Mentari sore menyinari makam sederhana itu. Angin berbisik di antara rerumputan hijau yang tumbuh subur, seolah berduka bersama seorang wanita paruh baya yang duduk tertunduk di sana. Wanita itu, bernama Ibu Ani, mengenakan baju batik kusam, tangannya menggenggam sekuntum bunga mawar putih layu. Di atas nisan batu sederhana tertulis nama: "Ayahanda Tercinta, Bapak Suryadi".
Air mata Ibu Ani kembali menetes, membasahi kain batiknya. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan sang ayah, beberapa minggu sebelum kepergiannya.
Ibu Ani: (suara bergetar) Yah... Ayah sudah makan obatnya?
(Suara Bapak Suryadi, lemah namun tenang terdengar dalam ingatan Ibu Ani) Sudah, Nak. Ayah merasa lebih baik sekarang. Jangan khawatir.
Ibu Ani: Tapi Ayah tetap harus istirahat, Yah. Jangan terlalu memaksakan diri. Usaha Ayah sudah cukup, sekarang saatnya istirahat.
(Suara Bapak Suryadi) Ayah masih ingin melihat kamu sukses, Ani. Melihat cucu-cucu Ayah. Itu impian Ayah.
Ibu Ani: Ayah... Ani janji akan selalu berusaha. Ani akan selalu ingat pesan Ayah.
(Suara Bapak Suryadi) Ayah percaya padamu, Nak. Kamu anak yang baik dan kuat. Seperti ibumu dulu.
Ibu Ani terisak. Ia mengingat kembali senyum hangat ayahnya, senyum yang selalu memberinya kekuatan. Senyum yang kini hanya tinggal kenangan.
Ibu Ani: (berbicara lirih pada makam) Ayah... Ani sudah berusaha, Yah. Ani sudah lulus kuliah, seperti yang Ayah inginkan. Ani sudah bekerja, meskipun belum sesukses yang Ayah harapkan. Tapi Ani akan terus berusaha, Yah. Ani akan membahagiakan Ibu, seperti yang selalu Ayah pesan.
Ia teringat pesan ayahnya tentang ibunya yang telah tiada. Sang ibu meninggal saat Ibu Ani masih kecil, meninggalkan luka mendalam di hati ayahnya. Ayahnya membesarkannya seorang diri, dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan.
Ibu Ani: (mengusap air mata) Ani rindu Ayah... Rindu masakan Ayah, rindu cerita-cerita Ayah, rindu pelukan Ayah... Semua kenangan itu terasa begitu nyata, Yah. Rasanya baru kemarin kita masih bersama.
Ia meletakkan bunga mawar putih itu di atas nisan. Angin kembali berbisik, membawa serta aroma harum bunga mawar yang samar. Ibu Ani masih duduk tertunduk, hatinya dipenuhi kesedihan yang mendalam, namun juga tekad untuk melanjutkan hidup, untuk mewujudkan impian ayahnya, dan untuk selalu mengenang kasih sayang seorang ayah yang telah tiada. Ia tahu, di mana pun Ayah berada, pasti selalu bangga padanya. Dan itu, yang akan selalu menjadi kekuatannya untuk terus melangkah.