Randi menatap Siska dari kejauhan. Gadis itu duduk di bangkunya, rambut panjangnya tergerai indah, dan setiap kali tersenyum, dunia terasa melambat. Sejak pertama kali bertemu di kelas XI IPA 2, Randi tahu—hati ini sudah kalah.
Awalnya, mereka hanya sebatas teman sekelas. Tapi semua berubah saat Siska mulai sering mengajaknya bicara. Entah membahas tugas matematika atau sekadar mengeluh soal guru killer, obrolan kecil mereka selalu membuat jantung Randi berdebar tak karuan.
"Ran, nanti temenin aku ke perpustakaan, ya?" suara lembut Siska membuyarkan lamunannya.
"I-iya! Boleh banget," jawab Randi gugup, tapi matanya berbinar.
Hari-hari berlalu, dan perhatian kecil dari Siska membuat Randi semakin berharap. Terkadang, Siska membawakan bekal lebih untuknya, atau sekadar mengirim pesan malam-malam, "Jangan lupa belajar, ya!" Itu semua terasa spesial bagi Randi.
Namun, perasaan manis itu mulai terasa aneh.
Suatu hari, Randi sedang di kantin ketika ia melihat Siska berbicara dengan seorang cowok tinggi dan atletis. Namanya Ojang, senior kelas XII yang terkenal sebagai kapten tim basket. Siska tertawa lepas, memukul pelan bahu Ojang seakan mereka sudah lama dekat.
"Ah, palingan cuma kenal biasa," gumam Randi, mencoba menghibur dirinya sendiri.
Namun, keraguan semakin membesar. Apalagi ketika Randi mengirim pesan di malam minggu, tapi dibalas berjam-jam kemudian dengan alasan, "Tadi sibuk, maaf ya."
Puncaknya terjadi di acara pensi sekolah. Randi bersemangat mengajak Siska duduk di dekat panggung, tapi Siska malah menolak halus.
"Ran, aku udah janji mau nonton sama Rias," katanya sambil tersenyum tipis.
Rias? Nama itu asing di telinga Randi. Tapi tak butuh waktu lama baginya untuk tahu—Rias adalah cowok dari kelas sebelah, populer dengan wajah tampan dan suara merdunya yang sering tampil di acara sekolah.
Hati Randi terasa remuk.
Keesokan harinya, Randi akhirnya memberanikan diri bertanya langsung.
"Siska... aku suka sama kamu," ucapnya, suaranya bergetar. "Dari dulu."
Siska terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. "Ran... aku juga nyaman sama kamu, kok."
Sepercik harapan membuncah di dada Randi. Tapi sebelum ia sempat bersorak dalam hati, Siska melanjutkan, "Tapi aku udah lama pacaran sama Ojang. Dan... aku lagi dekat sama Rias juga."
Dunia Randi terasa runtuh.
"Jadi aku apa buat kamu?" tanyanya pelan.
Siska menunduk, seolah merasa bersalah, tapi kata-katanya menusuk lebih dalam dari apapun. "Kamu... ya, aku suka ngobrol sama kamu. Kamu tuh baik. Tapi, aku nggak pernah mikir kita bisa lebih dari teman."
Saat itu, Randi sadar—selama ini dia hanyalah pilihan ketiga. Pelarian di saat Siska bosan atau butuh perhatian.
Malam itu, Randi pulang dengan hati hancur. Tapi di dalam luka itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: Dia mungkin cuma jadi third choice di hati Siska, tapi ia akan jadi first choice di hidupnya sendiri.