Langit kota sudah menggelap, lampu-lampu jalan berpendar temaram, memberikan suasana suram di sepanjang trotoar yang mengarah ke stasiun. Naya berjalan cepat, sesekali melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Ini terlalu larut untuk seorang perempuan sendirian di jalanan kota besar.
Namun, dia tak punya pilihan. Lembur di kantor membuatnya harus pulang lebih malam dari biasanya. Dia tak membawa kendaraan pribadi dan satu-satunya transportasi yang masih beroperasi hanyalah kereta terakhir menuju apartemennya.
Dari kejauhan, suara gemuruh rel terdengar. Naya mempercepat langkahnya, menuruni tangga stasiun bawah tanah dengan sedikit terburu-buru. Begitu sampai di peron, dia melihat kereta sudah berhenti dengan pintu yang masih terbuka. Tanpa berpikir panjang, dia langsung masuk ke dalam gerbong yang nyaris kosong.
Begitu duduk di bangku dekat jendela, dia menghela napas panjang, mencoba mengendurkan otot-ototnya yang tegang setelah seharian bekerja. Dia memasang earphone dan memutar lagu dari ponselnya, berharap bisa sedikit menenangkan diri.
Namun, perasaan itu kembali datang.
Sensasi tidak nyaman yang membuat bulu kuduknya berdiri. Seolah ada sepasang mata yang terus mengamatinya dari kejauhan.
Dengan gerakan perlahan, Naya melirik ke seberang gerbong. Dan benar saja.
Laki-laki itu ada di sana.
Berdiri di dekat pintu, bersandar pada tiang besi dengan tangan dimasukkan ke dalam kantong jaketnya. Pandangannya lurus ke arahnya, tak berkedip sedikit pun.
Naya langsung menelan ludah.
Ini bukan kebetulan.
Dia sudah melihat laki-laki itu beberapa kali dalam perjalanan pulang. Awalnya, dia menganggap ini hanya perasaan paranoidnya saja. Tapi semakin hari, semakin jelas bahwa pria itu bukan sekadar penumpang biasa.
Tiga minggu terakhir, hampir setiap malam, pria itu selalu ada di gerbong yang sama. Berdiri di tempat yang sama. Dengan ekspresi yang selalu sama—tenang, tapi menyeramkan.
Naya mencoba berpikir positif.
‘Mungkin dia juga hanya kebetulan pulang di jam yang sama denganku,’ pikirnya.
Namun, sekujur tubuhnya menolak menerima alasan itu. Perutnya terasa mual, tangannya dingin, dan setiap helaan napasnya terasa semakin berat.
Kereta mulai bergerak, meninggalkan stasiun dan melaju melewati rel panjang yang sepi. Hanya ada beberapa penumpang lain di gerbong—seorang pria tua yang tertidur di pojok, seorang ibu muda yang sibuk dengan bayinya, dan seorang remaja dengan headphone besar yang tenggelam dalam dunia musiknya sendiri.
Tak ada satu pun dari mereka yang menyadari ketakutan yang kini menggerogoti Naya.
Pandangannya kembali ke pria itu. Sekarang, dia melihat lebih jelas.
Jaket hoodie hitam, celana jeans gelap, dan sepatu sneakers lusuh. Wajahnya sebagian tertutup bayangan kapuchonnya, tapi sorot matanya begitu jelas. Mata tajam yang dingin, seperti mata seseorang yang sudah lama mengincar mangsanya.
Naya menunduk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tapi tangannya gemetar.
‘Apa yang harus aku lakukan?’
Pikirannya berpacu mencari solusi. Dia bisa turun lebih awal dan mencari rute alternatif. Tapi bagaimana kalau pria itu mengikutinya?
Jantungnya semakin berdegup kencang membayangkan kemungkinan itu.
Kereta melambat saat memasuki stasiun berikutnya. Beberapa orang turun, menyisakan hanya segelintir penumpang di gerbong. Suasana semakin sunyi.
Naya menggigit bibirnya. Ini kesempatan. Jika dia turun sekarang, setidaknya dia bisa menjauh dari pria itu.
Dia meraih tasnya dan bersiap berdiri. Namun, tepat saat ia akan melangkah ke pintu, suara berat itu terdengar.
“Jangan turun.”
Naya membeku.
Nafasnya tercekat, tubuhnya menegang. Suara itu begitu dekat, lebih dekat dari yang dia kira.
Dengan sangat perlahan, dia menoleh ke samping.
Pria itu sudah berdiri di sebelahnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetak. Dia tak tahu kapan pria itu bergerak, tapi kini dia sudah berdiri hanya beberapa langkah darinya, menatapnya tanpa ekspresi.
“Apa… apa maksudmu?” Naya berusaha agar suaranya tidak bergetar, tapi tetap terdengar lemah.
Pria itu tidak menjawab. Dia hanya menatapnya lebih dalam, seolah bisa membaca seluruh ketakutan yang ada di dalam dirinya.
Gerbong menjadi lebih sunyi.
Kereta mulai bergerak lagi, meninggalkan stasiun.
Naya ingin berteriak, ingin meminta tolong, tapi bibirnya seakan terkunci. Tidak ada yang akan peduli. Penumpang lain tidak akan menghiraukan seorang perempuan yang tampak berbicara dengan seorang pria asing.
“Jangan turun.” Pria itu mengulang perkataannya. Kali ini lebih pelan, tapi lebih dingin.
Tenggorokan Naya terasa kering. “Kenapa?”
Pria itu akhirnya menggerakkan kepalanya sedikit, mendekat, hingga Naya bisa mencium samar aroma maskulin bercampur wangi tembakau yang asing.
“Karena dia sedang menunggu di luar,” bisiknya.
Naya membelalakkan matanya.
‘Dia… siapa?’
Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, pria itu melangkah mundur dan kembali ke tempatnya di dekat pintu.
Naya menggigit bibir, mencoba mencerna kata-katanya. Perlahan, dia melirik ke luar jendela saat kereta melewati peron kosong di stasiun berikutnya.
Saat itulah dia melihatnya.
Di antara tiang-tiang peron yang remang-remang, ada seseorang berdiri di sana.
Seseorang dengan wajah yang tidak bisa dia lihat dengan jelas, tapi entah kenapa, membuatnya lebih takut daripada pria yang ada di gerbong bersamanya.
Bersambung ke Part 2…
Maaf bila cerita ini rada GJ