Pada suatu pagi yang cerah, Rina duduk di ruang tamunya yang sederhana, menatap secangkir teh hangat yang mulai mendingin. Di luar, suara burung berkicau riang, dan sinar matahari menyinari tiap sudut rumah dengan lembut. Namun, di dalam hatinya, ada kekosongan yang semakin dalam. Ia tahu bahwa dunia di sekitarnya berjalan dengan normal, namun di dalam dirinya ada kegelisahan yang semakin sulit untuk disembunyikan.
Rina adalah wanita yang sederhana. Hidupnya bersama suaminya, Arman, sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun. Mereka telah melalui banyak hal bersama: kesulitan, kebahagiaan, dan kehilangan. Namun, belakangan ini, Rina merasa ada yang berubah dalam hubungan mereka. Arman, suaminya yang dulu selalu ada di sampingnya, kini terlihat lebih jarang di rumah. Bahkan ketika di rumah, ia selalu tampak terburu-buru, seakan ada sesuatu yang lebih penting daripada keluarganya.
Suatu hari, Rina menemukan sebuah tanda yang tak bisa ia abaikan. Sebuah pesan singkat di ponsel Arman yang tak sengaja terbaca saat suaminya sedang mandi. "Sayang, kita ketemu malam ini di tempat biasa, ya." Rina tahu bahwa itu bukan pesan untuknya. Hati Rina langsung merasa seperti dihantam batu besar. Ia tak bisa menyangkal kenyataan bahwa suaminya selingkuh.
Tapi, meski begitu, ia memilih untuk diam. Ia tak tahu mengapa. Mungkin karena takut kehilangan Arman. Atau mungkin karena rasa cintanya yang begitu dalam membuatnya tak mampu bertindak gegabah. Rina memilih untuk mencerna perasaan itu sendirian, menahan sakitnya, dan berusaha melanjutkan hidup seolah tidak ada yang berubah.
Setiap malam, Rina menunggu suaminya pulang. Ia sudah biasa melihat Arman datang larut malam, dan ia tahu persis bahwa suaminya tak akan pernah menjelaskan ke mana saja ia pergi. Namun, meskipun hatinya terluka, Rina memilih untuk tetap sabar. Ia memasak makan malam seperti biasa, merapikan rumah, dan menjaga anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Semua itu dilakukannya tanpa keluhan, meskipun beban di hatinya semakin berat.
Arman pun semakin sering tidak pulang, dan Rina semakin lama semakin merasa terasingkan. Namun, ia tak pernah sekalipun menanyakan langsung pada suaminya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rina hanya ingin mempertahankan rumah tangganya, menjaga keluarganya tetap utuh. Ia selalu berpikir bahwa mungkin suatu hari Arman akan sadar, bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak hanya dilihat dari kebahagiaan semata, tapi juga dari ketulusan dan pengorbanan.
Suatu malam, ketika Arman pulang lebih pagi dari biasanya, ia tampak gelisah. Rina yang sedang duduk di ruang tamu, menatap suaminya dengan sorot mata penuh pertanyaan, namun ia memilih untuk diam. Arman duduk di sampingnya, mengambil tangan Rina, dan menghela napas panjang.
"Rina," katanya, suaranya terdengar serak. "Aku… aku tahu kamu merasakan ada yang berbeda belakangan ini. Aku tak bisa membohongimu lagi. Aku selingkuh."
Rina terdiam. Hatinya terasa hancur, tetapi ia tak menangis. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Suaminya, yang ia cintai lebih dari apapun, mengakuinya. Meskipun begitu, Rina tetap duduk diam, mencoba menahan air mata yang sudah lama ia simpan.
Arman melanjutkan, "Aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Rina. Aku tak tahu bagaimana bisa aku jatuh ke dalam lubang yang sama lagi. Aku… aku merasa terjebak dalam hubungan yang salah, dan aku mulai mencari pelarian. Aku tak ingin kehilanganmu, tapi aku juga tak tahu bagaimana caranya memperbaiki semuanya."
Rina menatap Arman dalam diam. Kata-kata itu menusuk hatinya, tetapi ia tetap tenang. Ia tahu, keputusan apapun yang ia buat akan mempengaruhi tidak hanya hidupnya, tetapi juga hidup anak-anak mereka. Ia harus berpikir matang. Rina menghela napas, merasakan beratnya penderitaan yang harus ditanggung sendirian. Namun, ia memilih untuk tetap berbicara dengan hati yang tenang.
"Arman," suara Rina terdengar lembut, namun penuh beban. "Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kita. Aku hanya tahu satu hal, aku masih mencintaimu. Meski aku terluka, meski aku merasa dikhianati, aku tetap ingin mempertahankan keluarga ini. Tapi aku tak bisa terus hidup dalam kebohongan. Aku butuh kamu untuk benar-benar memilih. Jika kamu ingin terus bersama aku, kita harus memperbaiki semuanya. Tapi jika kamu memilih jalanmu, aku juga akan menerima. Tapi aku tak akan bertahan jika itu hanya membuatmu lebih jauh."
Arman terdiam, terkejut dengan ketegasan yang ada pada suara istrinya. Ia tahu Rina adalah wanita yang sabar, tetapi kata-kata itu menunjukkan betapa dalamnya rasa sakit yang ia alami. Ia tidak bisa lagi menyangkal bahwa ia telah menyakiti wanita yang telah bersamanya selama bertahun-tahun.
"Rina," Arman berkata dengan suara yang penuh penyesalan, "Aku… aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku terlalu egois. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Aku akan berusaha untuk kembali menjadi suami yang baik untukmu."
Rina hanya mengangguk pelan. Meskipun hatinya hancur, ia tahu bahwa tidak ada jalan lain selain mencoba memperbaiki keadaan. Ia memilih untuk memberi kesempatan pada Arman, tetapi juga memberi batasan. Rina tahu bahwa kesetiaannya bukanlah kebodohan. Ia mencintai suaminya, tetapi ia juga mencintai dirinya sendiri. Ia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang kesakitan yang tak kunjung berakhir.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan penuh ketegangan. Arman berusaha menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal, tetapi Rina tetap menjaga jarak emosional. Ia ingin melihat perubahan nyata, bukan hanya kata-kata kosong. Arman berusaha keras untuk memenuhi janji-janjinya, tetapi Rina tahu bahwa waktu akan memberi jawaban yang lebih jelas daripada janji-janji yang terucap.
Suatu sore, setelah beberapa minggu berlalu, Arman pulang lebih awal dari biasanya. Ia duduk di samping Rina yang sedang mengajak anak-anak bermain di halaman rumah. Dengan suara rendah, Arman berkata, "Rina, aku sudah putuskan untuk berhenti dengan semua itu. Aku ingin kita mulai lagi. Aku akan berusaha menjadi suami yang lebih baik, dan aku berharap kamu bisa memberi kesempatan untuk kita."
Rina menatap suaminya dengan penuh perhatian. Ia bisa melihat kesungguhan dalam matanya. Namun, Rina tahu bahwa tidak ada jaminan bahwa semuanya akan berjalan mulus. Perjalanan mereka masih panjang, dan meskipun ia merasa takut, ia memilih untuk melangkah bersama.
"Aku akan berusaha, Arman," kata Rina dengan hati yang penuh harapan. "Tapi kita harus melewati semua ini bersama-sama. Aku tidak bisa lagi bertahan dengan rasa sakit ini jika kamu tidak benar-benar berusaha."
Arman mengangguk, penuh penyesalan dan keyakinan. Mereka berdua tahu, kesetiaan bukan hanya soal bertahan, tetapi juga tentang saling memilih untuk terus berjuang, meskipun jalan itu penuh dengan cobaan.
Rina dan Arman mulai membangun kembali kepercayaan yang hancur, satu langkah kecil demi satu langkah besar. Rina tahu bahwa kesetiaan bukan berarti mengabaikan rasa sakit, tetapi memilih untuk tetap bertahan demi sesuatu yang lebih besar: keluarga mereka.
Rina dan Arman memulai perjalanan baru mereka dengan hati-hati. Setiap hari, mereka berbicara lebih banyak, mencoba saling mengerti, dan berusaha memperbaiki hubungan yang sempat retak. Rina, meskipun merasa kesal dan terluka, memutuskan untuk memberi kesempatan, tidak hanya untuk Arman, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Ia sadar bahwa menyimpan kebencian hanya akan merusak dirinya.
Arman, yang kini lebih banyak berada di rumah, berusaha keras untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar menyesal. Ia mulai lebih memperhatikan Rina, mendengarkan keluhannya, dan membantu dengan pekerjaan rumah, sesuatu yang dulu jarang ia lakukan. Meskipun Rina tidak mengungkapkan segala rasa sakitnya dengan kata-kata, ia bisa merasakan usaha keras suaminya. Namun, meskipun ada perubahan, Rina tetap tidak bisa sepenuhnya melupakan luka yang dalam.
Pada malam hari, setelah anak-anak tertidur, Rina duduk di balkon, memandang langit yang dihiasi oleh bintang-bintang. Suasana malam yang tenang membuat pikirannya berkelana jauh, mengingat segala sesuatu yang telah mereka lewati. Arman datang dan duduk di sampingnya, tak berkata apa-apa. Hanya suara angin malam yang menemani mereka berdua. Rina merasa kedamaian itu sedikit menyembuhkan hatinya, meskipun ia tahu waktu adalah kunci untuk benar-benar sembuh.
Arman akhirnya membuka suara, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. "Rina, aku tahu aku sudah menghancurkan banyak hal. Aku tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk memperbaiki apa yang telah aku lakukan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku sangat mencintaimu, dan aku berjanji akan berusaha menjadi suami yang lebih baik. Aku sudah menyesal dengan segala keputusan buruk yang pernah aku ambil."
Rina hanya mengangguk pelan. "Aku tahu, Arman. Aku ingin percaya padamu, tapi aku juga tidak bisa menutup mata dari kenyataan bahwa aku terluka. Mungkin kamu merasa sudah cukup meminta maaf, tapi untuk aku, tidak semudah itu. Kita perlu waktu."
Arman menggenggam tangan Rina dengan penuh harap. "Aku siap, Rina. Aku siap memberi waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku hanya ingin melihatmu bahagia lagi. Itu yang paling penting bagiku."
Malam itu, mereka berdua duduk dalam diam, merasa bahwa meskipun kata-kata tidak selalu cukup, ada ketenangan dalam kebersamaan yang mereka miliki. Rina tahu bahwa ini adalah awal yang baru, namun ia juga paham bahwa perjalanan untuk memperbaiki hubungan mereka takkan mudah.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Arman berusaha keras untuk menunjukkan kesetiaannya, Rina tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Setiap kali mereka berhadapan dengan kenyataan yang pahit, Rina merasa semakin jauh dengan suaminya. Meski ia berusaha menahan rasa kecewa, luka yang pernah tertoreh tidak bisa dengan mudah dilupakan.
Suatu hari, Rina menghadapi kenyataan lain yang lebih keras. Tanpa sengaja, ia menemukan bukti lain dari kebohongan Arman. Sebuah foto yang diambil di luar kota menunjukkan Arman bersama perempuan yang sama yang ia lihat di ponselnya beberapa bulan lalu. Hati Rina kembali hancur. Ia merasa sudah cukup sabar, cukup memberi kesempatan, namun kenyataan itu seolah membuktikan bahwa semua pengorbanannya sia-sia.
Rina berdiri di depan cermin, menatap refleksinya sendiri. Ada air mata yang mulai mengalir, tapi kali ini ia tak merasa ingin menahan. Ia merasa lelah. Leelah dengan terus-menerus berusaha memperbaiki sesuatu yang tidak bisa diperbaiki dengan pengorbanan semata. Ia merasa terjebak dalam perasaan yang tak kunjung selesai.
Malam itu, setelah anak-anak tidur, Rina memanggil Arman ke ruang tamu. Suasana menjadi berat, penuh ketegangan yang tak terucapkan. Arman yang datang dengan wajah cerah langsung merasakan perbedaan di udara. Rina memandangnya dengan tatapan yang penuh pertanyaan dan kebingungan.
"Aku ingin bicara," kata Rina pelan. "Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dari aku. Aku sudah cukup sabar, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian dan kebohongan. Arman, aku tahu kamu masih berhubungan dengan perempuan itu. Kenapa kamu tidak bisa jujur padaku?"
Arman terdiam, wajahnya memucat. Ia mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun Rina sudah cukup tahu. "Aku sudah berusaha, Rina," kata Arman akhirnya, suaranya terdengar serak. "Aku ingin berubah, tapi aku tidak bisa mengendalikan diriku. Aku tahu itu salah, aku tahu aku tidak seharusnya melakukannya, tapi aku merasa terjebak."
Rina menatapnya, matanya penuh luka. "Arman, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa terus berjuang sendirian. Aku sudah memberi banyak kesempatan, tapi jika kamu masih memilih untuk berpura-pura, aku tidak bisa bertahan."
Arman terdiam, kesal dengan dirinya sendiri. Ia tahu ini adalah titik balik dalam hidup mereka. Ia telah menyakiti Rina terlalu dalam. Ia tidak tahu bagaimana harus memperbaiki semuanya.
Rina berdiri, menatap suaminya untuk terakhir kali. "Aku tidak bisa lagi, Arman. Cinta itu penting, tapi pengkhianatan jauh lebih menyakitkan. Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku sudah cukup."
Arman terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia tahu bahwa segala yang telah ia lakukan telah membuat Rina tidak bisa lagi bertahan. Rina merasakan ada kedamaian yang datang setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya. Ia sadar bahwa mencintai tidak berarti harus terus mempertahankan sesuatu yang sudah tak bisa diperbaiki.
Keputusan itu bukanlah hal yang mudah. Mereka tidak berpisah dengan tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang yang penuh dengan perasaan saling menyakiti. Rina memutuskan untuk melanjutkan hidup, mencari kebahagiaan dalam dirinya sendiri. Ia mulai merencanakan hidupnya kembali, meskipun ada banyak kenangan yang sulit dihapus.
Di sisi lain, Arman, yang akhirnya melihat kenyataan bahwa ia telah kehilangan segalanya, hanya bisa menyesali segala pilihannya. Namun, Rina tidak lagi ada di sana untuk memperbaiki semuanya. Ia tahu bahwa ia harus menjalani hidup dengan konsekuensi dari keputusan yang telah ia buat.
Meskipun begitu, Rina tahu satu hal: cinta sejati bukanlah tentang bertahan dalam hubungan yang menyakitkan, tetapi tentang memilih untuk mencintai diri sendiri dan memberi ruang untuk kebahagiaan yang lebih baik.