"Tuhan mengapa?mengapa aku mendapatkan ujian -ujian ini! Aku tak sanggup tuhan. Bukan kah engkau memberikan ujian sesuai kemampuan hamba mu?"Hujan turun deras malam itu, membasahi trotoar yang telah lama retak. Di sudut kota yang sepi, seorang wanita berdiri di tepi jembatan, menatap sungai yang deras di bawahnya. Matanya kosong, tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, melainkan karena kepasrahan.
Namanya Talita.
Hari itu adalah hari di mana ia merasa dunia telah memberinya pukulan terakhir.
Dunia tak pernah berpihak padanya. Ia lahir di keluarga yang berantakan, tumbuh dalam lingkungan yang hanya memberinya luka. Ayahnya pemabuk, ibunya pergi meninggalkannya sejak ia masih kecil. Talita belajar bertahan seorang diri, tapi kehidupan terus menghempaskannya tanpa ampun.
Ia pernah percaya pada cinta, tapi dikhianati oleh seseorang yang ia pikir akan menjadi rumahnya. Ia bekerja keras, namun akhirnya dipecat tanpa alasan jelas. Uang menipis, sewa kamar kos tertunggak, dan teman-temannya satu per satu menghilang.
Talita tertawa pahit.
“Apa gunanya hidup kalau hanya untuk disakiti?” bisiknya.
Angin malam menusuk kulitnya. Sungai di bawahnya menderu, seolah memanggilnya. Jika ia melompat sekarang, semuanya akan selesai. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi penderitaan.
Ia menarik napas panjang dan bersiap melompat.
Namun, tiba-tiba sebuah tangan kuat menariknya ke belakang.
“Jangan.”
Suaranya dalam, tenang, tapi penuh kepastian.
Talita terperanjat. Ia menoleh dan melihat seorang pria berdiri di sampingnya. Wajahnya samar dalam gelap dan hujan, tapi matanya... ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya membeku.
Ada kepedihan. Ada pengertian.
Pria itu tidak berkata banyak. Ia hanya menatap Talita, lalu tanpa ragu, menariknya ke dalam pelukan.
Talita membeku. Sudah lama sekali sejak terakhir kali seseorang memeluknya. Tidak ada kata-kata manis, tidak ada janji palsu—hanya pelukan yang hangat, yang terasa lebih nyata daripada dunia yang ingin ia tinggalkan.
Dan malam itu, Talita memilih untuk tidak melompat.
---
## **Jalan Pulang**
Setelah malam itu, Talita mencoba bangkit. Ia tidak tahu siapa pria itu. Ia tidak sempat menanyakan namanya. Setelah ia sadar dari keterkejutannya, pria itu sudah menghilang, meninggalkannya di tepi jalan dengan secarik kertas kecil yang hanya bertuliskan:
*"Hidupmu lebih berharga dari yang kau kira."*
Talita membawa kertas itu ke mana-mana. Ia tidak tahu mengapa, tapi kata-kata itu memberinya sedikit tenaga untuk terus bertahan.
Ia mencari pekerjaan baru, meskipun sulit. Ia mulai mencoba berbicara dengan orang lain lagi, meskipun rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. Namun, setiap kali ia merasa ingin menyerah, ia mengingat pria itu.
Siapa dia? Mengapa ia menyelamatkanku?
Dan yang lebih penting—mengapa ia seperti mengerti rasa sakit yang ia rasakan?
---
## **Bayangan yang Menghilang**
Suatu sore, Talita duduk di sebuah kafe kecil, mencoba menulis ulang CV-nya di laptop tua miliknya. Saat itulah ia melihatnya.
Pria itu.
Ia duduk di sudut ruangan, sendirian, menatap keluar jendela. Mata yang sama. Tatapan yang sama.
Talita merasa jantungnya berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, ia berdiri dan berjalan mendekatinya.
“Maaf…” suaranya gemetar.
Pria itu menoleh, dan sejenak keheningan menyelimuti mereka.
“Kau…” Talita menarik napas. “Kau yang malam itu…”
Pria itu tersenyum kecil, lalu mengangguk. “Aku senang melihatmu masih di sini.”
Talita menelan ludah. “Siapa namamu?”
Pria itu terdiam beberapa detik sebelum menjawab, “Raka.”
Talita duduk di hadapannya. Ada begitu banyak pertanyaan di kepalanya, tapi entah mengapa, ia tidak ingin bertanya saat itu juga. Mereka hanya duduk di sana, berbicara tentang hal-hal sederhana. Tentang kopi yang mereka minum, tentang cuaca, tentang kucing yang berkeliaran di sekitar kafe.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Talita merasa tenang.
Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu.
Talita tidak tahu banyak tentang Raka. Pria itu tidak banyak bercerita tentang dirinya. Tapi ia selalu ada ketika Talita merasa ingin menyerah.
“Kau tahu,” kata Talita suatu malam, “kalau saja aku tidak bertemu denganmu malam itu, mungkin aku sudah tidak ada di sini.”
Raka hanya tersenyum, tapi matanya terlihat begitu sendu.
“Aku hanya kebetulan ada di sana,” katanya. “Tapi aku senang kau memilih untuk tetap di sini.”
---
## **Rahasia yang Terlambat Diketahui**
Suatu hari, Raka tidak datang.
Talita menunggunya di kafe mereka biasa bertemu, tapi ia tidak pernah muncul.
Hari berikutnya, dan berikutnya lagi—Raka tetap tidak ada.
Khawatir, Talita mulai mencari tahu.
Ia menanyakan kepada barista kafe, tapi mereka tidak tahu siapa Raka. Ia bertanya kepada orang-orang di sekitar, tetapi tidak ada yang mengenal pria itu.
Hingga akhirnya, di sebuah sudut kota, ia melihat berita yang membuatnya terpaku.
**"Seorang pria bernama Raka Wijaya ditemukan meninggal dunia di sebuah rumah kosong. Diduga telah menderita penyakit kronis dalam waktu yang lama."**
Dunia Talita berhenti.
Ia membaca berulang kali, berharap itu bukan nama yang sama. Tapi tidak. Itu benar-benar **Raka**.
Talita jatuh terduduk di trotoar.
Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin seseorang yang menyelamatkannya… pergi tanpa sempat ia ucapkan terima kasih?
Saat itulah ia sadar sesuatu.
Raka selalu datang saat ia sedang di titik terendah. Raka tidak pernah berbicara banyak tentang dirinya sendiri. Dan Raka selalu memiliki tatapan yang penuh kepedihan, seolah ia mengerti rasa sakit yang Talita rasakan.
Karena dia juga telah merasakannya.
Talita menangis. Ia ingin marah, ingin menolak kenyataan. Tapi kemudian, ia ingat sesuatu.
*"Hidupmu lebih berharga dari yang kau kira."*
Itulah pesan terakhir yang ditinggalkan Raka untuknya.
Dan kali ini, Talita tidak akan mengabaikannya.
---
## **Langit yang Menunggu**
Hari pemakaman Raka dipenuhi oleh hujan, sama seperti malam ketika ia menyelamatkan Talita.
Talita berdiri di antara orang-orang yang datang, menggenggam erat payung yang dulu diberikan Raka kepadanya.
Ia tidak tahu apakah mereka dipertemukan karena kebetulan atau takdir. Tapi satu hal yang ia tahu, Raka telah memberinya kesempatan kedua.
Dan ia tidak akan menyia-nyiakannya.
Dengan langkah mantap, ia berjalan pulang.
Hidupnya mungkin masih penuh ujian, tapi kali ini, ia tidak akan lari.
Karena ia tahu, di suatu tempat, seseorang telah mempercayainya untuk terus berjalan.
Dan ia tidak akan mengecewakan kepercayaan itu.
**Tamat.**