Angin sore menyapu permukaan danau, menciptakan riak kecil yang memantulkan cahaya jingga matahari terbenam. Di tepian, duduk seorang gadis bernama Naya, matanya terpaku pada ombak yang berlarian. Ia bukan tipe yang senang berbicara, lebih memilih mengamati dunia dalam diam.
Sejak kecil, Naya merasa sulit menyatu dengan keramaian. Suara yang terlalu ramai membuatnya lelah, interaksi yang berlebihan terasa menguras energi. Ia lebih senang menyendiri di kamar, membaca buku, atau sekadar mendengarkan musik di sudut perpustakaan sekolah.
Namun, hari itu berbeda. Ada seseorang yang mendekat, mengusik kesunyian yang ia nikmati. Seorang pemuda berambut pendek dengan jaket denim berdiri tak jauh darinya. Naya mengenalnya. Namanya Arya, teman sekelas yang dikenal ramah, selalu dikelilingi banyak orang. Tapi anehnya, kali ini ia sendirian.
“Kamu sering ke sini?” tanya Arya, suaranya lembut, hampir tertelan angin.
Naya mengangguk pelan. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Biasanya, orang akan pergi setelah tak mendapat balasan yang cukup darinya. Tapi Arya tetap di sana, mengambil tempat duduk di sebelahnya tanpa banyak bicara.
Mereka diam cukup lama, hanya ditemani suara gemericik air dan burung yang pulang ke sarang. Tidak ada percakapan basa-basi yang melelahkan. Hanya keheningan yang anehnya terasa nyaman.
“Kamu tahu?” Arya akhirnya berbicara lagi. “Kadang, aku iri sama orang sepertimu. Bisa menikmati keheningan tanpa merasa perlu bicara.”
Naya menoleh, sedikit terkejut. Ia selalu mengira Arya menikmati perannya sebagai sosok ceria. Tapi kini, ia melihat sesuatu di mata Arya—kerinduan akan ketenangan yang selama ini tertutup oleh gelak tawa.
“Diam itu… nggak selalu buruk,” kata Naya akhirnya.
Arya tersenyum kecil. “Terima kasih.”
Matahari perlahan tenggelam di balik bukit. Dua sosok itu tetap duduk di sana, berbagi keheningan yang tak lagi terasa canggung. Mungkin, bagi dunia mereka adalah dua orang yang bertolak belakang. Tapi di tepian danau itu, mereka hanya dua jiwa yang akhirnya menemukan tempat untuk bernapas tanpa perlu berpura-pura.
Senja menjadi saksi, bahwa tak semua kebersamaan harus diisi dengan kata-kata.