Awal yang cukup baik. Saat semua mimpi perlahan mulai pudar. Butuh waktu untuk diriku kembali seperti dulu. Aku sempat merasa putus asa atas semua ini. Kekalahan itu harus ku terima dengan lapang dada. Memang menyakitkan harus melepas mimpi yang sudah tertanam bertahun–tahun lamanya. Semua ini berawal dari persamaan itu. Kita sama-sama menginginkan kedudukan sebagai seorang guru matematika. Sejak itulah kami berkompetisi yang akhirnya aku memilih mundur dan menitipkan mimpi itu padanya.
Aku percaya dia orang berpendirian teguh. Entah apa yang ada di pikiranku bisa–bisanya melepas mimpi itu. Beralih ke bidang lainnya yaitu kimia. Ku rasa ada hal yang menarik darinya, membuatku selalu ingin tahu. Menuntunku mengarungi setiap likunya. Dan harapan indah muncul saat itu juga. “Mungkin aku enggak bisa ikut Olimpiade Matematika tapi aku juga bisa Kimia. Mungkin tidak selamanya aku dengannya. Aku bakal bukti in ke semuanya,” batinku dengan semangat menggebu–gebu.
Sebenarnya cukup sulit berpaling dari matematika karena aku hanya seorang mantan Olimpiade Matematika SD merupakan siswi yang baru saja berubah. Aku baru mengenal matematika belum lama tapi tidak pernah menyangka sebelumnya akan lolos seleksi di sekolah. Aku mewakili sekolah diajang itu namun sayang nasib baik belum berpihak padaku. Sejak itulah aku bertekad untuk mengikuti Olimpiade matematika di tingkat sekolah berikutnya. Pedih memang kalau dirasakan tapi saya tetap semangat untuk pembelokan ini. Kimia hal yang baru ku kenal di tingkat SMA.
Rasanya sakit waktu saya menyaksikan dia mendapat kepercayaan dari sekolah untuk mewakili Olimpiade matematika. Dia bernama Anatasya Wulandari. Gadis yang selalu mendapat pujian dari banyak orang karena kepintarannya. Sementara saya hanya sebatas bayangan maya di belakangnya. Benar–benar posisi yang tertutup sampai banyak orang tidak mengetahui potensiku. Mereka selalu menganggap Nevi Ratnasari sebagai hal yang tidak pernah ada. Lebih–lebih tatapan menyebalkan itu yang seolah mengejekku. Aku memang kalah untuk saat ini tapi lihat nanti aku akan membuktikan anggapan kalian salah.
Di momen yang tak pernah ku duga sebelumnya, aku membuktikan hal yang membuat guru matematika itu kaget. Aku tahu dia tidak akan menyangka nilai sempurna tertoreh di kertas ulangan harianku. Membuat seluruh penghuni kelas melotot menyaksikan deretan angka itu. Membiarkan kelas sedikit gaduh karena beberapa siswa mengerubungiku turut menyaksikan hal langka itu. Aku tidak pernah menyangka Anatasya bisa–bisanya nilainya jeblok. Wajar saja ulangan itu sanggatlah mendadak di jam pertama minggu lalu dan sekarang hasilnya dibagikan.
Salah satu dari teman sekelasku berkata, “Wah keren nih nilainya 100.”
Aku hanya menanggapi semua itu dengan senyuman seraya berkata, “Kamu juga bisa kok lagian ini cuma ulangan harian.”
“Minta nilai lo aja deh biar gue ga diomelin ortu,” ujar salah satu temanku.
“Ya boleh aja. Ambil aja kalau bisa!” kataku sambil nyengir.
“Hah kok lo bisa sih dapet 100. Ini kan ulangannya dadakan mana sempet belajar,” sahut Anatasya yang menghampiri mejaku.
“Lho ulangan harian itu kan cuma latihan aja kan. Jadi masalah nilai ga perlu diributkan,” jelasku.
Mendadak guru langsung berdiri menyeru pada semua muridnya untuk tenang dan segera duduk di tempat masing–masing. Tanpa pikir panjang beberapa murid langsung beranjak dari dekatku menuju bangkunya. Lalu, pelajaran pun dimulai.
Waktu terus berjalan, tibalah saat penerimaan rapor kelas 10. Semuanya senang saat itu karena bisa naik ke kelas 11. Begitu pun diriku yang tak pernah menyangka berada di tiga besar. Aku hanya tersenyum sambil berkata seolah tak percaya dengan pemeringkatan ini, “Kok bisa ya? Aneh.”
Liburan tiba tapi aku tidak ada rencana liburan ke mana hanya di rumah aja. Bahkan aku banyak merenungi nasibku yang seolah ditolak dalam ajang kompetisi. Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Justru itulah hal yang akan menyulut api semangatku untuk terus maju. Melampaui batas yang ada. Karena aku yakin diriku akan berubah menjadi lebih baik lagi.
Dan saat itulah aku ingat apa yang pernah dikatakan oleh guruku bahwa, “Fokus satu saja maka itu akan lebih maksimal.”
Sejak itu peralihan ku lakukan dari seorang pecinta matematika menjadi seorang yang ingin tahu tentang, “Apa itu Kimia?”
Sebenarnya itu tak luput dari omelan guru kimia yang selalu mengatakan bahwa, “Materi gampang kek gini aja nggak bisa.” Yah akhirnya aku sadar karena itu aku jadi penasaran sama bidang tersebut. Dan memilih untuk mempelajarinya dari nol. Sulit memang tapi aku tetap semangat karena aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berubah.
Setahun kemudian nilaiku membaik atas usahaku sendiri. Dan tepat saat masuk di semester 2 kelas 11 aku mendapatkan sebuah kesempatan. Saat itu guru kimiaku tengah mencari peserta untuk mengikuti lomba OSN tingkat kabupaten. Di saat itulah dua orang temanku yang dianggap terbaik dikelas ditanya ingin mengikuti event ini tidak. Sayangnya mereka telah dipilih oleh guru lain. Lalu dia bingung, kemudian bertanya pada mereka, “Di kelas ini ada yang bisa Kimia nggak selain kalian berdua?”
“Oh itu Pak, si Nevi itu juga bisa Kimia,” ujar Meisya teman sebangku Anatasya.
Mendengar jawaban dari muridnya, guru itu pun melangkah ke mejaku. Dan bertanya dengan penuh harap aku memenuhi apa yang dimintanya. “Kamu ikut olim kimia ya?”
“Lho kok saya Pak. Saya kan ga bisa,” tolakku.
“Ga pa pa nanti ada pembinaan dari saya. Jadi tenang saja!”
Senyap sebentar dan pak guru pun memecah keheningan itu dengan bertanya lagi padaku. Tentunya dengan harapan aku mengatakan, “Iya.”
“Jadi bagaimana mau kan? Mau ya? Ada temennya kok,” bujuknya.
Aku pun hanya mengiyakan dan membuat beliau tersenyum padaku. Sejak itulah jadwal pembinaan membuatku pulang terlambat. Selalu ditanya oleh orang tuaku, “Kok jam segini baru pulang? Nagapain aja di sekolah?”
“Ada pembinaan,” jawabku singkat.
Namun entah mengapa mereka seolah tak mengerti bahwa diriku akan mengikuti sebuah perlombaan. Biarlah itu jadi kejutan.
Sehari sebelum OSN tingkat kabupaten atau OSK akan dilaksanakan. Surat izin dibagikan pada calon peserta yang mana ditujukan kepada orang tuanya. Termasuk aku. Sepulang sekolah aku langsung menyampaikannya. Orang tuaku kaget tapi tidak terlalu berlebih dan rasanya itu lebih dari cukup untuk menyenangkan hati mereka.
Keesokan harinya rombongan peserta SMA Pelita 1 menuju SMA N Harapan 3. Dalam perjalanan ke sana dibutuhkan waktu sekitar setengah jam. Banyak ku lihat dari mereka yang ada di dalam bus masih asik menghafal materi sementara diriku hanya duduk manis menyaksikan kejadian itu. Dalam hatiku aku berharap, “Semoga aku bisa ngerjain soalnya nanti.”
Bus yang kami tumpangi mengurangi kecepatannya, menepi untuk parkir di area yang disediakan. Setelah itu bus berhenti. Para siswa pun keluar lalu menuju lokasi tansit. Di sana kartu peserta dibagikan yang telah tertera ruangannya. Melalui denah yang ditempel aku dengan mudah menemukan ruanganku dan ternyata aku bersama orang–orang asing. Setelah itu, para peserta mengisi daftar hadir. Lalu menuju ruangan masing-masing.
Ruang tempatku mengikuti lomba ini terletak di pojok. Memiliki CCTV yang siap merekam gerak gerik siswa di dalam ruang ini. Meja yang begitu banyak hanya terisi di depan sebanyak dua baris. Mungkin karena absen akhir jadi tidak sepenuh ruangan lainnya. Tak apalah lagian ini bukan masalah.
Seorang guru wanita mengenakan kemeja putih dan rok hitam. Di balik balutan jilbab warna hitam terlihat sebagai pribadi yang lembut. Dia membuka amplop cokelat tempat hal yang tidak boleh bocor tersimpan. Di sanalah soal dan lembar jawab berada. Kemudian dibagikan kepada peserta OSK. Tak butuh waktu lama karena ruangan ini hanya dihuni 8 peserta sementara 2 ruang lainnya penuh. Sembari menunggu dibunyikan bel tanda mengerjakan, dia membacakan tata tertib.
Aku merasa ada yang janggal saat dibacakan tata tertibnya seperti tidak sesuai dengan pandanganku. Harusnya khusus kimia diperbolehkan menggunakan kalkulator. Namun pada akhirnya boleh pakai kalkulator ngitungnya dan itu jelas tertera di lembar soal. Ku awali dengan bismillah lalu perlahan penaku menari di atas lembaran putih yang menanti goresan tinta. Tak pernah ku duga sebelumnya. Soal ini teramat sulit bagiku bahkan ingin menjawab saja aku memikirkannya berulang kali. Sampai pada akhirnya tekadku bulat untuk mengisinya dengan apa yang aku pikirkan saja tanpa pernah memandang benar atau salah. Biarlah yang penting aku sudah berusaha, urusan hasil tidak perlu dipikirkan.
Tepat kurang 15 menit lagi waktu habis. Aku tersentak karena banyak soal pilihan ganda yang belum sempat ku jawab. Tanpa berpikir panjang segera ku blok semuanya asal jawab. Lalu, bel berakhir berbunyi “teet...teet....teeet.....” petugas yang mengawasi ujian mengambil lembaran soal, jawaban, dan coretan dari bangku peserta. Lega rasanya semuanya lancar tanpa halangan yah meskipun tidak berharap hasilnya. Ketika keluar dari ruangan petugas membagikan snack. Alhamdulillah bisa buat mengganjal lapar. Ternyata tenaga terkuras habis mikir tadi.
Di luar aku tak melihat batang hidung teman–temanku. Ternyata mereka belum keluar. Tapi kan udah bel usai. Gimana sih? Jadi aku memutuskan untuk duduk di kursi panjang tak jauh dari tempatku tadi. Membuka isi kotak snack dan memilih arem–arem untuk disantap lebih dulu. Aku melahap habis makanan itu. Sayup–sayup ku dengar langkah kaki mendekat. Ternyata temanku sudah keluar. Melihat wajahnya yang seolah bilang, “ Soalnya tadi susah banget dan aku ga bisa jawab.” Sebenarnya lucu juga sih hehehe.
Tak lama kemudian teman–temanku yang lain silih berdatangan. Berkumpul jadi satu membahas ini itu. Curhat gitu deh sambil istirahat ngemil makanan tadi. Aku nggak sengaja melihat mimik wajah Anatasya begitu letih. Ya jelaslah dia kan bidang Matematika, mungkin susah. “Coba aja aku dipilih di bidang itu. Pasti aku bakal ngarsain juga. Gimana susahnya soal olim Matematika yang udah lama aku damba. Pengen banget bisa dapat posisi itu. Tapi ternyata ada yang lebih dari aku dan lebih pantas. Nggak pa pa lah Kimia yang penting aku udah berusaha semampuku,” batinku. Tanpa sadar aku menghembuskan napas. Rasanya berat juga merelakan. Meisya yang cerita panjang lebar soal Fisikanya yang dijamin bikin kepala nyut–nyutan. Kebayang kan gimana susahnya mengerjakan soal tadi.
Tak lama kemudian, guru kami menghampiri menyeru pada kami untuk segera masuk ke bus.
“Ayo masuk ke bus, kita pulang sekarang!”
“Ya Pak,” jawab kami serentak.
Kami pun segera mengikuti langkah pak guru ke parkiran. Tak butuh waktu lama untuk menemukan tumpangan kami tadi. Tepatnya di dekat pohon. Setelah sampai di depan pintu bus, satu persatu dari kami mulai masuk. Semua siswa telah duduk di tempat. Mesin bus menderu, dan perlahan melaju meninggalkan tempat itu.
Satu bulan kemudian, pengumuman kejuaraan OSK. Lewat sebuah chat di grup whatsapp yang cukup mencengangkan atau membingungkan. Tiba–tiba saja temanku yang sedang online di kelas mengatakan, “Nevi lolos. Bangga deh aku jadi temennya.” Telingaku menangkap suara itu. Ternyata Risa yang duduk di belakangku. Saat aku menoleh itulah dia menunjukkan ponselnya padaku. Aku tak percaya. Segera ku hidupkan dataku membuka chat yang masuk dan ternyata ini semua benar. Bahkan beberapa guru mengucapkan selamat padaku.
“Wah selamat ya mbak, semoga sukses”
“Selamat berjuang terus ya!”
“Semoga dapat meraih kejuaraan selanjutnya. Amin”
Aku tersenyum melihat deretan ucapan selamat dari para guru. Segera ku balas chat mereka dengan ucapan “Terima kasih Pak, Bu” juga mengamini doa mereka “Amin”
Sudah cukup sebentar saja merayakan momen itu. Terseret dalam suasana bahagia. Lalu, beralih ke pembahasan kali ini. Ya ini masih jam pelajaran. Gurunya juga sempat menunda penjelasan akibat kehebohan kecil oleh teman sekelasku. Berlanjutlah pelajaran ini. Tak lama kemudian, bel istirahat berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas. Aku pun juga begitu. Tapi tepat setelah melewati ambang pintu. Aku mendengar seseorang memanggilku. Oh ternyata dia teman seperjuangan di olim Kimia. Menurutku pamggilan darinya itu pasti info penting yang tadi.
“Fan aku ke sana dulu ya, kamu sama yang lain duluan aja!”
“Oh oke Nev. Duluan ya,” ucapnya sambil berlalu.
Aku segera menghampiri Alfia. Setelah dekat aku bertanya, “Ada apa Fi kok keliatan seneng banget sih mukanya?”
“Gimana ga seneng orang kita lolos di kabupaten juga”
“Eh iya ya,” jawabku kaku.
“Masa sih?” tanyaku masih ragu dengan info tadi padahal udah tau tapi rasanya aneh kok bisa lolos.
“Ya iyalah nih buktinya. Data siswa yang lolos kamu di nomor 11 dan aku 12.”
“Oh,” jawabku pendek.
“Kamu ini gimana nomor 1 sampai 15 itu juara tiap kabupaten. Jadi kamu itu juara 2 dan aku 3,” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya mengiyakan. Lewat di samping kami Dita. Nah dia ternyata juga jadi juara 3 olim Biologi. Setelah kami mengobrol tentang ini itu dan menghabiskan waktu istirahat dengan obrolan seputar kejuaraan OSK 2019. Saatnya masuk ke kelas masing – masing. Kebetulan ada jam Kimia, guru pembinaku juga, dia masuk kelas memulai pelajarannya. Di akhir pelajaran sebelum bel sitirahat kedua berbunyi beliau bertanya padaku mengenai undangan pembinaan.
“Mbak Nevi udah dapat undangan pembinaannya belum?”
“Belum Pak,” jawabku.
“Oh ya nanti saya kirim ya,” katanya.
“Kimia Maret mbak tahap 2,” lanjutnya.
Dari samping mejaku Meisya buka suara, “Memangnya lomba di provinsi kapan Pak?”
“April," jawab pak guru.
“Lho terus pembinaannya Pak?”
“Kimia sepertinya tahap 2 jadi mulai Maret sampai April”
“Oh gitu ku kira tadi pas Maret pak lombanya kan mepet banget,” kata Meisya.
Sehari sebelum kami eh maksudku Alfia dan aku berangkat, guru meminta kami meminjam buku penunjang untuk pembinaan besuk. Cukup sulit mencarinya karena stok buku olimpiade yang terbatas. Untungnya kami berhasil mendapatkannya dan segera melapor ke petugas perpustakaan.
Setibanya di tempat pembinaan aku merasa senang. Bertemu dengan banyak orang yang sudah mengemban amanah dari kabupatennya masing–masing untuk mewakilinya. Di sanalah aku merasa ada bagian cerita hidupku yang ada di sana. Jogja kota pelajar yang selalu menjadi dambaan banyak orang. Tempat yang ku pijak saat ini. Aku ingin suatu saat bisa kembali ke Jogja untuk menimba ilmu lagi, itu pun jika aku masih punya kesempatan. Apa boleh buat aku hanya orang yang biasa saja tak seperti mereka yang punya hal terspesial dalam dirinya.
Cukuplah sudah anganku ini melayang. Aku di sini sekarang juga menuntut ilmu. Bukan sekedar jalan–jalan yang menghabiskan dana dan terbuang percuma. Aku akan bertekad menunjukkan yang terbaik dengan usaha paling maksimal. Semoga saja aku bisa lolos di provinsi dan lanjut ke tingkat nasional.
Namun sayangnya saat pelaksanaan OSP aku tak berjaya. Aku gagal. Hanya sebatas orang tak layak untuk dijadikan finalis. Orang yang melupakan hal yang disukai demi hal yang baru dikenal. Mungkin ini rencana Allah dan semoga ke depannya baik–baik saja.
Setahun kemudian aku Nevi lolos seleksi SNMPTN. Sungguh ini keajaiban dari Allah. Bismillah aku akan kembali ke Jogja melanjutkan pendidikan yang belum usai. Meski biaya kadang menjadi hambatan, semoga saja Allah membantuku menemukan jalan atas semua kesulitanku. Meskipun aku hanya terciduk ikut OSP tapi tak apalah, yang penting aku masih semangat berjuang.
-20 April 2020-