Rintik hujan membasahi jalanan kota, menyerupai air mata yang tak pernah berhenti jatuh dari pipi Aisyah. Kenangan bersama Bagas, kekasihnya, berputar bagai kaset usang yang terus mengulang melodi pilu. Ego mereka, dua batu karang yang keras kepala, telah menghancurkan bahtera cinta yang pernah mereka bangun dengan susah payah.
Bagas, dengan ambisinya yang membumbung tinggi, memilih mengejar karir di kota lain. Aisyah, dengan prinsipnya yang teguh, menolak untuk meninggalkan keluarganya. Jarak dan waktu perlahan mengikis rasa, meski cinta tetap membara di lubuk hati masing-masing. Perpisahan yang menyakitkan itu diakhiri dengan sebuah janji, janji yang tak pernah terwujud.
Lima tahun berlalu. Aisyah telah menemukan kedamaian dalam kesendiriannya, menjalani hidup dengan tabah. Bagas, dengan kesuksesan yang diraihnya, merasa hampa. Suatu sore, hujan kembali turun dengan derasnya. Aisyah berjalan di taman kota yang sama tempat mereka pernah berjanji. Dan di sana, di bawah payung biru tua, ia melihatnya. Bagas.
Waktu seakan berhenti. Tatapan mereka bertemu, sejuta kenangan membanjir. Senyum Bagas yang dulu selalu menenangkan, kini tampak lelah dan patah. Mereka saling bercerita, mengenang masa lalu yang indah, menyesali ego yang telah merenggut kebahagiaan. Air mata Aisyah kembali jatuh, bukan hanya karena hujan, tapi karena luka lama yang kembali menganga.
Bagas mengulurkan tangan, ingin meraih Aisyah. Tapi, ia urung melakukannya. Aisyah juga merasakan hal yang sama. Mereka telah berubah, jarak dan waktu telah merubah segalanya. Takdir, dengan segala ketegasannya, telah mentakdirkan mereka untuk berjumpa kembali, hanya untuk mengingatkan bahwa cinta yang gagal tak selamanya bisa diperbaiki. Mereka berpisah lagi, kali ini tanpa janji, hanya dengan kesedihan yang mendalam. Hujan terus turun, membasuh sisa-sisa harapan yang hampir padam. {Cinta mereka, bagaikan bunga yang layu sebelum waktunya.}