Aku terbangun dari tidurku
Masih seperti biasa. Otakku masih berisik. Ada banyak suara dan aku tak tahu apakah suara itu ada di luar kepalaku atau tidak.
Mungkin kalian tak paham. Tapi bagiku semua suara sama. Entah berasal dari kepalaku atau mulut orang lain.
Kemarin, karena suara itu, aku membunuh Ibuku. Mayatnya masih berserak di antara busa kasur dan darah kering. Keduanya tak ada bedanya.
"Bu. Hari ini aku masak dengan menu beragam. Ibu mau makan sekarang atau nanti?"
"Letakkan saja di meja," jawab Ibuku. Dia memang tak bisa ditebak.
"Bu," sebelum aku beranjak dari sisi jasadnya, aku kembali bertanya. "Apa adik juga harus ku bunuh?"
Lalu aku pergi tanpa menunggu jawab. Mengecek ponselku dan berharap ada uang masuk. Rekeningku hanya tersisa lima puluh ribu. Ibu bilang itu tak akan cukup untuk seminggu. Jadi aku harus bekerja.
Jadi aku kembali menulis di platform novel.
Belakangan ini tema cerita horror sedang marak. Bioskop juga penuh dengan penonton yang menjerit hanya karena darah memuncrat.
maksudku. Apa bagusnya dengan darah. Semua orang punya darah. Bahkan tikus yang menggigit bibir ayahku juga berdarah saat aku pukul.
"Yah. Apa rokok enak?"
Ayah tak menjawab tanyaku. Dia memang sesombong itu. Dia tak tahu bahwa kadang manusia selain dirinya juga butuh didengar.
Belakangan ini ayah jarang bicara. Dia hanya bersuara saat aku ada di lantai dua, di tempat dimana aku memeriksa adikku yang menggulung tubuhnya dan tak berani bergerak.
"Ah. Aku sampai lupa adikku." tanganku menjentik. Kusiapkan beberapa makanan dalam satu wadah untuk adikku tersayang, sebelum akhirnya naik ke lantai dua.
Dia masih di sana. Gemuk dengan lemak dan kotoran. Ku suruh dia mandi dulu, tapi kakinya tak bisa bergerak setelah kemarin aku membantingnya.
"Makan!" Suaraku meninggi walau aku sendiri sebenarnya tak mau nadaku setinggi itu.
Adik tak banyak membantah. Dia segera melompat ke atas makanan dan mengunyah semua yang ku masak.
Sejak dulu aku memang jadi tukang masak di rumah ini. Di keluarga ini. Tepatnya setelah aku sudah tak bisa berpikir jernih dan harus masuk ruang psikiater.
Sial. sudah berapa hari aku tak minum obat? Sudah berapa hari aku tak menjaga pola hidup sehat.
Semua karena uang. Orang tuaku yang dulu berharap banyak padaku mulai muak. mereka berhenti mengirimku berobat karena finansial keluarga mulai tak stabil.
Aku sendiri tak bisa berbuat banyak. Aku hanya manusia yang tak bisa apa-apa. Bukan salahku untuk jadi beban. Kalau mau salahkan, kenapa tak salahkan Tuhan? Bukankah semua hal di bumi berjalan menurut takdir yang Dia tulis? Berarti, aku juga sama?
Atau tidak?
Kadang aku berpikir kalau sebenarnya aku hidup dengan mauku. Bahwa aku tidak terikat takdir apa pun. Bahwa aku tak bergerak atas mau siap pun. Dan bahwa ... Bahwa Tuhan mungkin juga tak ada.
Mengingat itu aku jadi merasa bersalah. seharusnya dulu aku banyak berjuang dan tak gampang depresi. Seharusnya aku bisa lebih baik sebelum otakku rusak dan ketergantungan obat.
Aku menarik napas. Dada ini kadang sesak tanpa ku tahu kenapa. menangis pun kadang membuatku bingung.
Maksudku, kenapa harus ada air mata? Kenapa menangis membuat aku lelah meski telah makan banyak?
"Bib!" suara bel rumah membuatku membuka mataku yang buram.
"Sebentar!" jeritku sembari menuruni lantai dua.
celah pintu menunjukkan bahwa sesuatu ada di baliknya.
"Ya? Ada apa?" tanyaku pada sosok pria berbaju putih.
"Ibu ada?" Kepala pria itu melirik, di baliknya ada beberapa orang berwajah tegang.
Apa lagi ini?
"Ibu? Dia tak bisa keluar."
Semua mulai berbisik. "Kenapa?" tanya salah seorang dari mereka.
"Entah. Mungkin memang dia benar-benar sudah mati."
##Hai. Ini Ledre Kuning A.K.A. Cupa Cup. Cerita Kate : Sebuah Dialog Wanita Gila akan hadir dalam bentuk novel. Kunjungi akunku, ya.##