Naya menahan napas. Jantungnya berdegup kencang saat matanya terpaku pada sosok yang berdiri di peron stasiun yang hampir gelap.
Bayangan tinggi itu berdiri diam, tak bergerak sedikit pun, seolah-olah patung yang menunggu mangsanya. Lampu peron yang remang-remang hanya memperlihatkan siluet tubuhnya—kurus, tinggi, dan wajahnya nyaris tak terlihat karena tertutup bayangan.
Tapi entah bagaimana, Naya bisa merasakan tatapan tajam menusuk ke arahnya.
Punggungnya langsung berkeringat dingin.
‘Siapa dia?’
Naya ingin mengalihkan pandangannya, ingin meyakinkan dirinya bahwa ini hanya paranoia. Tapi nalurinya berkata lain.
Laki-laki di sebelahnya—pria yang sudah tiga minggu menguntitnya—tadi berkata, “Karena dia sedang menunggu di luar.”
Apa maksudnya?
Siapa yang menunggu di luar?
Kenapa pria ini melarangnya turun?
Kereta mulai bergerak lagi, meninggalkan stasiun. Perlahan, sosok di peron semakin mengecil, tertinggal di belakang hingga akhirnya menghilang dalam gelap.
Tapi Naya tahu, sosok itu belum selesai dengannya.
Dia bisa merasakannya.
---
Lima belas menit berlalu.
Gerbong semakin sepi.
Hanya ada Naya dan pria asing itu.
Penumpang lain turun satu per satu di stasiun sebelumnya, menyisakan mereka berdua di dalam gerbong yang kini terasa semakin mencekam.
Naya merapatkan jaketnya, mencoba menenangkan diri. Tapi pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa dia selalu ada di kereta yang sama dengannya? Dan yang lebih penting, kenapa dia melarangnya turun tadi?
Haruskah dia bertanya? Atau lebih baik diam dan pura-pura tidak peduli?
Naya melirik ke arahnya.
Pria itu masih berdiri di tempatnya. Kapuchonnya sedikit turun, memperlihatkan wajahnya yang sebagian tertutup bayangan. Garis rahangnya tegas, kulitnya agak pucat, dan matanya…
Mata itu tampak seperti mata seseorang yang sudah melihat terlalu banyak hal dalam hidupnya.
“Siapa tadi orang di luar itu?” Naya akhirnya memberanikan diri bertanya.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak, sebelum akhirnya membuka mulut.
“Kau tidak ingin tahu.”
Jawaban itu membuat bulu kuduk Naya meremang.
“Kenapa?”
Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Karena kalau kau tahu, kau tidak akan bisa tidur malam ini.”
Hening.
Naya meremas tasnya dengan tangan berkeringat.
Apa maksudnya?
Siapa pun orang yang tadi berdiri di peron, pria ini mengenalnya. Atau setidaknya, dia tahu sesuatu yang tidak boleh diketahui oleh Naya.
“Apa dia mengikutiku?” Suaranya terdengar lebih pelan dari yang dia harapkan.
Pria itu menatapnya dalam. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, dia berkata:
“Sudah lama.”
Naya langsung merinding.
Darahnya seakan berhenti mengalir.
Sudah lama?
Apa maksudnya sudah lama?
Dia baru sadar akan penguntitnya tiga minggu terakhir, tapi dari cara pria ini berbicara… Seakan ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari yang dia duga.
“Tunggu…” Naya mencoba mengatur napasnya. “Bagaimana kau tahu dia mengikutiku?”
Pria itu tidak menjawab.
Bukannya menjawab, dia malah mengulurkan sesuatu dari kantong jaketnya.
Sebuah ponsel.
Layar ponsel itu menunjukkan sesuatu yang langsung membuat tubuh Naya membeku.
Sebuah foto.
Foto dirinya.
Diambil dari belakang.
Di dalam kereta.
Di hari yang berbeda-beda.
Matanya melebar, jari-jarinya mencengkeram tasnya lebih erat.
“Dari mana kau mendapatkan ini?” suaranya bergetar.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya menatapnya, seolah menunggu reaksinya.
Naya menatap layar ponsel itu lebih dekat.
Lalu, dia menyadari sesuatu.
Di semua foto itu, ada sosok yang sama di kejauhan.
Sosok yang sama dengan yang tadi berdiri di peron.
Tertangkap di pantulan jendela.
Di sudut gerbong.
Di tengah kerumunan.
Selalu ada.
Selalu melihat.
Tapi dia tidak pernah menyadarinya.
Lambung Naya terasa melilit. Tangannya gemetar saat dia mengembalikan ponsel itu.
“Siapa dia?” suaranya hampir tak terdengar.
Pria itu menatapnya lama, lalu berkata pelan:
“Seseorang yang tidak seharusnya ada di sini.”
---
Kereta tiba-tiba bergetar.
Lampu gerbong berkedip dua kali sebelum kembali menyala redup.
Naya langsung menoleh ke luar jendela. Kereta sedang melewati terowongan panjang yang gelap, dinding-dindingnya terlihat seperti bayangan yang bergerak cepat.
Suara roda besi bergesekan dengan rel menggema di seluruh gerbong.
Lalu, tiba-tiba…
Tok. Tok. Tok.
Suara itu terdengar.
Ketukan pelan, seperti seseorang mengetuk kaca jendela dari luar.
Tapi itu tidak mungkin, kan?
Ini kereta. Mereka sedang melaju di tengah terowongan. Tidak ada siapa pun di luar sana.
Bulu kuduk Naya langsung berdiri.
Perlahan, dia menoleh ke jendela di sebelahnya.
Gelap.
Hanya ada bayangan dirinya sendiri yang terpantul samar di kaca.
Tapi saat dia menatap lebih lama…
Dia melihatnya.
Sepasang mata.
Menatap balik dari pantulan kaca.
Naya langsung tersentak dan menoleh ke belakang.
Tidak ada siapa-siapa.
Gerbong kosong.
Tapi saat dia kembali menatap kaca jendela…
Sepasang mata itu masih ada di sana.
Lalu bibirnya bergerak, membentuk kata-kata yang nyaris tak terdengar.
“Aku sudah menemukannmu.”
Naya langsung menjerit.
Seketika, lampu gerbong padam total.
Gelap.
Kereta masih melaju.
Tapi kini hanya ada kegelapan yang menyelimuti mereka.
Di tengah keheningan yang mencekam, suara napas berat terdengar.
Bukan napasnya.
Bukan napas pria asing itu.
Tapi napas seseorang yang ada di sana bersama mereka.
Bersambung ke Part 3…