Senja itu, Arian duduk di dalam mobilnya, jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Hujan turun perlahan, membasahi kaca depan. Di bangku sebelahnya, ada sebuah kotak kecil berisi kalung emas yang telah ia beli untuk istrinya, Zahira. Tapi yang ia pikirkan sekarang bukan Zahira.
Pikirannya dipenuhi wajah Reva—wanita yang telah mengisi kekosongan yang selama ini ia rasakan. Wanita yang telah membuatnya merasakan gairah dan kebahagiaan yang entah sejak kapan hilang dari pernikahannya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
**Reva:** *Aku sudah di kamar, seperti biasa.*
Arian menutup mata, menarik napas panjang. Hatinya berkecamuk. Ia mencintai istrinya, tapi ia juga tak bisa menampik kenyataan bahwa bersama Reva, ia menemukan sesuatu yang telah lama hilang.
Reva adalah kebebasan, sesuatu yang spontan, sesuatu yang membuatnya merasa hidup kembali. Bersama Zahira, segalanya telah menjadi rutinitas—datar, hambar, dan tanpa kejutan.
Arian tahu ia sedang berada di persimpangan. Jika ia pergi ke hotel itu malam ini, mungkin tak akan ada jalan kembali. Tapi jika ia pulang ke rumah, apakah ia bisa berpura-pura bahwa semua baik-baik saja?
Ia meraih ponselnya dan menatap pantulan dirinya di layar. Matanya lelah.
Arian menghela napas, lalu menghapus pesan dari Reva. Ia menyalakan mesin mobil dan berbalik arah, menuju rumahnya.
Mungkin cinta bukan hanya tentang gairah sesaat. Mungkin cinta sejati adalah tentang bertahan—meski godaan begitu menggoda untuk menghancurkannya.
Tapi entah mengapa, saat ia memasuki rumahnya dan melihat Zahira tersenyum menyambutnya, hatinya masih terasa hampa.
---
Arian berpikir ia bisa menghentikan semuanya. Bahwa jika ia memilih Zahira malam itu, segalanya akan kembali seperti dulu. Tapi ternyata, itu hanya ilusi. Keesokan harinya, saat ia duduk di kantor, pikirannya kembali melayang ke Reva. Bayangan tubuhnya, senyumnya yang menggoda, suara lembutnya yang selalu tahu cara membuatnya merasa diinginkan.
Ponselnya kembali bergetar.
**Reva:** *Aku tahu kamu berusaha menghindar. Tapi jangan lupa, kamu yang datang kepadaku dulu. Dan aku tahu kamu masih menginginkanku.*
Arian mengepalkan tangan. Reva benar. Seberapa keras pun ia mencoba melawan, ada sesuatu dalam dirinya yang tetap ingin kembali.
Tanpa berpikir panjang, ia mengambil kunci mobil dan meninggalkan kantor.
Reva sudah menunggunya di apartemen kecil yang selama ini menjadi tempat rahasia mereka. Begitu Arian masuk, wanita itu tersenyum penuh kemenangan sebelum menariknya ke dalam pelukan.
*"Kamu pikir bisa lari dari aku?"* bisiknya.
Arian tak menjawab. Bibirnya menemukan bibir Reva, dan dalam sekejap, ia tenggelam dalam ciuman yang membakar.
Dalam pelukan Reva, ia melupakan segalanya. Tentang Zahira, tentang rasa bersalah, tentang moralitas yang seharusnya ia pegang. Yang tersisa hanyalah hasrat yang tak bisa ia pungkiri.
Dan malam itu, sekali lagi, ia menyerahkan dirinya pada dosa yang semakin sulit ia tinggalkan.
Beberapa minggu berlalu. Arian menjalani kehidupan ganda dengan semakin lihai. Di siang hari, ia adalah suami setia, tersenyum pada Zahira, makan malam bersamanya, berbagi cerita tentang pekerjaan. Tapi begitu malam tiba, ia sering punya *"lembur mendadak"*, *"rapat penting"*, atau *"perjalanan dinas"* yang tak lain adalah alasan untuk bisa berada di sisi Reva.
Ia pikir ia bisa mengendalikan segalanya. Bahwa selama ia tetap bersikap normal di depan Zahira, tak akan ada yang curiga.
Tapi kebohongan, seberapa pun rapi disusun, tak akan bisa selamanya disembunyikan.
Dan Arian baru menyadarinya saat suatu malam ia pulang lebih awal, hanya untuk menemukan Zahira duduk di ruang tamu dengan wajah pucat.
Di tangannya, ada ponsel Arian yang tertinggal di rumah. Layar masih menyala, menampilkan pesan terakhir dari Reva.
**Reva:** *Aku rindu sentuhanmu. Kapan kita bisa bertemu lagi?*
Mata Zahira berkilat dengan air mata. *"Arian…"* suaranya bergetar. *"Sejak kapan?"*
Dada Arian terasa sesak. Ia mencari kata-kata, tapi tak ada yang bisa menjelaskan pengkhianatannya.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa persimpangan yang dulu ia anggap bisa ia lewati dengan mudah… kini telah berubah menjadi jurang yang siap menelannya.
Arian terdiam, dadanya sesak saat melihat air mata menggenang di mata Zahira. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan istrinya malam itu. Bukan hanya kesedihan, tapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
*"Arian,"* suara Zahira terdengar lebih tenang dari yang ia duga. *"Aku sudah tahu ini sejak lama."*
Jantung Arian berdegup kencang. *"Apa maksudmu?"*
Zahira menghela napas, lalu meletakkan ponsel Arian di meja. Ia berdiri, berjalan menuju dapur, mengambil segelas air, lalu kembali menatap suaminya dengan tatapan yang sulit diartikan.
*"Aku bukan wanita bodoh,"* katanya pelan. *"Aku tahu kamu sering pulang terlambat. Aku tahu parfum di bajumu bukan milikku. Aku tahu ada seseorang di luar sana yang membuatmu lebih hidup dibanding aku."*
Arian menelan ludah, merasa dadanya semakin berat.
*"Tapi kau tahu, Arian?"* Zahira melanjutkan, matanya berkilat tajam. *"Aku juga manusia. Aku juga bisa merasa kesepian."*
Arian mengerutkan kening, perasaan tak nyaman mulai merayapi dirinya. *"Apa maksudmu?"*
Zahira tersenyum tipis, lalu menggeser ponselnya ke arah Arian. Layarnya menyala, menampilkan sebuah foto.
Arian menegang. Itu adalah foto Zahira bersama seorang pria. Mereka duduk berdekatan di sebuah kafe, tangan pria itu melingkar di pinggang Zahira.
Dunia Arian seolah runtuh seketika.
*"Siapa dia?"* suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia maksudkan.
Zahira menyesap airnya pelan, seakan menikmati momen ini.
*"Namanya Adrian."* Ia menatap suaminya tajam. *"Lucu ya? Namanya mirip denganmu."*
Arian mengepalkan tangannya. *"Sejak kapan?"*
Zahira tertawa kecil, lalu meletakkan gelasnya di meja. *"Sejak aku mulai menyadari bahwa suamiku sudah lama tidak benar-benar mencintaiku."*
Arian merasa darahnya mendidih. Ia bisa menerima dirinya berselingkuh, tapi ketika ia yang dikhianati, rasanya jauh lebih menyakitkan.
*"Kau tidak punya hak untuk marah,"* kata Zahira, suaranya kini lebih dingin. *"Kita impas, Arian."*
Arian menatap istrinya dalam diam. Ia ingin berteriak, ingin menyalahkan, ingin berkata bahwa semua ini salah. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah akibat dari pilihannya sendiri. Dan sekarang, ia harus menelan rasa pahit dari pengkhianatan yang ia mulai sendiri.
---
Ruangan itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Arian menatap Zahira dengan perasaan bercampur aduk—marah, kecewa, sakit hati, dan entah apa lagi. Ia ingin membantah, ingin mengatakan bahwa ini salah. Tapi bagaimana bisa? Dialah yang memulai semua ini.
Zahira berdiri dari sofa, mengambil tasnya dengan tenang. *“Aku akan pergi malam ini,”* katanya datar.
Arian terkejut. *“Pergi ke mana?”*
Zahira menatapnya dengan mata penuh luka, tapi juga dengan ketegasan yang selama ini jarang ia lihat. *“Ke tempat Adrian.”*
Jantung Arian mencelos. *“Jadi… kau memilihnya?”*
Zahira tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. *“Bukankah kamu juga sudah memilih?”* Ia menghela napas, menatap suaminya untuk terakhir kalinya. *“Aku tidak akan memohon agar kau mencintaiku lagi, Arian. Aku sudah cukup tersakiti.”*
Arian ingin menghentikannya, ingin mengatakan bahwa semua ini hanya kesalahan, bahwa mereka masih bisa memperbaiki semuanya. Tapi lidahnya terasa kelu.
Beberapa menit kemudian, pintu tertutup pelan. Zahira pergi. Arian terduduk di sofa, merasakan kehampaan yang baru saja diciptakannya sendiri.
Ponselnya bergetar. Reva.
Ia menatap layar itu lama, lalu tanpa berpikir panjang, ia melempar ponsel itu ke meja. Untuk pertama kalinya, Arian merasa benar-benar sendirian.
Ponselnya kembali bergetar di atas meja. Nama Reva muncul di layar.
Arian menatapnya lama, lalu akhirnya mengangkatnya.
*"Kamu di mana?"* suara Reva terdengar manja di seberang.
Arian menghela napas. *“Di rumah.”*
*"Aku tunggu di apartemen, ya?"* Suaranya penuh harapan.
Dulu, Arian akan langsung bergegas menemui Reva. Tapi kali ini, entah kenapa, ia merasa berat untuk berdiri.
*"Arian?"* Reva bertanya lagi.
Arian menutup matanya, lalu berkata lirih, *"Aku butuh waktu."*
Reva tertawa kecil, tapi nadanya pahit. *“Jangan bilang kau menyesal?”*
Arian menghela napas panjang. *"Aku hanya lelah, Reva."*
**Klik.**
Sambungan terputus.
Sekarang, ia benar-benar sendiri.
Di luar, hujan masih turun deras.
Beberapa luka memang tak bisa disembuhkan. Beberapa cinta memang tak bisa diperbaiki. Dan beberapa pilihan… hanya menyisakan penyesalan.
**TAMAT.**