Maya duduk di depan warung tempatnya bekerja, menghela napas panjang. Sinar matahari sore mulai redup, menandakan hari hampir berakhir. Tapi pikirannya masih penuh dengan kecemasan.
Sejak suaminya meninggal tiga tahun lalu, ia harus menghidupi anak semata wayangnya, Rafi, seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun yang mulai mengerti arti perjuangan ibunya. Dahulu ia dan suaminya hidup sangat berkecukupan tapi sekarang ia harus menanggung semua nya sendiri,ia selalu berusaha untuk bersikap tabah.
Maya bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan sederhana di pinggiran kota. Upahnya kecil, tapi cukup untuk bertahan hidup. Ia selalu bekerja keras, berharap bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi Rafi.
Namun, kenyataan tidak selalu berpihak padanya.
Gangguan dari Pak Arman:
Pak Arman, pemilik warung tempat Maya bekerja, adalah seorang pria berusia 50-an yang sering memanfaatkan kekuasaannya untuk melecehkan karyawannya.
Hari itu, ketika Maya sedang mencuci piring di dapur, Pak Arman tiba-tiba masuk dan berdiri terlalu dekat di belakangnya.
"Kamu cantik, Maya," bisiknya.
Maya merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia segera menjauh, berusaha tetap tenang.
"Maaf, Pak, saya harus bekerja," ucapnya sambil berpura-pura sibuk.
Pak Arman hanya tertawa kecil. "Jangan jual mahal, Maya. Saya bisa membuat hidup kamu lebih mudah."
Maya tidak menjawab dan memilih pergi. Tapi ia tahu, ini bukan akhir dari gangguan Pak Arman.
Vincent, seorang pelanggan tetap warung itu, memperhatikan Maya yang tampak gelisah.
Ia adalah seorang pria berusia awal 30-an, bekerja sebagai teknisi komputer di sebuah toko elektronik dekat warung.
"Ada apa, Maya? Kamu kelihatan nggak nyaman," tanyanya saat Maya mengantar pesanan ke mejanya.
Maya ragu-ragu, lalu menggeleng. "Nggak apa-apa, Vin. Cuma capek saja."
Vincent tidak percaya begitu saja, tapi ia tidak ingin memaksa Maya untuk bercerita.
Namun, ia berjanji dalam hati akan selalu siap membantu jika Maya membutuhkannya.
Pelecehan yang Semakin Parah:
Malam itu, saat Maya sedang merapikan meja setelah warung tutup, Pak Arman kembali mendekatinya.
Ia meraih tangan Maya dengan paksa. "Sudahlah, Maya. Kamu butuh uang, kan? Aku bisa bantu kalau kamu mau lebih dekat denganku."
Maya langsung menarik tangannya. "Jangan sentuh saya, Pak!"
Pak Arman tersenyum sinis. "Hati-hati, Maya. Kalau kamu melawan, aku bisa bikin kamu kehilangan pekerjaan."
Maya menahan air matanya. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaan ini, tapi ia juga tidak mau terus dilecehkan.
Saat itu, Vincent yang kebetulan lewat melihat kejadian tersebut.
"Pak Arman! Lepaskan Maya!" serunya.
Pak Arman terkejut dan segera melepaskan Maya. "Jangan ikut campur, Vincent!"
"Terlalu banyak orang yang diam terhadap pelecehan seperti ini. Saya nggak akan tinggal diam!" Vincent menatap tajam pria itu.
Pak Arman mendengus marah, lalu pergi meninggalkan mereka.
Maya menghela napas lega. "Terima kasih, Vin."
Vincent menatapnya penuh simpati. "Kita harus laporkan ini, Maya."
---
Keesokan harinya, Maya dan Vincent pergi ke kantor polisi untuk melaporkan Pak Arman.
Namun, polisi yang menerima laporan mereka tampak kurang serius.
"Bu Maya, ada bukti fisik? Ada rekaman?" tanyanya dengan nada meremehkan.
"Saya punya saksi," jawab Maya, melirik Vincent.
"Tapi tanpa bukti kuat, ini sulit," ujar polisi itu santai.
Maya meremas jemarinya. Ia datang mencari keadilan, tapi yang ia dapat hanya penghakiman.
Namun, Vincent tidak tinggal diam. "Kalau polisi nggak mau bertindak, kita akan cari cara lain."
Vincent menghubungi seorang jurnalis bernama Sinta, yang sering menulis tentang kasus kekerasan terhadap perempuan. Sinta setuju untuk mewawancarai Maya dan menulis artikelnya. Maya menceritakan semua nya pada Sinta.
Sinta:"Hmm jadi gitu ya mbak? Jadi kepolisian ngelindungi si mesum itu!"
Maya: "aku takut gimana kalau publik juga nyalahin aku?"
Sinta: "mbak disini korban jangan takut Mbak.publik pasti bisa menilai mana yang salah dan mana yang benar"
Maya: "Aku masih tidak yakin Sinta.. kepolisian yang milik perintah saja tidak mau mendengarkan ku..."
Sinta:"Kita harus membuat kasus ini viral mbak tidak perlu cemas." Sinta menggenggam tangan Maya meyakinkan nya.
Vincent: "Mayazjangan takut aku juga mendukung mu kok, publik pasti juga akan membantu kita."
Vincent dan Sinta: "Ayo maya semangat!!" Ujar kedua nya meyakinkan dan menyemangati Maya, ahirnya Maya mengangguk dan bersedia untuk cerita nya di sebarkan.
Beberapa hari kemudian, artikel itu menyebar luas di media sosial. Banyak orang mulai mengecam tindakan Pak Arman dan ketidakseriusan polisi.
Tekanan publik semakin besar. Polisi akhirnya memanggil Pak Arman untuk diperiksa ulang.
Sejak artikel itu viral, Maya mulai menerima telepon ancaman.
"Berhenti cari perhatian, Maya. Kalau nggak, kamu bakal dapat akibatnya," suara di telepon terdengar mengancam.
Maya ketakutan, tapi Vincent selalu ada untuk menenangkannya.
"Kamu nggak sendirian, Maya. Aku akan lindungi kamu," ucapnya dengan penuh keyakinan.
Setelah beberapa minggu proses hukum berjalan, kesaksian korban lain mulai bermunculan.
Akhirnya, Pak Arman ditangkap dengan tuduhan pelecehan seksual.
Saat melihat berita itu, Maya menangis haru. Ia tidak hanya memperjuangkan dirinya sendiri, tetapi juga perempuan lain yang selama ini takut bersuara.
---
Setelah kasus selesai, Maya mendapat pekerjaan di sebuah organisasi yang memperjuangkan hak perempuan.
Vincent tetap di sisinya, selalu mendukungnya.
Suatu sore, Vincent bertanya, "Maya, pernah kepikiran buat menikah lagi?"
Maya tersenyum kecil. "Aku nggak tahu, Vin. Tapi kalau ada seseorang yang benar-benar tulus, mungkin aku akan mencoba."
Vincent menggenggam tangannya. "Aku akan selalu sabar menunggu."
Kebahagiaan yang Dinanti:
Setahun kemudian, Maya dan Vincent menikah dalam acara sederhana yang penuh kebahagiaan. Rafi kini memiliki sosok ayah yang menyayanginya. Maya memiliki pasangan yang mendukungnya.
Maya tahu, hidup tidak selalu mudah. Tapi ia juga tahu, selama ia berani melawan dan tidak menyerah, kebahagiaan pasti akan datang.
Kini, ia adalah Maya yang kuat. Maya yang berani.
Dan Maya yang akhirnya menemukan kebahagiaannya Sekarang ia sudah tidak merasa dirinya rendah.
**TAMAT.**