Aline menatap keluar jendela rumah sakit. Bayangan seorang pria duduk di kursi di samping ranjangnya, menatapnya dengan tatapan sendu dan penuh harapan. Dia tidak mengenal pria itu. Setidaknya, itulah yang dia pikirkan.
“Kau siapa?” tanya Aline pelan.
Pria itu, Adrian, tersenyum pahit. “Aku… suamimu.”
Aline menelan ludah. Kata itu terasa asing di lidahnya. Ia telah mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu, dan saat tersadar, ingatannya tentang kehidupannya sebelum itu lenyap begitu saja. Dokter berkata ia mungkin bisa mengingat sesuatu seiring waktu. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan tentang pria yang duduk di hadapannya ini.
Adrian menggenggam tangannya, hangat dan lembut. “Aku tahu ini berat untukmu. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku lagi, Aline.”
***
Hari-hari berlalu dengan perjuangan. Aline tinggal di rumah yang katanya adalah rumah mereka. Ia melihat foto-foto mereka terpajang di dinding, tapi semua itu terasa seperti milik orang lain.Adrian tidak pernah memaksanya untuk mengingat. Sebaliknya, dia bersikap seperti seorang pria yang baru saja jatuh cinta dan ingin mendekati wanita yang disukainya. Dia mengajak Aline berjalan-jalan, membacakan buku favoritnya, bahkan memasakkan makanan yang dulu katanya adalah kesukaannya.
Namun, Aline merasa frustasi.
“Aku bukan istrimu! Aku tidak mengingatmu! Bagaimana kalau aku tidak pernah mengingat?” serunya suatu malam, air mata menggenang di matanya.
Adrian terdiam, lalu tersenyum lembut. “Kalau begitu, aku akan membuatmu jatuh cinta padaku untuk kedua kalinya.”
***
Meski masih ragu, perlahan Aline mulai membuka hatinya. Dia melihat bagaimana Adrian begitu sabar menemaninya. Dia mendengar tawa pria itu saat mereka menonton film komedi di sofa. Dia merasakan debaran aneh di dadanya saat Adrian menggenggam tangannya tanpa sadar.
Saat hujan turun suatu sore, mereka terjebak di bawah halte. Aline menatap Adrian yang sibuk menghalangi tetesan air agar tidak mengenai dirinya.
“Kau selalu seperti ini?” tanyanya.
Adrian menoleh. “Seperti apa?”
“Menjagaku, melindungiku, mencintaiku tanpa lelah?”
Adrian tertawa kecil. “Sejak dulu.”
Dan entah mengapa, ada sesuatu di dalam hati Aline yang terasa… familiar. Hangat.
### ***
Malam itu, Aline terbangun karena mimpi. Ia melihat bayangan dirinya dalam gaun pengantin, tertawa bahagia di samping Adrian. Seperti kilatan cahaya, ia mengingat momen di mana ia menerima lamaran pria itu, tarian pertama mereka, bahkan pertengkaran kecil mereka tentang warna dinding kamar tidur.
Air matanya jatuh. Ia menyadari satu hal.
Ia telah jatuh cinta lagi pada suaminya.
Pagi harinya, saat Adrian menyiapkan sarapan, Aline memeluknya dari belakang.
“Ada apa?” tanya Adrian, terkejut.
Aline tersenyum, menatap pria yang telah begitu sabar menunggunya.
“Aku mencintaimu, Adrian.”
Adrian membeku, lalu perlahan membalikkan badan dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Kau ingat?”
Aline menggeleng. “Tidak semua… tapi aku tahu satu hal dengan pasti.” Ia meraih tangan Adrian dan meletakkannya di dadanya. “Hatiku selalu mengenalmu.”
Adrian tertawa lega sebelum menarik Aline ke dalam pelukannya. Untuk kedua kalinya dalam hidupnya, Aline jatuh cinta pada pria yang sama.
Dan kali ini, ia tidak akan pernah melupakannya.
**Bagian Akhir**
Pelukan mereka terasa begitu hangat, seolah dunia hanya milik berdua. Aline merasakan debaran jantung Adrian yang berpadu dengan miliknya, sebuah ritme yang terasa begitu akrab meski pikirannya masih berusaha mengingat segalanya.
Setelah hari itu, hubungan mereka berjalan lebih lancar. Aline memang belum sepenuhnya mengingat masa lalunya, tapi dia mulai mengenali Adrian dalam bentuk yang lebih dalam—bukan sebagai kenangan, tapi sebagai seseorang yang hatinya pilih sekali lagi.
Mereka kembali menjalani hari-hari seperti pasangan yang baru jatuh cinta. Adrian mengajaknya ke tempat-tempat yang dulu mereka kunjungi, berharap memori Aline kembali. Tapi anehnya, Aline justru menikmati pengalaman itu sebagai sesuatu yang baru.
"Aku tidak ingin mengingat hanya karena aku harus," kata Aline suatu sore saat mereka duduk di tepi danau. "Aku ingin mencintaimu karena hatiku memilihmu. Dan itu sudah terjadi, Adrian."
Adrian tersenyum, menggenggam tangannya erat. "Itu sudah lebih dari cukup untukku."
**Sebuah Kejutan**
Suatu hari, Aline menemukan sebuah kotak kecil di laci meja di kamar mereka. Saat membukanya, dia menemukan selembar surat dan sebuah kalung berbandul kecil. Dengan ragu, dia membaca tulisan tangan yang terasa familiar.
*"Untuk Aline, wanita yang selalu kucintai—sekarang, besok, dan selamanya. Jika suatu hari kau lupa, lihatlah kalung ini. Karena meski ingatanmu pergi, cintaku tidak akan pernah menghilang."*
Aline menutup mulutnya, air mata menggenang di matanya. Kalung itu memiliki ukiran kecil di belakangnya: *Forever Yours, Adrian.*
Seolah ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya, mendobrak pintu yang selama ini tertutup. Bayangan-bayangan kenangan mulai bermunculan—tawa mereka di malam hujan, pelukan hangat saat dirinya menangis, suara lembut Adrian yang berjanji untuk selalu ada.
Air mata jatuh di pipinya saat Adrian masuk ke kamar.
"Ada apa?" tanyanya cemas.
Aline menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu tersenyum. "Aku ingat, Adrian."
Seketika, Adrian membeku. "Apa?"
"Aku ingat semuanya." Aline berjalan mendekat, menyentuh wajahnya penuh cinta. "Aku ingat bagaimana aku jatuh cinta padamu dulu. Dan aku jatuh cinta lagi sekarang."
Adrian tidak bisa menahan diri lagi. Dia menarik Aline ke dalam pelukannya, memeluknya erat seolah takut kehilangan lagi.
"Aku mencintaimu," bisiknya penuh haru.
Aline tersenyum dalam pelukannya. "Dan aku akan mencintaimu… sekarang, besok, dan selamanya."
Di bawah cahaya senja yang temaram, mereka saling menatap, seolah menemukan satu sama lain untuk kedua kalinya.
Namun kali ini, cinta mereka tidak akan pernah hilang lagi.
**Tamat.**