Matahari hampir tenggelam ketika Zahira berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang baru saja memberinya kabar buruk. Ayahnya kritis.
Sesampainya di kamar rawat, ia melihat tubuh sang ayah terbaring lemah. Napasnya tersengal di balik selang oksigen, sementara layar monitor jantung menunjukkan detak yang semakin melemah.
“Ayah...” Zahira berbisik, suaranya bergetar.
Lelaki tua itu membuka matanya perlahan. Wajahnya tampak pucat, tapi senyumnya tetap sama—hangat, seperti dulu saat ia menggendong Zahira kecil sepulang sekolah.
“Kamu datang…” suara Ayah terdengar parau.
Zahira mengangguk cepat. Air matanya jatuh. “Maaf, Yah… Aku sibuk kerja, aku jarang pulang.”
Ayah tersenyum lemah. “Tidak apa… Ayah selalu bangga padamu.”
Zahira menggenggam tangan Ayah, dingin sekali. Hatinya terasa sesak mengingat bagaimana ia sering menunda pulang kampung. Ia terlalu sibuk mengejar karier, lupa bahwa waktu tak pernah menunggu.
Monitor jantung berbunyi nyaring. Garis hijau yang bergerak turun naik kini lurus.
“Ayah!!” Zahira menjerit, mengguncang tubuh ayahnya yang mulai kehilangan hangatnya.
Namun, Ayah tak lagi menjawab. Hanya ada keheningan dan luka yang tertinggal di hati Zahira—penyesalan yang datang terlambat.
Di luar jendela, matahari tenggelam perlahan, membawa serta kehangatan yang tak akan pernah kembali.
---
Malam itu, Zahira duduk di samping ranjang rumah sakit yang kini kosong. Tubuh ayahnya telah dibawa ke kamar jenazah, namun ia masih terpaku di sana, merasakan sisa kehangatan yang perlahan menghilang.
Tangannya menggenggam selimut putih yang tadi menutupi tubuh ayahnya. Air matanya sudah mengering, digantikan oleh perasaan hampa yang menyesakkan.
Seorang perawat masuk, membawa sebuah kotak kecil. "Maaf, Mbak Zahira. Ini barang milik Ayah Anda," katanya lembut.
Dengan tangan gemetar, Zahira membuka kotak itu. Di dalamnya ada jam tangan tua yang selalu ayahnya pakai, sebuah buku catatan kecil, dan sepucuk surat yang bertuliskan namanya.
Zahira menarik napas dalam sebelum membukanya. Tulisan tangan ayahnya tampak sedikit bergetar, tapi tetap rapi.
**Untuk Zahira, anakku tersayang.**
Maaf jika Ayah jarang mengatakan ini, tapi Ayah selalu bangga padamu. Sejak kecil, kamu selalu bekerja keras, tak pernah mengeluh. Ayah tahu kamu sibuk, dan Ayah tidak pernah marah meskipun kamu jarang pulang.
Tapi Ayah ingin kamu tahu satu hal: jangan terlalu sibuk sampai lupa pulang. Jangan sampai kamu kehilangan momen-momen berharga dengan orang yang kamu sayangi. Hidup ini singkat, Nak. Jangan sampai menyesal di kemudian hari.
Ayah sayang kamu, selalu.
Tangis Zahira pecah. Kata-kata ayahnya menusuk hatinya yang sudah penuh dengan penyesalan.
Selama ini, ia berpikir bahwa bekerja keras adalah segalanya. Bahwa mengejar sukses adalah cara terbaik untuk membahagiakan ayahnya. Namun ternyata, yang ayahnya inginkan hanyalah waktu bersama anaknya.
Zahira menatap langit malam dari jendela rumah sakit. Seandainya waktu bisa diulang, ia ingin pulang lebih sering. Ingin menemani ayahnya minum teh di teras rumah. Ingin mendengar cerita-cerita sederhana tentang masa mudanya.
Tapi sekarang, semua sudah terlambat.
Hanya penyesalan yang menemani Zahira di ujung malam, bersama surat terakhir dari seorang ayah yang kini telah pergi, meninggalkan lubang yang tak akan pernah bisa terisi.
---
Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, Zahira masih merasa hidupnya kosong. Rumah yang dulu hangat kini terasa sunyi. Foto-foto ayah di dinding seakan menatapnya, mengingatkan pada semua waktu yang telah ia lewatkan begitu saja.
Ia duduk di kamar ayah, tempat yang dulu jarang ia masuki. Tangannya mengelus meja kayu tua, menemukan jejak-jejak kenangan. Matanya tertuju pada buku catatan kecil yang ditemukan di rumah sakit.
Perlahan, ia membukanya. Halaman pertama berisi tulisan tangan ayahnya.
**Jurnal Ayah – Hari-hari Bersama Zahira**
Hatinya bergetar saat membaca halaman-halaman berikutnya. Ternyata, ayah selalu menulis tentang dirinya.
> **12 Juli 2010**
> Hari ini Zahira berangkat ke kota untuk kuliah. Dia terlihat sangat bersemangat. Ayah bangga, tapi juga sedih. Rumah akan terasa sepi tanpanya.
> **3 Februari 2015**
> Zahira mendapat pekerjaan pertama. Dia sangat sibuk, jarang pulang. Tapi tidak apa, Ayah mengerti. Yang penting dia bahagia.
> **21 September 2023**
> Zahira menelepon hari ini. Katanya dia sibuk dan belum bisa pulang. Suaranya terdengar lelah. Ayah ingin bilang supaya dia jangan terlalu keras pada dirinya sendiri, tapi Ayah takut mengganggu. Jadi, Ayah hanya bilang, “Jaga kesehatan, Nak.”
Zahira menutup buku itu. Tangisnya pecah lagi. Ia baru menyadari betapa besar cinta ayahnya—diam, sederhana, tapi selalu ada.
Sejak hari itu, Zahira berjanji pada dirinya sendiri. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama.
Hari-hari setelah kepergian Ayah terasa hampa bagi Zahira. Setiap sudut rumah menyimpan kenangan, dari kursi kayu tempat ayah biasa duduk membaca koran hingga cangkir teh yang dulu selalu digunakannya.
Suatu pagi, Zahira duduk di teras rumah sambil memegang buku catatan ayahnya. Matanya tertuju pada halaman terakhir yang ditulis dengan tinta yang hampir pudar.
> **15 Oktober 2023**
> Hari ini aku merasa tubuhku semakin lemah. Aku tidak ingin membuat Zahira khawatir, jadi aku tidak bilang apa-apa. Aku hanya berharap dia bahagia dengan hidupnya. Aku bangga padanya, tapi kadang aku rindu saat dia masih kecil, saat dia selalu bercerita tentang mimpinya padaku. Jika suatu saat aku pergi, aku hanya ingin dia tahu bahwa aku mencintainya lebih dari apapun.
Zahira menutup buku itu erat-erat di dadanya. Isak tangis yang sudah lama ia tahan kembali pecah.
“Maaf, Yah…” bisiknya lirih. “Seandainya aku tahu…”
Sejak hari itu, Zahira mulai mengubah cara pandangnya tentang hidup. Ia tetap bekerja keras, tapi kini ia lebih sering pulang ke rumah, lebih sering meluangkan waktu untuk keluarga dan sahabat.
Suatu sore, Zahira duduk di teras rumah dengan secangkir teh di tangannya. Angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ia menutup matanya, membayangkan sosok ayah duduk di sebelahnya, tersenyum lembut seperti dulu.
"Ayah, aku akan selalu mengingat pesanmu," ucapnya pelan. "Terima kasih sudah mencintaiku dengan begitu tulus."
Langit senja tampak begitu indah sore itu, seolah Ayah sedang tersenyum dari kejauhan. Zahira menatapnya dengan mata yang kini penuh ketenangan. Ia tahu, cinta ayah tidak pernah benar-benar pergi. Itu akan selalu ada, di setiap hembusan angin, di setiap kenangan, dan di setiap detak jantungnya.
---
_TAMAT_