan rumahnya kosong. Biasanya, kendaraan lalu-lalang hingga larut malam, tapi sekarang, keheningan menggantung tebal.
Tiba-tiba, suara ledakan keras mengguncang bumi. Dari arah pusat kota, kilatan cahaya merah membelah langit.
“Kita harus pergi dari sini,” bisik Damar, naluri bertahannya mengambil alih.
Mereka bergegas mengemasi barang seadanya. Tanpa listrik, tanpa komunikasi, Jakarta berubah menjadi kota mati dalam hitungan jam.
Saat membuka pintu, angin dingin menerpa wajah Damar. Ia menggenggam erat tangan Rina, berjalan cepat menyusuri gang sempit. Di kejauhan, ia melihat kerumunan orang yang kebingungan, sebagian besar tak tahu harus ke mana.
“Kita ke rumah Pak Dedi di luar kota, mungkin di sana lebih aman,” ucap Damar.
Perjalanan terasa begitu berat. Mobil mereka mati total, memaksa mereka berjalan kaki di kegelapan.
Di sepanjang jalan, pemandangan yang mereka lihat terasa surreal—seperti dunia yang mulai kehilangan akalnya. Gedung-gedung tinggi tak lagi bercahaya. Pesawat yang terparkir di bandara tampak seperti bangkai raksasa yang ditinggalkan.
Saat mereka tiba di pinggir kota, sebuah kejadian aneh membuat langkah Damar terhenti. Di tengah jalan raya yang retak, ada seekor rusa berdiri sendirian. Bukan hal biasa di daerah urban seperti ini. Binatang itu menatap mereka, sebelum berlari ke arah yang berlawanan.
“Apa yang terjadi pada dunia ini?” bisik Rina.
Damar tidak punya jawaban. Ia hanya tahu satu hal—peradaban yang mereka kenal sedang runtuh, dan tak ada yang tahu bagaimana menghentikannya.
Ketika fajar menyingsing, harapan mereka pupus. Langit bukan lagi biru, melainkan abu-abu kelam. Di kejauhan, kota yang pernah menjadi kebanggaan bangsa kini membara, perlahan-lahan tenggelam dalam kehancuran yang tak bisa dijelaskan.
Di dunia yang telah kehilangan suaranya, Damar hanya bisa menggenggam tangan keluarganya lebih erat. Mungkin ini adalah akhir dari Indonesia yang ia kenal, atau mungkin, awal dari sesuatu yang lebih menakutkan.
Namun satu hal yang pasti—mereka harus terus berjalan, meski tak tahu apa yang menanti di depan.